Follow IG 👉 Salsabilagresya
Follow FB 👉 Gresya Salsabila
"Aku tidak bisa meninggalkan dia, tapi aku juga tidak mau berpisah denganmu. Aku mencintai kalian, aku ingin kita bertiga hidup bersama. Kau dan dia menjadi istriku."
Maurena Alexandra dihadapkan pada kenyataan pahit, suami yang sangat dicintai berkhianat dan menawarkan poligami. Lebih parahnya lagi, wanita yang akan menjadi madu adalah sahabatnya sendiri—Elsabila Zaqia.
Akan tetapi, Mauren bukan wanita lemah yang tunduk dengan cinta. Daripada poligami, dia lebih memilih membuang suami. Dia juga berjanji akan membuat dua pengkhianat itu merasakan sakit yang berkali lipat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gresya Salsabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kaget
"Dia tadi siapa?" Jeevan memberanikan diri untuk bertanya ketika Andika sudah menghilang di balik dinding.
"OB."
"Iya, maksudku siapa dia? Kamu sebelumnya udah kenal?"
"Kenapa sih, Mas? Dia kerja di kantorku, tentu saja aku kenal. Udah ya, aku mau kerja. Mas Jeevan silakan pergi, masih harus kerja juga, kan?" jawab Mauren dengan cepat.
"Oke, aku akan pergi. Tapi ... dengerin dulu pesanku, lelaki tadi kayaknya bukan orang baik. Kamu hati-hati! Kalau bisa sebaiknya pecat aja, sebelum kamu dirugikan." Jeevan bicara sambil bangkit dari duduknya.
"Kamu makin ngelantur ya, Mas. Heran aku." Mauren berpaling sambil menggeleng-geleng. Stok sabarnya sudah habis. Jika terus menatap Jeevan, mungkin kuku-kuku panjangnya benar-benar mendarat di sana.
"Kali ini aku serius, Mauren. Tadi kulihat dia___"
"Pergi sekarang atau jangan pernah lagi datang ke sini!" pungkas Mauren dengan intonasi yang lebih tinggi.
"Baik, aku akan pergi." Jeevan bangkit dari duduknya. "Hati-hati, Mauren, jaga diri kamu baik-baik," sambungnya.
"Hmm." Mauren menanggapinya dengan gumaman pelan.
Sepeninggalan Jeevan, Mauren kembali fokus dengan pekerjaannya. Makanan yang belum dihabiskan, serta bolu pandan yang belum dibuka, sengaja ia biarkan begitu saja. Mauren masih malas untuk menyentuhnya, apalagi menyantapnya.
Sementara itu, Jeevan meninggalkan ruangan Mauren dengan perasaan yang tak karuan. Pikirannya terus tertuju pada Andika, yang entah siapa sebenarnya.
"Jangan sampai dia suka sama Mauren. Hanya aku yang boleh menikahinya," batin Jeevan dengan penuh percaya diri.
Namun, kepercayaan diri itu lenyap ketika dia tiba di lantai bawah. Tak sengaja Jeevan berpapasan dengan Andika, yang lagi-lagi menatap tajam dan menyiratkan kebencian.
"Selamat siang, Pak Jeevan. Perlukah saya antar ke depan?" tanya Andika. Meski terdengar wajar, tetapi Jeevan makin gusar. Pasalnya, tatapan Andika lebih mematikan dari sebelumnya.
"Tidak usah, saya bisa sendiri," jawab Jeevan. Lantas, dia mempercepat langkah dan meninggalkan Andika yang lagi-lagi mengulas senyum miring.
________________
Sudah genap satu minggu Andika bekerja di Kantor Victory. Sejauh ini tidak ada masalah dengannya, malah dia bisa menjalin hubungan baik dengan rekan yang lain. Meski penampilannya culun, tetapi keramahan dan ketangkasannya membuat Andika disukai banyak orang, termasuk Mauren.
Mauren sangat puas dengan cara kerja Andika yang nyaris tak pernah salah, dia tahu apa yang harus dikerjakan tanpa menunggu arahan. Lelaki itu juga tak keberatan meski banyak karyawan yang lembur dan membuatnya pulang malam.
Seperti halnya hari ini, Andika masih berada di kantor sampai pukul 08:00 malam. Tanpa mengeluh dia mengerjakan tugasnya dengan baik, termasuk membuatkan teh dan kopi untuk para staf, juga ke sana kemari mengantarkan berkas.
"Antarkan laporan ini ke Bu Mauren!" perintah Karin.
"Baik, Bu." Andika menerima laporan tersebut dan bergegas membawanya ke ruangan Mauren.
"Permisi, Bu," ucap Andika ketika tiba di sana.
"Iya, silakan masuk!" Mauren menyahut.
"Ini laporan dari Bu Karin."
Mauren meraih laporan tersebut dan menumpuknya bersama berkas-berkas yang lain. Lantas, kembali menatap Andika yang masih berdiri di hadapannya.
"Laporan sudah kuterima. Katakan pada Karin ini akan kuperiksa besok. Sekarang, dia boleh pulang," kata Mauren.
"Baik, Bu, akan saya sampaikan." Andika mengangguk patuh.
"Mmm, sekalian kamu juga silakan pulang setelah membantu mereka beres-beres. Hanya Karin dan anggotanya, kan, yang masih di kantor?" tanya Mauren.
"Iya, Bu, yang lain sudah pulang tadi."
"Baik. Kalau gitu kamu juga lekas pulang karena sebentar lagi Siska pun pulang." Mauren berucap sambil menatap Siska sekilas, yang kebetulan sedang duduk di sampingnya.
"Baik, Bu." Andika pun melangkah pergi.
"Bu Mauren tidak pulang juga?" tanya Siska. Dia heran karena atasannya itu tidak bersiap-siap pulang.
"Kamu duluan saja. Aku masih ada sedikit kerjaan," jawab Mauren.
"Saya bantu saja, Bu, biar cepat selesai dan Bu Mauren tidak kemalaman." Siska menawarkan diri.
"Tidak usah. Pekerjaanku tidak banyak dan juga tidak mendesak. Kamu pulang saja, sudah cukup lemburnya," tolak Mauren.
"Baik, Bu."
Siska tak lagi memaksa. Dia tahu Mauren sedang butuh ketenangan. Sejak dikhianati Jeevan dan Elsa, dia memang kerap menghabiskan waktu seorang diri. Meski terkadang tidak enak hati, tetapi Siska tidak bisa berbuat banyak. Dia tidak berani mengusik privasi Mauren.
Tanpa mereka sadari, obrolan barusan ditangkap jelas oleh Andika, yang kala itu baru tiba di ambang pintu. Entah apa yang sedang dia pikirkan, yang jelas saat ini mengulas senyuman lebar.
Sekitar lima belas menit kemudian, Siska pamit pulang. Karin dan yang lainnya pun mungkin juga sudah pulang karena tadi tinggal beres-beres saja.
Dalam kesendiriannya, Mauren mematikan komputer dan merapikan berkas-berkas yang sedikit berserak. Lantas, beranjak pergi dan mengunci ruangannya. Namun, bukannya menuju parkiran, Mauren malah naik ke lantai atas. Dia pergi ke ruangan favorit mendiang orang tuanya.
"Di sini memang nyaman dan tenang, sangat cocok untuk bersantai melepas penat," gumam Mauren ketika tiba di ruangan itu.
Dia mendaratkan tubuhnya di kursi dan menyandarkan punggungnya yang lelah. Mauren memejam sejenak dan menikmati aroma bunga gardenia yang khas—bunga kesukaan ibunya.
Sejak Victory dia ambil alih, Mauren selalu meletakkan bunga gardenia di sana, sebagai hiasan dan juga pengharum ruangan. Selama ini, Mauren sering berdiam diri di sana. Entah untuk melepas lelah atau pula melepas rindu kepada ayah ibunya. Karena dulu orang tuanya juga pekerja keras dan Victory adalah bukti nyata dari usaha mereka, maka tempat ini lebih berkesan dibandingkan rumah utama.
"Aku udah mengurus perusahaan ini dengan baik, Pa. Doakan usahaku selalu lancar agar bisnis ini makin berkembang, syukur-syukur nanti bisa melebarkan sayap ke luar negeri. Luar biasa kan, Pa?" ujar Mauren dalam hening malam.
Beberapa saat kemudian, Mauren membuka mata dan menatap ke sekeliling. Dia tersenyum masam ketika mengingat kejadian waktu itu, saat dirinya memergoki Jeevan dan Elsa yang sedang bermesraan di sana.
"Selain mengkhianatiku, kamu juga mengotori tempat favorit Mama dan Papa, Mas. Kayak gitu kamu ngotot minta maaf dan mau balik, heh bodoh sekali kalau aku mau. Masih banyak lelaki lain yang jauh lebih baik dibanding kamu, Mas." Mauren kembali bicara seorang diri.
Hampir dua jam Mauren menghabiskan waktu di sana. Setelah melihat jam dan ternyata sudah pukul 10.30, Mauren bangkit dan berjalan keluar. Lantas, dia masuk lift dan menuju lantai satu.
Tak membutuhkan waktu lama, akhirnya Mauren tiba di lobi. Suasana sudah sunyi, tidak ada resepsionis ataupun yang lainnya. Mauren pun tak masalah dan terus berjalan tenang.
Namun, ketika asyik melangkah tiba-tiba Mauren tersentak seketika. Lantas, dia berhenti dengan mata yang membulat sempurna.
"Andika," batin Mauren dengan jantung yang berdetak cepat. Dia nyaris tak percaya dengan apa yang dilakukan Andika.
Bersambung...