"Apa kamu sudah menemukan informasi tentangnya, Jackson?"
"Sudah, Kak. Aku yakin dia adalah dady kita."
Dua bocah laki-laki berusia 7 tahun itu kini menatap ke arah layar komputer mereka bersama-sama. Mereka melihat foto seorang Pria dengan tatapan datar dan dingin. Namun, dia memiliki wajah yang sangat tampan rupawan.
"Jarret, Jackson apa yang kalian lakukan?" Tiba-tiba suara seseorang membuat kedua bocah itu tersentak kaget.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon emmarisma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33. Ingin Sendiri
Ini kali pertama Ben makan berempat di satu meja makan dengan Giani dan kedua putranya. Hatinya langsung menghangat.
Ben bisa melihat betapa Giani begitu memperhatikan kedua putranya. Tanpa sadar Ben tersenyum lembut.
"Daddy kenapa daddy tersenyum seperti itu? Apakah mommy lucu?" Jack tiba-tiba usil bertanya melihat ayahnya sesekali tersenyum menatap ibunya.
"Ehm, daddy hanya senang karena sekarang makan ada yang menemani."
"Apa sebelumnya daddy selalu makan sendirian?"
"Ya, daddy selalu sendiri."
"Lalu apa gunanya ada uncle Ramos? Kenapa daddy tidak mengajaknya sekalian?"
"Uncle Ramos tidak mau menemani daddy. Makanya karena sekarang ada kalian daddy sangat senang. Jadi daddy berharap kalian tetap mau tinggal di sini."
Jack kembali menoleh menatap ibunya. "Bagaimana, Mom? Apa mommy mau?"
"Kalau kalian mau di sini tidak masalah. Kalian tidak perlu memikirkan mommy. Mommy akan melihat rumah kakek besok. Jika memungkinkan mommy akan merenovasi rumah kakek dan tinggal di sana."
"Aku akan ikut mommy," kata Jarret.
"Kalau kakak ikut mommy, aku juga ikut. Aku tidak mau berpisah dari kakak. Maaf, Dad."
"Kalian boleh di sini. Lagi pula mommy belum tahu seberapa parah kerusakan di rumah kakek. Kalian sebaiknya tidak ikut mommy."
Giani tak tega melihat wajah Ben yang tampak kecewa mendengar kedua putranya memilih bersama dirinya.
"Apa begini saja, Daddy. Daddy yang ikut tinggal dengan kami. Bagaimana?"
"Sebaiknya kita makan dulu. Nanti makanannya keburu dingin. Selesai makan kita bicarakan lagi," kata Giani. Akhirnya mereka berempat makan dengan tenang.
Selesai makan, Giani meminta kedua anaknya untuk masuk ke dalam kamar. Dia ingin bicara dengan Ben sebentar mengenai Jack dan Jarret jadi dia tidak mau kedua putranya mendengar apa yang dibicarakan olehnya nanti.
"Tuan, ada yang mau aku bicarakan."
"Panggil aku Ben, Giani. Ayo kita bicara di tempat lain. Kau pasti tidak mau Jack dan Jarret mendengar pembicaraan kita bukan?"
Giani mengangguk, Ben membawa Giani ke sebuah ruangan. Ruangan itu letaknya di balik lukisan. Giani tidak merasa aneh jika rumah itu memiliki banyak ruang rahasia.
"Duduklah, kau ingin bicara apa?"
"Sebelumnya aku minta maaf. Mungkin permintaanku ini sedikit berlebihan."
"Katakan saja, Giani."
"Bisakah aku titip Jack dan Jarret di sini?"
"Memangnya kenapa? kau akan pergi kemana?"
"Aku ingin menyelidiki kasus kebakaran itu tanpa melibatkan siapa pun. Aku khawatir memang ada yang mengincar nyawa ayahku. Aku takut jika Jack dan Jarret ada di sekitarku mereka akan terseret masalah."
"Dari mana kau bisa menyimpulkan hal itu?"
"Entahlah, biasanya feelingku kuat."
"Jika kau memang perlu bantuan jangan sungkan untuk mengatakannya padaku, Giani. Kau tidak sendiri, aku akan ada untukmu dan anak-anak mulai sekarang," kata Ben. Giani hanya tersenyum miris.
"Andai itu anda lakukan 7 tahun yang lalu, mungkin jalan ceritanya akan berbeda."
"Maafkan aku, aku terlalu banyak pertimbangan. Akan tetapi, percayalah jika aku selalu mengawasi dan menjaga kalian meski aku tidak ada di sekitarmu."
"Kenapa anda memilih melakukan itu? Apa anda tidak sadar jika mereka sudah membutuhkan keberadaan anda dari 7 tahun yang lalu. Peran anda sebagai figur seorang ayah sangat mereka perlukan. Namun, karena keputusan anda, mereka jadi harus dewasa sebelum waktunya. Mereka dipaksa mengerti sesuatu yang seharusnya belum waktunya mereka paham.
Kondisi dimana mereka harus paham jika mereka terlahir berbeda dari keluarga pada umumnya. Mereka harus mau mengerti jika sejak mereka lahir meraka tidak memiliki seorang ayah."
Ben menelan ludahnya kasar. Dia tahu jika telah begitu dalam menorehkan luka di batin Giani. Keputusan bodoh yang dia pikir benar, tapi nyatanya justru orang-orang yang ingin dia lindungi malah terluka begitu dalam, termasuk juga anak-anaknya."
"Maafkan aku," ucap Ben pasrah. Dia memang salah.
"Sudahlah, itu sudah berlalu dan saya harap kali ini anda benar bisa menjaga mereka dengan baik. Besok pagi-pagi sekali aku akan pergi," kata Giani.
"Kau tidak perlu turun tangan sendiri. Biar anak buahku yang menyelidikinya."
"Tidak, aku tidak bisa diam saja. Aku harus mencari tahu sendiri apa yang terjadi pada ayahku. Ini sebagai penembus rasa bersalahku."
"Bagaimana jika nanti mereka mencarimu?"
"Anda harus bisa memberi jawaban pada mereka tentunya."
"Jawaban yang seperti apa?"
"Entahlah." Giani tersenyum melihat wajah bingung Ben.
***
Esok harinya, Giani benar-benar pergi tanpa sepengetahuan kedua putranya. Entah mengapa dia punya pikiran jika memang sejak awal ada yang tidak beres.
Giani menaiki mobil yang kemarin dipinjamkan oleh Ben. Dia pergi pagi-pagi buta. Saar Giani sampai di depan rumahnya. Tubuhnya bergetar hebat. Sudut matanya mulai mengeluarkan titik air mata. Pemandangan di hadapannya begitu menyesakkan hatinya. Giani membayangkan ayahnya kebingungan mencari pertolongan dan akhirnya karena tak ada yang menyadari kebakaran itu, Ayahnya yang malang mati terpanggang.
Giani mulai melangkah mendekati bangunan yang sudah tinggal separuh itu. Dia melewati garis polisi dan masuk ke dalam sana. Dadanya terasa sesak saat kembali mengingat kenangan di rumah itu. Kenangan di mana dia tumbuh dan besar di sana. Kenangan di mana dia menghabiskan waktu menemani ibunya merajut syal untuk hadiah Natal ayahnya. Rasanya semua baru kemarin terlewat dan sekarang Giani hanya melihat puing-puing bangunan rumahnya. Giani terduduk di lantai dan terisak.
Sungguh Giani saat ini tidak ingin terlihat lemah di mata siapapun. Itulah kenapa alasannya dia meminta Ben untuk menjaga kedua putranya. Dia tidak mau, Ben dan anak-anaknya menaruh rasa kasihan padanya.
Entah berapa lama Giani menangis dengan posisi begitu sampai tiba-tiba seseorang memeluknya dari belakang.
Giani menoleh dan mendapati Jarret ikut menangis sembari memeluknya. "Hei, kenapa kau di sini, Sayang?"
"Mommy jangan pergi sendiri. Aku khwatir ada orang jahat yang akan menyakiti mommy."
"Mommy tidak apa-apa Sayang, tapi terima kasih sudah mencemaskan mommy."
Giani tersenyum mendengar ucapan putra pertamanya itu. "Jawab mommy, Jarret! Kenapa kau bisa sampai ada di sini?"
"Aku bersembunyi di dalam mobil." kata Jarret.
...****************...