NovelToon NovelToon
CINCIN TANPA NAMA

CINCIN TANPA NAMA

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / CEO / Selingkuh / Romansa / Nikah Kontrak / Cintapertama
Popularitas:3.7k
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

Alara Davina terpaksa menikah kontrak dengan Nathan Erlangga, CEO dingin yang menyimpan luka masa lalu. Saat cinta mulai tumbuh di antara mereka, Kiara Anjani—sahabat yang ia percaya—ternyata adalah cinta pertama Nathan yang kembali dengan niat jahat. Pengkhianatan demi pengkhianatan menghancurkan Alara, bahkan membuatnya kehilangan calon buah hati. Dalam pusaran air mata dan kepedihan, bisakah cinta sejati bertahan? Sebuah perjalanan emosional tentang cinta, pengkhianatan, dan penebusan yang akan mengguncang hati setiap pembaca hingga ending bahagia yang ditunggu-tunggu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 32: KETIKA KATA-KATA MELUKAI LEBIH DALAM DARI LUKA FISIK**

# **

Seminggu setelah pembicaraan pagi itu, Nathan berusaha—benar-benar berusaha—untuk lebih terbuka, untuk tidak membawa trauma masa lalu. Ia pulang lebih cepat, ia lebih perhatian, ia lebih sering bilang "aku cinta kamu".

Tapi ada sesuatu yang... belum sembuh sepenuhnya.

Sesuatu yang Alara rasakan tapi tidak bisa ia sebutkan.

Seperti malam ini.

Mereka sedang makan malam di rumah—menu sederhana yang Alara masak sendiri walau Nathan sudah bilang tidak usah. Tapi Alara ingin—ingin membuat sesuatu untuk Nathan, ingin terasa seperti istri sungguhan.

"Ini enak," kata Nathan sambil menyendok sup ayam. "Kamu jago masak ternyata."

Alara tersenyum—senang mendengar pujian. "Belajar dari Bi Sari. Dan dari YouTube."

Nathan tertawa kecil—suasana terasa... normal. Hangat.

Sampai ponsel Nathan bergetar di meja. Nama di layar: **Kiara**.

Alara melihatnya—dan sesuatu di dadanya... bergetar. Tidak enak.

Nathan melirik ponsel—lalu mengalihkan pandangan, tidak angkat.

"Kenapa nggak diangkat?" tanya Alara—mencoba terdengar santai tapi suaranya sedikit tegang.

"Nggak penting."

"Tapi dia telepon. Mungkin ada yang urgent—"

"Alara, aku bilang nggak penting." Nathan menatapnya—nada yang sedikit... defensif.

Alara terdiam. Sesuatu di nada bicara Nathan membuat dadanya sesak.

Ponsel bergetar lagi. Kali ini pesan masuk.

Nathan tidak mengecek—tapi Alara bisa lihat notifikasi di layar yang menyala:

**Kiara: Nathan, aku butuh bicara. Urgent. Please.**

"Nathan—" Alara mencoba lagi.

"ALARA, SUDAH!" Nathan meninggi—tidak berteriak, tapi suaranya keras. "Aku bilang nggak penting. Kenapa kamu terus ngomongin dia?!"

Alara tersentak—tidak menyangka Nathan akan meninggi seperti itu.

"Aku... aku cuma—"

"Kamu cuma apa? Cemburu? Lagi?" Nathan berdiri—napasnya mulai memburu. "Aku sudah bilang berkali-kali, aku nggak ada apa-apa lagi sama dia. Tapi kamu terus aja—"

"Aku nggak terus aja!" Alara juga berdiri—suaranya meninggi, bergetar. "Aku cuma... aku cuma minta kamu jujur! Dia telepon, kamu nggak angkat tapi kamu terlihat... kamu terlihat kayak ada yang kamu sembunyiin!"

"Aku nggak sembunyiin apa-apa—"

"LALU KENAPA KAMU DEFENSIF?!" Alara berteriak—untuk pertama kali sejak mereka menikah, ia berteriak pada Nathan. "Kenapa setiap kali nama Kiara disebut, kamu jadi... jadi kayak gini?!"

Nathan terdiam—rahang mengeras. Tangannya mengepal di samping tubuh.

"Kayak gimana?" tanyanya—suara yang rendah, berbahaya.

"Kayak... kayak dia masih penting buat kamu," bisik Alara—suara yang bergetar hebat. "Kayak aku... aku cuma replacement. Cuma bayangan dia."

"JANGAN BILANG BEGITU!" Nathan meninggi lagi—kali ini benar-benar berteriak. "Kamu BUKAN bayangan siapa-siapa!"

"LALU KENAPA AKU MERASA KAYAK GITU?!" Alara berteriak balik—air matanya sudah jatuh. "Kenapa aku merasa... aku merasa kayak kamu terus bandingin aku sama dia?! Kayak aku nggak pernah cukup—"

"AKU NGGAK PERNAH BANDINGIN KAMU—"

"KAMU BANDINGIN!" Alara menangis—isak yang dalam. "Setiap kali kamu lihat aku, aku bisa lihat—aku bisa lihat kamu mikirin dia! Mikirin kenapa dia pergi! Mikirin apakah dia akan balik—"

"ITU NGGAK BENAR—"

"LALU APA YANG BENAR?!" Alara menatap Nathan dengan mata penuh air mata, penuh luka. "Apa yang benar, Nathan?! Kalau kamu nggak bandingin aku, kenapa kamu masih takut? Kenapa kamu masih nggak bisa sepenuhnya buka diri? Kenapa kamu masih—"

"KARENA AKU TAKUT KAMU AKAN PERGI KAYAK DIA!"

Teriakan Nathan membuat ruang makan itu hening total.

Nathan berdiri di sana dengan napas tersengal, tangan gemetar, mata memerah.

"Aku takut," bisiknya—suara yang bergetar hebat. "Aku takut kalau aku cinta kamu terlalu dalam, kamu akan... kamu akan ninggalin aku kayak dia ninggalin aku. Dan aku... aku nggak akan sanggup kehilangan lagi."

Air matanya jatuh—tapi kali ini bukan air mata marah. Ini air mata... putus asa.

Alara menatapnya dengan dadanya yang remuk—remuk mendengar pengakuan itu. Tapi ada sesuatu yang lebih besar dari simpati. Ada... kekecewaan.

"Nathan," bisiknya—suara yang lelah. "Aku bukan Kiara."

Nathan menatapnya—tapi tidak menjawab.

"AKU BUKAN KIARA!" Alara berteriak lagi—isak yang pecah. "Aku bukan dia! Aku nggak akan pergi! Aku sudah bilang berkali-kali! Tapi kamu... kamu masih nggak percaya! Kamu masih takut! Kamu masih—"

"Aku cuma butuh waktu—"

"WAKTU?!" Alara tertawa—tawa yang pahit, yang getir. "Berapa lama lagi, Nathan? Sebulan? Setahun? Selamanya?! Berapa lama lagi aku harus buktiin kalau aku nggak akan pergi?! Berapa lama lagi aku harus hidup dalam bayangan dia?!"

Nathan terdiam—karena ia tidak punya jawaban.

Dan keheningan itu—keheningan yang panjang dan menyakitkan—adalah jawaban yang paling jelas.

Alara mengangguk perlahan—senyum pahit di wajahnya yang basah air mata.

"Aku mengerti sekarang," bisiknya. "Aku nggak akan pernah bisa mengalahkan dia. Karena dia... dia udah menang dari awal. Dia meninggalkan luka yang terlalu dalam. Dan aku... aku nggak cukup kuat untuk menyembuhkan luka itu."

"Alara, jangan—"

"BERHENTI MEMBANDINGKAN AKU SAMA DIA!" Alara berteriak dengan seluruh emosi yang ia punya—emosi yang sudah ia pendam berbulan-bulan. "Berhenti takut aku akan jadi dia! Berhenti... berhenti lihat aku tapi mikirin dia!"

Nathan berdiri membeku—mulut terbuka tapi tidak ada kata yang keluar.

Karena Alara benar.

Sebagian dari Nathan—sebagian kecil yang ia benci—masih terjebak di masa lalu. Masih membandingkan. Masih... takut.

Dan Alara melihat itu. Melihat kebisuan Nathan sebagai jawaban.

"Aku nggak bisa lagi," bisik Alara—suara yang hancur total. "Aku nggak bisa lagi hidup kayak gini. Selalu merasa nggak cukup. Selalu merasa kayak aku... aku cuma pengganti."

Ia mundur—melangkah menjauh dari Nathan.

"Alara, tunggu—" Nathan melangkah maju, mencoba meraih tangan Alara.

Tapi Alara menepis—dengan gerakan yang lebih kasar dari yang ia maksud.

"Jangan sentuh aku," bisiknya—suara yang dingin, yang asing di telinga Nathan. "Aku... aku butuh waktu sendiri. Kumohon."

Ia berbalik—berjalan cepat ke tangga, naik dengan langkah yang goyah.

Nathan berdiri di sana—di tengah ruang makan dengan makanan yang belum selesai dimakan, dengan hati yang remuk, dengan kesadaran yang menghancurkan.

*Aku baru saja menyakiti wanita yang aku cintai. Lagi.*

Ia merosot ke lantai—duduk dengan punggung bersandar di dinding, kepala di tangan.

Dan untuk ketiga kalinya dalam hidupnya, Nathan Erlangga menangis—menangis karena kehilangan, karena penyesalan, karena takut bahwa ia sudah terlambat untuk memperbaiki semuanya.

---

**DI KAMAR ALARA**

Alara menutup pintu—menguncinya dari dalam—lalu merosot ke lantai.

Ia menangis dengan isak yang sangat keras—isak yang sudah ia tahan sejak pertengkaran dimulai. Tubuhnya bergetar hebat, napasnya tersengal.

"Kenapa... kenapa aku nggak cukup..." isaknya—suara yang penuh luka yang tidak bisa disembuhkan.

Ia merangkak ke tempat tidur—memeluk bantal dengan erat—dan menangis sampai tidak ada air mata lagi, sampai suaranya serak, sampai tubuhnya mati rasa.

Dan di malam itu—malam yang dimulai dengan kehangatan—berakhir dengan dua orang yang saling mencintai tapi terpisah oleh trauma yang tidak bisa mereka sembuhkan.

Terpisah oleh bayangan masa lalu yang terlalu kuat.

Terpisah oleh ketakutan yang lebih besar dari cinta.

Dan ketika pagi datang, tidak ada yang tahu—apakah mereka masih bisa memperbaiki yang sudah rusak.

Atau apakah ini adalah awal dari akhir.

---

**[BERSAMBUNG KE BAB 33]**

1
Nunung Nurasiah
kok lemah banget ya ci alara...
Dri Andri: belum saat nya jadi kuat
makasih dah mampir
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!