Rani baru saja kehilangan kakaknya, Ratih, yang meninggal karena kecelakaan tepat di depan matanya sendiri. Karena trauma, Rani sampai mengalami amnesia atas kejadian itu. Beberapa bulan pasca tragedi tersebut, Juna, mantan kakak iparnya melamar Rani dengan alasan untuk menjaga Ruby, putri dari Juna dan Ratih. Tapi, pernikahan itu rupanya menjadi awal penderitaan bagi Rani. Karena di malam pertama pernikahan mereka, Juna menodongkan pistol ke dahi Rani dan menatapnya dengan benci sambil berkata "Aku akan memastikan kamu masuk penjara, Pembunuh!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HANA ADACHI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32. (REVISI) Wibawa Seorang Istri
Rani menutup pintu mobil Bian dengan perasaan campur aduk.
Ah, hancur sudah wibawa seorang nyonya keluarga Wijaya yang telah ia jaga selama ini. Bisa-bisanya Rani malah menangis dan mencurahkan permasalahan rumah tangganya pada seorang laki-laki yang baru ia kenal hari ini? Kalau sampai tahu, mertuanya pasti akan marah besar.
"Aku pergi dulu," Bian masih sempat-sempatnya menurunkan kaca mobil untuk berpamitan. "Semoga tidurmu nyenyak malam ini,"
Rani tersenyum. Benar-benar senyum yang lebar. Bian sangat pintar menyusup ke dalam hatinya begitu saja.
Tidak bisa begini, Rani menggelengkan kepala. Dia itu temanmu Rani, ingat, t-e-m-a-n.
Setelah mobil yang dikendarai Bian menghilang di tikungan, Rani membalikkan badannya menghadap rumah mewah mertuanya itu. Ia tak langsung melangkah masuk, melainkan menatap terlebih dulu bangunan itu dari kejauhan.
"Sampai kapan aku harus bertahan di sini?" Rani menghela napas panjang. Ia ingin berlama-lama berada di sini, rasanya enggan sekali untuk masuk. Tapi, yang ada dirinya nanti malah semakin kena omel.
Rani akhirnya melangkahkan kakinya melewati taman besar itu dengan berat. Semakin langkahnya mendekati area rumah, semakin besar pula keinginannya untuk berbalik pergi. Tapi, Rani terlalu pengecut untuk melakukan itu. Jika dia pergi sekarang, bagaimana dengan Papa? Bagaimana dengan Ruby? Bagaimana dengan Kak Ratih?
Ada banyak 'bagaimana' tersusun dalam kepalanya, dan Rani tak bisa menjawab itu semua.
"Rani!" suara cempreng Lily yang bernada marah itu tampaknya ditujukan untuk Rani. Rani segera bersiap-siap. Entah dampratan apa lagi yang akan menimpanya hari ini.
"Dari mana saja kamu?" Lily menghampirinya dengan wajah merah padam. "Kamu kabur-kaburan lagi?"
"Tidak Mi, aku—"
"Mami kan sudah pernah bilang, jaga martabat kamu sebagai menantu keluarga Wijaya! Jangan main kabur-kaburan hanya karena bertengkar dengan suamimu! Kamu sadar tidak, keluarga ini setiap langkahnya selalu diawasi oleh media! Kalau kamu bersikap seperti ini terus, bisa-bisa kamu menghancurkan wibawa keluarga Wijaya!"
Rani hanya mendengarkan omelan mama mertuanya itu sambil menulikan telinga. Ia sudah tahu sejak awal, kalau dirinya pasti akan jadi satu-satunya yang disalahkan. Dengan sifat manipulatif Juna dan kepiawaiannya dalam berakting, semua orang akan percaya dengan perkataan suaminya itu.
Rani terus terdiam sampai Lily merasa capek sendiri. Rasanya ia seperti bicara dengan batu.
"Sudahlah! Mami capek ngomong sama kamu! Ingat ya Rani! Jangan ulangi lagi perbuatan kamu itu! Sudah, sekarang cepat ke dapur siapkan makan malam!"
Benar-benar tak tahu malu, batin Rani. Padahal Lily baru saja memarahinya sedemikian rupa, tapi masih tetap tidak lupa menyuruhnya memasak makan malam. Merasa percuma untuk membalas ucapan Lily, Rani beranjak masuk ke rumah dan pergi ke dapur.
...----------------...
"Kamu itu tolong bilangin ke istrimu Jun, minta dia bersikap seperti selayaknya istri dari keluarga Wijaya," Lily lagi-lagi membahas kejadian tadi sore saat makan malam bersama. "Emangnya pantes, kalau seorang istri kabur hanya karena bertengkar sama suaminya? Jadi istri itu harus sabar, selalu nurut dengan apa yang dikatakan suami dan mertua,"
Rani lagi-lagi hanya terdiam. Mertuanya itu sungguh aneh. Padahal jelas-jelas Rani berada di depannya, tapi kenapa memilih membicarakan hal itu dengan Juna? Apa dirinya mulai tidak dianggap di rumah ini?
"Iya Mi, nanti Juna bilang ke Rani," Jawab Juna kalem.
Astaga, Rani benar-benar ingin melemparkan kuah sop panas di depannya ke wajah Juna. Ibu dan anak sifatnya sama saja. Sama-sama tak tahu malu.
"Baguslah, Mami tuh pusing loh, sudah sibuk ngurus ini itu, masih harus ngurus menantu juga," Lily berkata sembari memijit-mijit kepalanya.
Pusing kenapa? Ngurus apa? Kayanya selama ini cuma santai-santai di rumah, tuh? Rani menggerutu di dalam hati. Pasalnya dia hapal betul kebiasaan mertuanya. Selama ini yang ia perhatikan ibu mertuanya itu hanya beraktivitas di dalam rumah, itu pun hanya bermain ponsel atau menonton televisi. Pekerjaan rumah tangga pun tidak disentuh sama sekali. Kalaupun keluar rumah, biasanya hanya untuk arisan, atau kalau tidak pergi ke mall untuk shopping barang-barang branded. Rani sama sekali tidak mengetahui dimana bagian sibuknya.
"Ehem," Hanya deheman kecil Bani yang mampu membungkam mulut tipis Lily. Kemudian seolah istri yang baik, Lily dengan sigap mengambilkan segelas air minum untuk sang suami.
"Mau minum Pi?" tawarnya sembari memandang suaminya dengan wajah khawatir.
"Tidak usah, kita teruskan saja makan malam kita dengan tenang," ujar Bani menolak tawaran istrinya itu. Berkat itu, suasana makan malam berakhir dengan damai.
Usai makan malam dan membersihkan alat-alat makan yang sudah digunakan, Rani bergegas menuju kamar. Perutnya terasa sakit, mungkin karena ia tak menelan makanannya dengan benar. Omelan sang mertua di meja makan tadi membuat pencernaannya seketika terganggu.
Rani terlebih dulu mengecek keadaan Ruby di kamarnya. Untunglah gadis kecil itu sudah tertidur lelap, jadi Rani bisa beristirahat dengan tenang.
"Hufftt.." Rani menghempaskan badannya ke atas kasur king size itu. Sambil menenangkan perasaannya, Rani merogoh kantong celana dan mengeluarkan sebuah kartu nama.
"Abian Prasetyo.." Rani membaca nama yang tertera pada kartu itu. Rani membalik kartu itu, dan tertera dua belas digit nomor telepon. Melihat itu membuat Rani teringat lagi dengan perkataan Bian yang menyuruh Rani untuk menghubunginya.
"Apa aku hubungi sekarang saja ya?" Rani menimbang-nimbang, tapi dengan cepat ia menggelengkan kepala. "Tidak, tidak, sekarang sudah malam. Aku hubungi besok saja,"
Rani lantas memejamkan mata, berusaha untuk tidur dan mengistirahatkan badan yang lelah. Tapi, tak berselang lama, mata Rani terbuka lagi. Dengan cepat, ia meraih handphone di tasnya dan mengetikkan sesuatu.
'Hai Bian. Ini aku Rani, terimakasih atas bantuan mu hari ini. Kapan-kapan, aku ingin mentraktir mu untuk membalas budi,'
Sent.
Rani mengirim pesan itu dengan hati-hati. Lalu tanpa menunggu balasan dari Bian, ia segera menaruh handphone itu ke atas meja dan kembali merebahkan diri di atas kasur. Ia harus tidur untuk menghadapi hari esok yang berat.
kalau sudah jatuh baru mengharapkan bini yg sudah di sakiti!
kalau aku ma ya milih pergi!
ttep suka 🤗