follow Ig : dhee.author
Mungkin ini tidak sepantasnya. Tapi apa daya kalau Mika terlanjur dibuat nyaman oleh kakak iparnya sendiri.
Sedangkan lelaki yang dia sebut suami, dia lebih mementingkan wanita lain ketimbang dirinya.
Nalurinya sebagai perempuan yang haus akan perhatian sudah terpenuhi oleh kakak iparnya, Gavin.
Hingga perlahan cinta itu tumbuh dan tak bisa dicegah lagi. Rasa ingin memiliki itu begitu kuat. Sekuat rintangan yang harus mereka lalui agar bisa bersama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dhessy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 33
Penyesalan merajai hati dan pikiran Gavin setelah dia membentak Mikha. Bahkan kata-katanya pun begitu menyakitkan. Dia yang mengingatnya pun merasa marah pada dirinya sendiri apalagi dengan Mikha.
Sejak tiga hari yang lalu. Tepatnya saat pertengkaran mereka terjadi, Gavin tak tahu dimana keberadaan Mikha sekarang.
Handphonenya belum juga aktif sampai saat ini. Tanda pesan yang dia kirimkan belum juga berubah menjadi centang dua.
Akhirnya Gavin pun memberanikan diri untuk mendatangi kediaman kedua orangtua Mikha untuk menanyakan keberadaan Mikha.
"Ngapain kamu ke sini?" Tanggapan sinis dari Wira menjadi sambutan kedatangan Gavin.
"Saya mau bertemu dengan Mikha, Om. Mikhanya ada?" jawab Gavin dengan tegas.
"Saya sendiri sedang mencari keberadaan anak saya, Gavin. Sudah tiga hari dia tidak pulang. Apa yang kamu lakukan terhadap anak saya sehingga anak saya menghilang begitu saja?"
Gavin terperangah mendengar bahwa Mikha tidak pulang selama tiga hari. Kedua orangtuanya pun tidak mengetahui dimana Mikha sekarang.
Tiga hari lamanya Mikha menghilang. Itu berarti Mikha pergi setelah pertengkaran mereka waktu itu.
"Kenapa kamu diam? Berarti benar kalau kamu yang membuat anak saya pergi?"
"Om. Waktu itu saya_"
"Saya tidak peduli lagi dengan alasan kamu dan pembelaan diri kamu. Yang saya minta, cukup jauhi anak saya! Silahkan pergi dari sini. Saya mau cari Mikha lagi."
Gavin mengangguk lesu. Harusnya dia bisa melakukan lebih untuk memperjuangkan hubungannya dengan Mikha di hadapan kedua orangtua Mikha. Tapi keadaan tidak memungkinkan untuk itu.
Baik dirinya maupun kedua orangtua Mikha sedang mencari keberadaan Mikha yang menghilang begitu saja tanpa kabar.
"Kamu dimana, Mikha? Harus banget main petak umpet kayak gini?" gumamnya frustasi. Gavin mengacak rambutnya dengan kasar.
🌹🌹🌹
"Mikha udah mau makan, Ma?"
Feni menggelengkan kepalanya dengan lesu. Kemudian menghela napas panjang. "Belum, Pa."
Wira mendekati Mikha yang tertidur lelap di atas ranjang sebuah rumah sakit besar di kota Bandung.
Tiga hari yang lalu, Mikha di selamatkan oleh beberapa pemuda yang berniat menghabiskan malam di pinggir pantai.
Awalnya, mereka biasa saja saat melihat Mikha mulai mendekati air. Mereka pikir, Mikha hanya ingin bermain dengan air.
Tapi seseorang diantara mereka terus memperhatikan Mikha karena tingkah Mikha yang dianggap tak wajar.
Mikha terus menuju ke tengah laut. Bahkan tak peduli saat ombak besar menerpa tubuhnya.
"Bro, cewek itu kayaknya mau bunuh diri!" ucapnya yang membuat teman-temannya langsung melihat ke arah Mikha.
Mereka langsung berlari menuju tempat Mikha berdiri. Tapi sayang, tubuh Mikha lebih dulu tergulung ombak besar dan membuatnya hanyut terbawa arus.
Untung saja para pemuda tersebut pandai berenang. Mereka segera mencari tubuh Mikha sebelum semakin jauh terbawa air laut.
Tak sampai lima menit, Mikha berhasil mereka temukan dalam keadaan tidak sadarkan diri.
Mereka membawa Mikha ke pantai dan memberikan pertolongan pertama. Setelah Mikha sadar, Mikha segera dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan intensif karena kepalanya berdarah. Mungkin sempat menghantam batu karang.
"Sus." Panggil Mikha pada salah satu suster yang tengah menanganinya.
"Ada apa?"
"Barang-barang saya ada?"
Suster tersebut mengangguk. "Iya, ada. Ada yang dibutuhkan?"
"Telepon Papa saya ya, Sus. Nomornya aku namain Papa."
"Oh, baiklah. Saya akan menelepon keluarga kamu supaya cepat datang ke sini."
"Terimakasih, Sus."
"Iya. Sama-sama."
Sengaja Mikha lakukan karena Mikha tak ingin pihak rumah sakit menghubungi Gavin karena nomor Gavin dia sematkan. Nomor Gavin berada di paling atas di aplikasi chatnya.
***
Melihat putrinya yang terus diam tak ingin mengatakan apa masalah yang sedang dia hadapi, Wira dan Feni memilih untuk memanggil Sena selaku sahabat Mikha. Dengan catatan tegas bahwa Sena tidak boleh memberitahu Gavin tentang keberadaan Mikha.
"Tante sama Om keluar dulu ya, Sen. Barangkali Mikha hanya ingin bicara berdua dengan kamu."
Sena mengangguk sungkan dan tersenyum tipis. "Iya, Tante."
Sepeninggal Wira dan Feni, Sena segera duduk di atas kursi di samping ranjang Mikha. Mikha masih memejamkan matanya meskipun Sena tau Mikha tidak tidur.
"Emangnya beneran mau bunuh diri?"
Memang terdengar kasar untuk sebuah kalimat pembuka. Tapi Sena tahu kalau Mikha hanya berpura-pura saja dengan keadaan yang membuat orang-orang berpikir seolah-olah Mikha masih lemah.
Itu hanya upayanya agar tak ada yang menanyainya aneh-aneh dan membuatnya tidak nyaman.
Mikha membuka matanya, lalu memicingkan matanya dengan sedikit kesal. "Gue nggak ada niatan buat bunuh diri tau, Sen."
"Terus kenapa nyebur ke tengah laut sore-sore begitu?"
Mikha menggelengkan kepalanya. "Nggak tau. Kayak ada yang nyuruh gue ke sana, Sen."
"Aneh."
Mikha mengangguk membenarkan. "Iya. Emang aneh."
Saat itu dia sadar bahwa dia berjalan semakin ke tengah laut. Tapi kakinya tak mau berhenti dan berbalik ke pantai lagi.
"Kenapa, sih? Lagi berantem sama Gavin apa gimana?"
Mikha terdiam kembali teringat pertengkarannya dengan Gavin beberapa hari yang lalu.
Kata-katanya begitu menyakitkan hati Mikha. Baru pertama kalinya Gavin sekasar itu pada dirinya.
"Lo bayangin deh, Sen. Lo sama pacar Lo jarang ketemu karena kesibukan masing-masing. Lo capek, Lo banyak pilihannya pikiran, Lo pengen merefresh pikiran Lo, tapi Lo malah lihat cowok Lo jalan sama cewek lain. Satu pesan Lo nggak ada yang dibalas padahal dia selalu lihat handphone. Apa yang Lo rasain?"
"Kesel, marah, kecewa. Pasti ngerasain kayak gitu, kan?"
Mikha mengangguk membenarkan. "Tapi anehnya dia yang malah marah-marah ke gue, bentak-bentak gue. Nggak pernah dia kayak gitu ke gue. Tapi kemarin, ucapannya benar-benar buat gue sakit hati, Sen."
Sena menghembuskan napas pelan. "Gini, ya, Mikha. Saat itu mungkin kalian lagi sama-sama capek. Pikiran kalian sedang sama-sama butuh direfresh. Orang kalau capek, hal kecil aja bisa jadi masalah besar, Kha. Tapi dengan pertengkaran kalian, itu bisa dijadikan kesempatan untuk introspeksi diri. Gue yakin Gavin udah nyesel ngelakuin itu ke Lo, Kha."
"Sok tau, Lo. Mana mungkin Gavin nyesel. Dia ngucapinnya tanpa beban loh, Sen."
"Gue tau, Mikha. Dua hari yang lalu dia nemuin gue buat nanyain keberadaan Lo. Dan setiap satu jam sekali dia ngirim pesan ke gue, tanya udah ketemu sama Lo atau belum."
Mikha mendengus kesal. Memasang wajah seolah tak percaya dengan ucapan Sena.
Padahal, dalam hatinya ada rasa senang saat mendengar Gavin mencarinya. Di handphonenya pasti juga ada puluhan pesan dan ratusan panggilan dari Gavin.
Tapi meskipun begitu, Mikha belum berniat untuk mengaktifkan kembali handphonenya yang dia matikan.
Biar saja itu menjadi hukuman buat Gavin. Besok jika dia sudah kembali ke Jakarta, baru akan menemui Gavin.
Mikha ingin tau bagaimana ekspresi Gavin saat melihatnya kembali. Juga ingin dengar apa yang akan Gavin ucapkan jika dia benar-benar menyesali perbuatan dan ucapannya kemarin.