Rasa sakit yang Maura rasakan saat mengetahui Rafa menikah dengan wanita lain tidak sebanding dengan rasa sakit yang kini dia rasakan saat tahu dirinya tengah hamil tanpa tahu siapa lelaki yang sudah membuatnya hamil.
Kejadian malam dimana dia mabuk adalah awal mula kehancuran hidupnya.
Hingga akhirnya dia tahu, lelaki yang sudah merenggut kesuciannya dan membuatnya hamil adalah suami orang dan juga sudah memiliki seorang anak.
Apa yang akan Maura lakukan? Apakah dia akan pergi jauh untuk menyembunyikan kehamilannya? Atau dia justru meminta pertanggung jawaban kepada lelaki itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dewi widya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
"Bagaimana kalau aku sudah jatuh cinta sama kamu?"
Perkataan Fabian malam itu terus saja menghantui pikiran Maura. Entah pagi, siang, sore, bahkan malam hari pun Maura terus saja dihantui pernyataan cinta tidak langsung dari Fabian. Dan itu sungguh membuatnya sangat terganggu.
Seperti pagi ini saat dirinya yoga di tepi kolam renang. Saat dia memejamkan kedua matanya dan mengambil nafas dalam justru bayangan Fabian juga perkataan Fabian waktu itu muncul di otaknya.
"ARGHHH!!!" Pekik Maura kesal karena terus saja kepikiran perkataan Fabian. Dia tidak jadi yoga dan justru hanya duduk saja diatas matras. Maura mendengkus kesal dan menatap air kolam yang terlihat begitu jernih dan segar.
"Cinta!! Semudah itu dia bilang cinta sama aku padahal kita baru kenal." Gumam Maura yang tidak percaya dengan perkataan Fabian yang menyatakan sudah jatuh cinta pada dirinya. "Aurel aja yang sudah dinikahi dan tinggal bersama selama tiga tahun aja tidak ada perasaan apapun. Ini baru dekat beberapa minggu sudah bilang cinta aja. Bulshit!!" Cibir Maura.
Maura sepertinya tidak sadar dengan apa yang dia ucapkan. Dia sendiri saja dulu juga pernah mengatakan cinta pada Rafa saat pertama kali mereka bertemu dan dengan percaya dirinya dia juga bilang akan menikah dengan Rafa. Dan sekarang justru tidak mempercayai apa yang Fabian nyatakan pada dirinya. Walau sebenarnya dia sendiri juga sudah ada sedikit perasaan untuk Fabian.
"Maura!!"
Maura mengangkat kepalanya saat ada seseorang yang memanggilnya dan tengah berjalan menuju kearahnya. Dia berdiri dari duduknya. "Aunty, ada apa?" Tanya Maura pada Caca yang kini sudah berdiri dihadapannya.
"Tumben rumah sepi?" Tanya Caca saat sampai rumah namun tidak ada orang, padahal minggu ini sudah libur sekolah. "Apa mereka jadi liburan?" Tanya Caca lagi mengingat liburan anak-anak ke luar negeri ditunda karena Maura sempat masuk rumah sakit.
"Jadi Aunty. Qila rewel, nagih janji terus sama Ayah Bunda. Jadi subuh tadi mereka berangkat ke bandara." Jawab Maura dengan tampang lesu. Dia tidak diperbolehkan ikut dan diminta istirahat saja di rumah. Meski begitu, sang Ayah tetap aja meminta dia menggantikannya kalau ada meeting.
"Kenapa kakak nggak bilang-bilang sih? Kan kita bisa liburan bareng." Caca terlihat kesal karena tidak diberitahu kalau Bryan, Freya dan juga anak-anak mereka jadi liburan.
"Terus kalau Aunty sama Uncle liburan juga yang jaga Oma siapa? Maura gitu." Timpal Maura yang sepertinya tidak suka bila semuanya ingin pergi liburan. Disaat orang tertua di rumah tengah sakit ini justru pergi liburan tanpa memikirkan orang tua yang tengah sakit. Meskipun ada seorang suster yang merawat, tapi tetap saja peran anak untuk orang tuanya yang sudah tua dan sakit sangat diperlukan.
"Iya lah!! Kamu kan cucunya." Maura menganga tidak percaya dengan apa yang Aunty nya katakan. Bisa-bisanya seorang anak tidak memiliki perasaan sama sekali ketika orang tuanya sakit.
"Dan Aunty itu anaknya loh."
"Aku tahu dan aku hanya bilang kalau kamu cucunya juga." Caca mengedipkan sebelah matanya, menggoda Maura dan berlalu pergi.
"Aunty rese!!" Teriak Maura yang kesal karena dikerjain sama Caca.
Caca hanya melambaikan tangannya saja. Dia datang karena memang perintah Bryan. Dia tadi sebenarnya hanya mengerjai Maura saja biar keponakannya itu tidak terlalu sedih karena memikirkan anaknya yang sudah meninggal.
"Kenapa sih semua orang akhir-akhir ini menyebalkan banget?" Tanya Maura pada diri sendiri.
Dia kembali duduk bersila diatas matras dan mengatur pernafasannya beberapa kali untuk mengontrol emosinya. Dibilang tidak sedih kehilangan anak, tentu saja Maura sedih. Tapi dia tidak mau berlarut dan membuat orang perihatin pada dirinya. Seperti yang Fabian katakan sebelumnya, Allah lebih sayang Fatih dan tidak ingin Fatih menanggung dosa dan kesalahan orang tuanya di masa lalu.
"Non!! Ada tamu mencari Non Maura." Kata Bik Mae yang datang mendekat pada dirinya.
"Siapa, Bik?" Tanya Maura tanpa menoleh ke arah Bik Mae. Dia masih fokus mengatur pernafasannya.
"Orang tuanya Dokter Fabian, Non." Jawab Bik Mae.
"Hmmm!! Suruh aja pergi."
Bik Mae mengerutkan keningnya mendengar perintah dari Maura. Apa dia tidak salah dengar, batinnya. "Disuruh pergi, Non?" Ulang Bik Mae memastikan.
"Iya. Suruh aja dia pergi. Aku nggak mau bertemu sama dokter itu." Ucap Maura dengan nada kesal kenapa pagi-pagi seperti ini Fabian datang menemui dirinya. Tidak tahu apa kalau saat ini dirinya masih kesal sama Fabian.
"Tapi ini Mamanya Dokter Fabian yang datang, Non." Sahut Bik Mae yang akhirnya sadar ternyata Nona Muda nya tadi salah mengira.
"Kenapa Bik Mae nggak bilang dari tadi sih kalau yang datang Mamanya Fabian?" Omel Maura seraya berdiri dari duduknya dan segera pergi menemui tamunya tanpa berganti pakaian terlebih dahulu.
"Perasaan aku tadi bilangnya orang tuanya Dokter Fabian deh. Nona aja mungkin yang tadi salah dengar." Gumam Bik Mae dan kembali ke dapur untuk menyiapkan minum buat tamu dan majikannya.
Maura mencoba tersenyum saat melihat Shanti duduk di ruang tamu menunggunya. "Sudah dari tadi, Tante? Maaf ya menunggu lama." Ucap Maura sopan, dia mencium tangan Shanti. Sudah beberapa kali dia bertemu sama Shanti sejak kedatangannya ke rumah beberapa minggu yang lalu. Mereka bertemu hanya sekedar tanya kabar, makan bersama maupun membahas kehamilan Maura.
"Nggak kok. Tante juga baru datang." Jawab Shanti dan meminta Maura duduk disebelahnya.
Shanti tersenyum melihat penampilan Maura saat ini yang berbeda dari biasanya. Sepertinya baru selesai olahraga, pikir Shanti. Terlihat natural dan apa adanya. Pakaiannya juga sopan, tidak terlalu ketat juga tidak terlalu terbuka.
"Maaf ya, Tante baru bisa menjenguk kamu. Kemarin Tante mampir ke rumah sakit, ternyata kamu sudah pulang." Sesal Shanti karena tidak bisa menjenguk Maura saat masih menginap di rumah sakit.
"Nggak apa kok, Tan. Maura juga sudah nggak apa, sudah baik-baik saja." Maura menampilkan senyumannya, menandakan kalau dia tengah dalam kondisi baik meski dalam hati kecilnya masih ada kesedihan karena harus kehilangan anaknya.
"Alhamdulillah kalau begitu." Shanti bersyukur kalau Maura dalam kondisi baik. "Kamu harus sabar ya, Nak. Yang ikhlas, yang legowo, pasti semua akan ada pengganti yang lebih baik lagi." Shanti memberi Maura semangat hidup. Meski dia sendiri kemarin begitu kaget saat Fabian memberi kabar kalau calon cucu mereka sudah tidak ada.
"Iya, Tante. Maura sudah ikhlas kok." Maura mengangguk dan mengiyakan, tidak lupa dia juga tersenyum tentunya.
Shanti tersenyum dan menggenggam kedua tangan Maura dengan kedua tangannya. Dia menghembuskan nafas perlahan dan menatap Maura sendu. "Maafkan anak Tante ya, Maura." Ucap Shanti yang masih saja tiap kali bertemu dengan Maura selalu meminta maaf atas Fabian. Tidak begitu jauh dulu saat sama Aurel juga dia selalu minta maaf atas Fabian, meski sebenarnya dia tidak begitu suka saat Aurel dan Fabian menikah. Karena Shanti dulunya juga menentang pernikahan itu. Tapi mau bagaimana lagi, semua itu atas permintaan terakhir Febry. Jadi dia terpaksa menyetujui permintaan konyol itu.
"Kenapa Tante terus minta maaf. Maura kan sudah pernah bilang sama Tante kalau Maura sudah memaafkan Fabian. Jadi Tante tidak usah minta maaf lagi atas nama Fabian." Timpal Maura yang merasa tidak enak karena Shanti terus saja minta maaf pada dirinya.
"Kamu memang wanita baik Maura." Maura hanya tersenyum saat mendapat pujian dari Shanti.
"Tante!" Panggil Maura yang nampak ragu ingin menanyakan sesuatu.
"Iya!! Ada apa?" Shanti menatap Maura yang sepertinya ingin menanyakan sesuatu pada dirinya.
"Apa benar Aurel itu dulunya istrinya Kakaknya Bian, dan Kasih adalah anak mereka, bukan anaknya Bian?" Tanya Maura dengan rasa takut. Dia takut menyinggung keluarga dari Shanti karena dirinya hanyalah orang luar.
"Apa Bian ada cerita sesuatu sama kamu?" Shanti justru bertanya balik dan Maura mengangguk mengiyakan.
"Iya benar. Aurel dulunya memang kakak iparnya Bian dan Kasih adalah keponakan Bian, cucu Tante. Bian dan Aurel menikah karena permintaan Febry sebelum meninggal." Shanti terlihat sedih saat mengingat kenangan Febry sebelum meninggal dan dimana Fabian yang harus menggantikan posisi Febry sebagai suami Aurel.
Maura terdiam, jadi apa yang dikatakan Fabian waktu itu benar adanya. Fabian tidak berbohong pada dirinya.
Shanti tersenyum, sepertinya tengah mengingat sesuatu. "Ra!! Apa Fabian ada bilang suka sama kamu?" Tanya Shanti penasaran. "Bian nggak pernah cerita masalah keluarga kalau bukan sama temannya yang bernama Gerry atau sama orang yang benar-benar dia suka. Dan dia cerita sama kamu itu sungguh kabar gembira buat Tante."
Maura menanggapi ucapan Shanti dengan senyum tertahan. "Jadi benar Fabian suka sama aku?"