🏆🏅 Juara Harapan Baru YAAW Season 10🥳
Kalau nggak suka, skip saja! Jangan kasih bintang satu! Please! 🙏🙏
Hafsa tidak menyangka bahwa pernikahannya dengan Gus Sahil akan menjadi bencana.
Pada malam pertama, saat semua pengantin seharusnya bahagia karena bisa berdua dengan orang tercinta, Hafsa malah mendapatkan kenyataan pahit bahwa hati Sahil tidak untuknya.
Hafsa berusaha menjadi istri yang paling baik, tapi Sahil justru berniat menghadirkan wanita lain dalam bahtera rumah tangga mereka.
Bagaimana nasib pernikahan tanpa cinta mereka? Akankah Hafsa akan menyerah, atau terus berjuang untuk mendapatkan cinta dari suaminya?
Ikuti terus cerita ini untuk tahu bagaimana perjuangan Hafsa mencairkan hati beku Gus Sahil.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HANA ADACHI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33. Selamat Tinggal Cinta Pertamaku
Pagi itu mendung masih menggelayut di Darul Quran. Matahari tampaknya masih malu-malu untuk muncul, bersembunyi di balik awan. Pagi itu terasa damai, sampai datang dua orang tamu yang tidak diduga-duga.
Hafsa yang membukakan pintu pertama kali. Terkesiap sesaat melihat seorang wanita paruh baya yang terlihat mirip dengan seseorang.
"Kami kemari mau mengantarkan undangan pernikahan Roha,"
Hafsa dan Umi Zahra saling pandang. Abah Baharuddin tersenyum menerima undangan tersebut.
"Kami berharap Umi dan Abah bisa datang saat ijab qabul. Kata Roha, njenengan berdua sudah dianggap sebagai orangtua kandungnya sendiri," lanjut lelaki paruh baya yang ternyata paman dari Roha.
"InsyaAllah kami akan hadir saat ijab qabul. Kami doakan semoga acaranya berjalan lancar," Abah Baharuddin mendoakan.
"Terimakasih Abah, kehadiran njenengan sangat kami nantikan."
Usai kedua tamu itu pulang, Hafsa memegang undangan itu dengan tatapan ragu. Haruskah ia beritahukan suaminya akan kabar baik itu? Ah, apa menurut Gus Sahil kabar ini justru kabar buruk? Setelah lama menimbang-nimbang, Hafsa akhirnya memutuskan untuk mengatakannya saja.
Saat Gus Sahil masuk ke kamar setelah mengajar ngaji para santri, Hafsa segera mendekati sang suami.
"Mas Gus," Panggilnya lirih. Gus Sahil menoleh, mengernyitkan dahi melihat wajah serius sang istri.
"Ada apa Sa?"
Hafsa menyerahkan undangan tersebut, Gus Sahil menerimanya dengan tatapan penuh tanya.
Muhammad Alwi dan Salma Rohayah, Gus Sahil membaca nama pada undangan tersebut. Gus Sahil serta merta menatap Hafsa, raut wajahnya terlihat bingung.
"Paman dan bibinya mbak Roha datang kemari, mereka minta kita untuk hadir di acara ijab qabul besok. Njenengan mau ikut tidak?"
Gus Sahil menggelengkan kepalanya. "Aku di sini saja Sa,"
"Tidak apa-apa kalau mau ikut Mas Gus," Hafsa berkata lembut. "Saya akan mengerti,"
"Kehadiranku cuma akan menghancurkan hari bahagia mereka Sa," Gus Sahil menundukkan kepala. "Aku juga ingin menjaga diriku untuk menepati janji padamu,"
Hafsa terdiam. Gus Sahil benar. Tidak ada jaminan hati Gus Sahil tidak goyah saat melihat Roha di sana. Kalau sudah seperti itu, Hafsa juga tidak tahu harus berbuat apa.
Pada akhirnya, Hafsa menganggukkan kepala menuruti keputusan sang suami.
Esoknya, Hafsa dan kedua mertuanya bersiap untuk pergi. Hafsa sudah mematut dirinya di cermin sejak pagi, memilih hijab mana yang warnanya lebih cocok dengan gamis burkatnya. Setelah menentukan pilihannya, Hafsa segera berganti pakaian. Gamis burkat berwarna biru muda tampak bagus dipakai pada kulitnya yang putih.
"Ugh," Hafsa mencoba meraih ritsleting bajunya yang berada di belakang. Sepertinya ada benang yang tersangkut di sana, sehingga ritsletingnya tidak mau menutup.
Sedang sibuk bergulat dengan bajunya, pintu kamar tiba-tiba terbuka. Hafsa terkesiap. Gus Sahil yang baru masuk juga ikut mematung. Istrinya tengah memakai pakaian yang belum sepenuhnya tertutup.
"Maaf Mas Gus," Hafsa menyambar hijabnya yang tergeletak di atas kasur, bermaksud pindah ke kamar mandi. Seingatnya dia sudah mengunci pintu tadi, tapi melihat Gus Sahil bisa segera masuk tanpa mengetuk pintu, maka sudah pasti ia lupa.
"Di sini saja nggak apa-apa," Gus Sahil mencegah Hafsa yang sudah hendak beranjak. "Nanti gamisnya kotor kalau kena lantai kamar mandi,"
Hafsa menghentikan langkahnya. Ujung gamisnya memang agak panjang, sehingga saat berjalan ia bisa sekalian menyapu lantai. Nantinya Hafsa akan memakai sepatu hak tinggi untuk menghindari hal tersebut.
"Kita kan suami istri, jadi nggak masalah ganti baju di sini," lanjut Gus Sahil kemudian. Sesaat setelah itu, Gus Sahil terhenyak. Bodoh kau Sahil! Kan dulu dirimu juga yang bilang dia tidak boleh ganti di kamar!
Hafsa kembali meletakkan hijabnya di atas kasur. Dia juga sudah terlanjur dilihat oleh Gus Sahil, jadi diteruskan saja tidak masalah.
Gus Sahil berjalan menuju lemari pakaiannya, sebisa mungkin tidak melihat ke arah Hafsa yang masih berdiri di depan cermin. Tapi, demi melihat Hafsa yang kesusahan dengan ritsleting bajunya membuatnya mau tidak mau menoleh.
"Boleh ku bantu?" tanya Gus Sahil menawarkan diri. Hafsa sebenarnya ingin menolak, tapi tangannya sudah pegal sekali. Pada akhirnya ia mengangguk mempersilahkan.
Gus Sahil memegang ritsleting pakaian Hafsa dengan hati-hati. Hatinya berdesir melihat punggung putih Hafsa yang terbuka. Tapi ia segera mengusir pikiran itu, mengeluarkan benang yang tersangkut di sana.
Di sisi lain, jantung Hafsa sudah berdegup kencang. Perutnya terasa menggelitik, seolah ada kupu-kupu yang terbang di dalam sana setiap kali hembusan nafas Gus Sahil menerpa kulit punggungnya.
Mereka berdua saling diam. Suasana di dalam kamar terasa tegang. Gus Sahil segera berusaha menutup ritsleting pakaian Hafsa dengan cermat, mencoba menekan perasaan yang mulai tumbuh di dalam dirinya. Hafsa menghela nafas lega setelah ritsleting berhasil ditutup.
"Sudah belum Mas Gus?" tanya Hafsa dengan suara lirih. Dia heran karena Gus Sahil tidak kunjung beranjak dari belakang tubuhnya.
"Oh, sudah, sudah." Gus Sahil menjawab gugup. Ritsletingnya sudah tertutup rapat sejak tadi, tapi entah kenapa ia merasa masih ingin berlama-lama melihat bagian belakang istrinya.
"Terimakasih," ucap Hafsa sembari mengusap leher belakangnya yang terasa memanas.
"Kalau gitu, aku keluar dulu," Gus Sahil salah tingkah, beranjak ke pintu. Baru beberapa langkah, ia kembali lagi, kali ini sambil menyambar sebuah buku yang ada di atas kasur. "Bukunya lupa," ucapnya kemudian.
Hafsa mengangguk kecil, dia sendiri sudah sibuk menenangkan jantungnya yang berdetak tak karuan.
Perjalanan menuju rumah Roha berlangsung dalam damai. Abah Baharuddin dan Umi Zahra tidak membahas tentang Roha sama sekali. Sepertinya kedua mertua Hafsa itu memang berusaha menjaga hati menantunya, memilih membahas yang lain.
Setelah sampai di lokasi, acara ijab qabul akan segera dimulai. Abah Baharuddin menjadi wali yang akan menikahkan Roha, menggantikan ayah kandungnya yang saat ini sedang berada jauh di Kalimantan.
"Saya terima nikahnya Salma Rohayah binti Zainal dengan maskawin tersebut dibayar tunai!"
Kalimat itu diucapkan Kang Alwi dalam sekali napas. Setelah saksi berkata sah, semua orang serentak mengucap syukur.
Setelah ijab qabul selesai, mempelai wanita dituntun keluar. Hafsa melihat kedatangan Roha dengan senyum merekah. Gadis itu terlihat sangat cantik dengan gaun pengantin berwarna putih.
"Terimakasih sudah mau datang Umi," ucap Roha saat bersimpuh di kaki Umi Zahra. "Terimakasih sudah mau datang di hari bahagia saya,"
"Tentu saja Umi harus datang Nduk," Umi Zahra menepuk-nepuk punggung Roha. "Umi juga sudah menganggap kamu seperti anak Umi sendiri,"
Hafsa melihat itu semua sembari menyusut air matanya. Terlepas dari apa yang sudah terjadi antara Roha dengan Gus Sahil, gadis itu adalah gadis yang baik. Hafsa tidak punya alasan untuk membencinya. Pada saat yang sama, ia juga turut memikirkan Gus Sahil. Apa yang dilakukan suaminya itu sendirian di rumah?
...----------------...
Gus Sahil membuka lemari pakaiannya, menarik laci tersembunyi yang menyembunyikan rahasia besarnya.
Entah Hafsa mengetahuinya atau tidak, dan Gus Sahil berharap istrinya tidak akan pernah tahu. Karena jika ia tahu, sudah pasti sakit hati istrinya begitu dalam.
Gus Sahil mengeluarkan surat-surat itu, memasukkan ke dalam kantong plastik. Ia sudah bertekad untuk memusnahkan semuanya.
Di dapur belakang, tempat para santri biasa memasak untuk para santri adalah tempat yang dituju Gus Sahil. Untunglah tidak ada siapapun di sana. Karena para santri saat itu sedang bersekolah sesuai tingkat mereka masing-masing.
Gus Sahil lalu menyusun beberapa kayu di dalam tungku, membakarnya dengan korek api. Satu persatu, ia bakar surat-surat itu, sebagai tanda sudah menyerah akan perasaannya.
"Selamat tinggal, cinta pertamaku." Gus Sahil berbisik lirih.