Novel ini menekankan pada janji yg dibuat sebagai dasar pengungkit,
bisa karna janji yg tidak ditepati atau karna ungkapan rasa yg tidak diterima karna janji tersebut
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nova Sarii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
"Assalamu'alaikum mama, kakak kami pulang, " salam Silvi dan Fikri barengan.
"Wa'alaikumussalam sayang, tumben akur, " ujar mama sambil tersenyum.
"Kakak mana ma? kok gak kelihatan? tapi kata kakak ada papa, " ujar Fikri.
"Kakak di kamar, kalian mandi sana habis itu sholat, " suruh mama pada mereka.
"Siap ma, kami beli gorengan ma, " meletakkan gorengan di meja.
Tok
Tok
Tok
"Kakak buka pintu kak, " terdengar suara Fikri memanggil.
Aku membuka pintu dan berdiri di depan kamar, "Kak bilang kakak..... "
"Papa pergi sebentar katanya dek, kalian mandi dan sholat dulu, " kata ku memotong pertanyaan Fikri.
"Ok kak aku mandi dulu, Oh ya kak aku beli gorengan itu, " kata Fikri berjalan ke kamar nya.
"Ya nanti kakak habiskan, " canda ku.
Aku dan Ami keluar kamar dan duduk di ruangan tv sambil makan gorengan.
Sedangkan mama pergi takziah tempat tetangga.
"Aku sudah wangi, " seru Silvi sambil menjatuhkan bokongnya di sebelah ku dan mengambil gorengan yg ada di tangan ku.
"Ih Silvi kok punya kakak diambil sih? " kesal ku.
"sengaja kak, " sambil cengengesan padaku.
Tok tok tok, "Assalamu'alaikum, " ucap salam dari depan.
"Wa'alaikumussalam, " jawabku sambil berjalan untuk membukakan pintu, aku sudah tau siapa yg datang.
Ku bukakan pintu tampak papa berdiri sambil tersenyum, "Assalamu'alaikum nak, papa beli ini buat kalian, " kata papa menyodorkan kantong kepada ku.
"Makasih pa, " ucap ku sambil menerima kantong dadi tangan papa.
Aku mempersilakan beliau masuk,
"Nay tinggal sebentar ya pa mau manggil Silvi dan Fikri, "
"Ya nak, "
Aku berjalan ke dalam, "Ngapain dia ke sini kak? " tanya Silvi dengan wajah kesal.
"Gak baik ngomong gitu dek, " sambil menutup mulut Silvi.
"Kamu pakai jilbab sana kita temuin papa, " ujar ku.
"Malas kak, " ucap Silvi mencomot gorengan.
"Gak baik gitu dek gimana pun beliau orang tua kita juga lho, "
Silvi berdiri dengan malas berjalan sambil menghentakkan kakinya.
Fikri keluar dari ruangannya, "kenapa kak Silvi kak? " tanya nya.
"Dia kesal sama kakak karna kakak minta untuk temui papa, "
Fikri cuma menarik nafas kasar.
"Kakak sudah bikinin papa minum? ayuk kita temui papa kak, " ajak nya menarik tangan ku.
"Tunggu bentar dek Silvi belum keluar, "
kata ku.
Silvi keluar dari kamar nya dengan wajah cemberut, "muka nya tolong dikondisikan kak, " canda Fikri tersenyum ke arah Silvi dan sengaja mencubit hidung Silvi.
"Fikriiiiiii, " teriak Silvi kesal.
"Sudah berantem mulu, ayuk kita temui papa, " ujar ku.
"Ami aku tinggal bentar ya, " kata ku.
"Sip, " ujar Ami mengajukan jempol nya.
Kami bertiga keluar, Fikri dan Silvi salam sama mama. Papa akan memeluk Silvi tapi Silvi menghindar dan kelihatan risih. Aku melihat ke arah Silvi, dia hanya cuek.
Silvi duduk bersebelahan dengan ku, sedangkan Fikri duduk dekat papa.
"Baru pulang kerja nak? " tanya papa pada Silvi dan Fikri.
"Kami maghrib sampai di rumah pa karna macet dijalan, " jawab Fikri.
"Kalian pergi barengan? "
"Ya pa kami barengan karna motor satu lagi buat kakak di rumah, " jelas Fikri.
"Hem, anak papa sekarang sudah pada dewasa ya, papa bangga sama kalian karna kalian bisa membahagiakan orang tua kalian, maaf kan papa yg sudah meninggalkan kalian, "
kata beliau sambil menatap kami satu per satu.
"Kami sudah memaafkan papa, " jawab ku.
Fikri cuma memandang ku sekilas, sedangkan Silvi sibuk dengan HP nya.
"Pa, sampai kapan papa seperti ini? " tanya Fikri menoleh pada papa. Aku dan Silvi juga menatap heran apa maksud dari pertanyaan Fikri.
"Maksud nya nak? papa gak ngerti, " kata papa menatap Fikri.
"Hem, aku sudah dewasa pa dan aku juga cowok yg akan menjadi imam dalam rumah tangga ku nanti nya, sampai kapan papa mencontohkan hal yg gak baik seperti ini? sampai kapan papa berganti pakaian hidup dan mempunyai anak dengan mereka, " ucap Fikri dengan suara tegas.
"Betul itu, apa papa gak kasihan sama kami nanti nya pa? ketika kami mempunyai suami dan suami kami meninggalkan kami dan menikah lagi, yg lebih sakit nya lagi sebelum berpisah sudah mempunyai anak, " ucap ku.
"Aku setuju dengan kakak dan Fikri, taubat pa jangan sakiti hati wanita terus, " kata Silvi membuka suara.
"Apa kalian malu punya papa seperti papa? " tanya papa kepada kami.
"Bukan malu pa, sebagai anak yg sudah dewasa kami wajib mengingatkan papa, jangan sampai papa menyesal nanti nya, " ujar Fikri.
"Justru itu nak papa ke sini mau minta maaf sama kalian atas sikap papa selama ini, jangan membenci papa nak, Silvi jangan menghindari papa nak, " papa menatap Silvi dengan mata yg berkaca kaca.
Dari kami bertiga memang Silvi yg mempunyai sifat keras. Sejak orang tua kami berpisah Silvi gak pernah mau ketemu sama papa lagi, aku sebagai kakak sudah membujuk bahkan mama tapi dia tetap kekeh gak mau.
Silvi membuang muka saat papa menatap nya.
"Silvi gak mau memaafkan papa nak? " tanya papa lagi.
"Fikri jadilah laki laki yg bertanggung jawab ya nak, jangan contoh papa, jaga mama dan kakak dengan baik, jika Fikri sudah menjadi seorang suami nanti nya jangan pernah lupakan tanggung jawab Fikri kepada mama dan kakak ya nak, " papa menepuk pundak Fikri.
"Kalian akur akur ya, jika papa gak bisa menjadi wali kalian maka papa amanah kan kepada Fikri, " ujar Fikri.
"Pa, kerjakan sholat lagi pa, ingat akhirat pa, " ucap ku.
"Ya nak papa akan sholat lagi, papa malu sama kalian, " kata papa lagi.
"Malu sama Allah pa bukan sama kami, " ucap Fikri tersenyum untuk mencairkan suasana.
"Anak papa belum ada yg pengen berumah tangga? biar papa bisa melihat anak papa, " ujar papa.
"Kenapa papa ngomong begitu?," kata ku.
"Papa sering sakit sekarang nak, mungkin itu karma yg harus papa jalani, makanya papa temuin kalian sekarang, papa ingin meminta maaf secara langsung pada kalian, papa juga rindu sama kalian."
"Kok sekarang baru ingat kesalahan? selama ini kemana aja pa? " tanya Silvi.
Aku menatap Silvi kesal, aku gak menyangka dia bicara seperti itu.
Papa gak menjawab beliau cuma diam, ada rasa di wajah beliau.
"Papa minta maaf nak, papa memang salah selama ini telah meninggalkan kalian dan gak mendampingi kalian disaat kalian membutuhkan papa, papa orang tua yg jahat nak. "
"Nayla jika Nayla sudah siap untuk menikah, papa restui nak dengan laki laki yg menjadi pilihan Nayla nanti nya, begitu juga Silvi dan Fikri, semoga anak anak papa bahagia dengan pilihan kalian nanti nya. "
Kami cuma diam mendengarkan omongan papa.
"Oh ya nak ini ada tabungan buat kalian nanti nya, tolong diterima ya nak, " papa memberikan tiga amplop kepada kami.
"Ini buat apa pa? kami gak bisa menerima pa, kami bisa memenuhi kebutuhan kami dan juga mama, papa ambil aja lagi, " ucap Silvi mendorong amplop tersebut.
"Nayla diterima ya nak, izinkan papa menembus kesalahan papa, jangan biarkan papa dihantui dengan rasa bersalah kepada kalian."
Aku teringat nasehat Ami, dengan berat hati aku mengambil amplop tersebut dari tangan papa, "terimakasih pa, " ucap ku.
Silvi dan Fikri melirik ku, aku gak mempedulikan nya, aku gak ingin membuat papa sedih, apalagi aku anak pertama yg harus mencontohkan sikap baik kepada adek adek ku.
"Papa balik ya nak, jaga diri kalian, papa sayang kalian semua, " papa berdiri dari duduk nya dan memeluk Fikri.
Kami melepaskan kepergian beliau, lalu Fikri menutup pagar, "Mama sudah pulang kak? " tanya Fikri menenteng kantong yg papa berikan.
"Kaya nya sudah dek, " jawab ku.
Silvi duduk di kursi meja makan, "cacing cacing ku berontak kaya nya setelah mendengarkan drama indosiar, " ucap nya.
Kami gak merespon omongan nya. Aku lihat mama lagi sholat isya di kamar dan Ami juga sudah masuk kamar.
Aku membuka kantong yg papa berikan, ada roti tawar, susu, buah dan martabak di dalam nya.
Aku membereskan nya dan mengambil wudhu untuk menunaikan kewajiban ku. Aku lihat Ami lagi menulis kerjaan nya.
"Sudah makan Mi? " tanya ku.
"Sudah makan gorengan hehe, "
"Makan nasi Amiiiii, " gemas ku memukul nya dengan sajadah.
"Oh belum, sholat dulu Nay, nanti dilanjutin, " bilang nya.
"Ok ustadzah, " jawab ku.
"Hem mulai deh, " balas nya.
Usai aku melaksanakan kewajiban ku, aku mengajak Ami makan, "Ami makan yuk kita cobain masakan kita tadi, walaupun aku masak nya separuh jalan, " ucap ku sambil tersenyum.
"Mari kita cobain, " balas Ami membalas senyuman ku.
Di ruangan makan gak ada siapa siapa lagi, mama, dan dua adek ku mungkin sudah istirahat.
Kami makan tanpa ada yg berbicara, usai makan aku menawarkan Ami martabak yg papa belikan. "Ami makan martabak ini papa yg beliin, " tawar ku membuka penutup kotak nya.
"Mala#ih Nay tapi perut ku sudah kenyang bisa bisa meledak lagi karna melebihi kapasitas hehe, " dia tertawa membayangkan perut nya yg meledak.
"Yeah emang perut kamu ban mobil haha, " ledek ku, kami tertawa.
Aku melupakan beban dan ucapan papa yg menghantui fikiran ku.
"Ami tadi papa ku aneh minta maaf sama kami, " kata ku mulai bercerita sama Ami.
"Justru kamu yg aneh masa papa mu minta maaf dibilang aneh, " ujar nya mencibir ku.
"Gimana gak aneh Ami.....,, papa minta maaf sama kami bertiga dan mengasih amplop kata nya buat tabungan kami, " kata ku lagi.
"Hem, berprasangka baik saja Nay, mungkin beliau sudah menyadari kesalahan nya. "
"Terus maksud beliau memberikan amplop ini apa Mi? "
"Mungkin buat kalian di masa depan, " kata nya lagi.
"Ami kamu memang teman terbaik ku selalu menasehati ku, kamu jadi adek ipar aku aja yah, " aku menggoda nya.
"Yeah enak aja adek mu adek ku juga, masa aku sama brondong sih, " dia memasang muka cemberut.
"Gapapa lah, " goda ku lagi.
"Tidak bisaaa," dia melempar bantal kepada ku.
"Tidur yuk nanti kita gak tahajud lagi, " ucap Ami.
"Sip, " jawab ku dengan jempol.
Pagi ini tinggal aku, mama dan Ami di rumah, karna Fikri dan Silvi sudah berangkat kerja.
"Nay kemaren papa kalian bilang apa? " tanya mama melirik ku.
"Papa minta maaf sama kami ma dan memberikan amplop ini, " jawab ku memperlihatkan amplop yg kuterima semalam.
"Amplop apa itu Nay? " mama memperhatikan amplop yg ada di tangan ku.
"Nay gak tau ma,, bilang papa ini buat tabungan kami. "
Mama mengerutkan kening nya heran, "kok papa kamu ngomong gitu Nay? "
"Nay juga heran ma, " jawab ku.
"Terus kalian sudah buka amplop nya? " tanya mama.
"Belum ma, "
"Silvi ada ngomong sama papa? "
"Ada ma walaupun jutek sih, "
Mama menggeleng gelengkan kepala nya, nanti malam ngomong sama adek adek mu dan coba kalian buka amplop itu, " ucap mama.
"Baik ma nanti Nay akan ngomong sama mereka, " ucap ku.
Mama melanjutkan jahitan nya.
"Ma boleh kami pergi main? " tanya ku.
"Boleh nak, tapi jangan kemalaman pulang nya, " ucap mama.
"Gak ma rencana kami pergi nya jam tiga sore ma, " ucap ku.
"Kalian hati hati, "
"Ok ma, " ucap ku dan berdiri hendak membersihkan rumah.
Aku bejalan ke dapur menghampiri Ami,
"Ustadzah ntar pergi main yuk, " ajak ku pada Ami.
"Boleh, main kemana? " tanya balik Ami pada ku.
"Kita jalan jalan sore sambil kulineran, gimana? " tanya ku dengan wajah senang.
"Wah boleh boleh, eh tapi apa mama mengizinkan? " Ami melihat ku.
"Mama ngasih izin kok, " jawab ku membantu Ami.
Jam tiga sore sesuai kesepakatan kami, aku dan Ami jalan jalan sore, kami gantiin bawa motor, sekarang giliran ku yg bawa.
"Ntar kalau adzan kita berhenti sholat ya, " kata Ami.
"Ok, " jawab ku.
Kami mengambil vidio pemandangan sore, ntar kita ngadem ke mall yuk sekalian cuci mata, " ujar ku.
"Ok" jawab Ami.
Puas kami berkeliling kami mencari mesjid untuk sholat ashar.
Usai sholat kami akan melanjutkan jalan jalan lagi, "Assalamu'alaikum ukhti, " salam seseorang menghentikan candaan kami.
Aku menoleh siapa gerangan yg mengucapkan salam, "Wa'alaikumussalam ustadz" jawab ku ustadz Arif yg menyapa ku.
"Apa kabar ukhti? "
Dia tersenyum pada kami.
Ami menundukkan kepala nya.
"Alhamdulillah baik ustadz" jawab ku.
"Kami duluan ustadz" kata ku.
"Oh ya silakan hati hati ukhti" dia melihat kepergian kami dan selalu tersenyum.
"Siapa Nay? " tanya Ami saat motor kami melaju.
"Teman ustadz Haykal yg pernah melamar ku, " jawab ku.
"Kok kamu gak nerima dia Nay? "
"Aku masih takut Ami, aku takut gagal lagi, " ujar ku.
"Istikharah Nay, minta petunjuk sama Allah, " saran Ami.
Aku cuma tersenyum karna aku belum siap untuk membuka hati saat ini, luka ku masih belum kering dan aku juga takut suami ku nanti nya berpoligami, aku gak mampu menjadi janda seperti mama.
Kami singgah di pantai untuk membeli jasuke kesukaan kami.