NovelToon NovelToon
Mahira

Mahira

Status: sedang berlangsung
Genre:Berondong / Pengganti
Popularitas:8.8k
Nilai: 5
Nama Author: santi damayanti

“Aku kecewa sama kamu, Mahira. Bisa-bisanya kamu memasukkan lelaki ke kamar kamu, Mahira,” ucap Rangga dengan wajah menahan marah.
“Mas Rangga,” isak Mahira, “demi Tuhan aku tidak pernah memasukkan lelaki ke kamarku.”
“Jangan menyangkal, kamu, Mahira. Jangan-jangan bukan sekali saja kamu memasukkan lelaki ke kamar kamu,” tuduh Rukmini tajam.
“Tidak!” teriak Mahira. “Aku bukan wanita murahan seperti kamu,” bantah Mahira penuh amarah.
“Diam!” bentak Harsono, untuk kesekian kalinya membentak Mahira.
“Kamu mengecewakan Bapak, Mahira. Kenapa kamu melakukan ini di saat besok kamu mau menikah, Mahira?” Harsono tampak sangat kecewa.
“Bapak,” isak Mahira lirih, “Bapak mengenalku dengan baik. Bapak harusnya percaya sama aku, Pak. Bahkan aku pacaran sama Mas Rangga selama 5 tahun saja aku masih bisa jaga diri, Pak. Aku sangat mencintai Mas Rangga, aku tidak mungkin berkhianat.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi damayanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

mh 21

Mahira bangkit. Badannya sudah mulai ringan dan tidak nyeri seperti semalam.

“Ini wedang jahenya,” Doni memberikan gelas berisi wedang jahe kepada Mahira.

“Terima kasih,” jawab Mahira canggung. Entahlah, ia bingung dengan perasaannya. Bagi Mahira, Doni adalah remaja yang mungkin masih labil. Semalam begitu perhatian padanya, tapi tadi ia mendengar Doni bermesraan lewat telepon dengan orang lain.

“Dimakan buburnya,” ucap Doni sambil hendak menyuapi Mahira.

Mahira menggeleng.

“Makanlah, biar sehat dan bisa bekerja lagi seperti biasa,” kata Doni, masih berusaha menyuapinya.

“Oh, jadi kamu nyuruh aku cepat sehat supaya aku cepat kerja, ya?” lirih Mahira.

“Udahlah, jangan kayak anak kecil. Makan dong, biar sehat dan kuat hadapi kenyataan.”

Mahira mendengus, lalu mengambil mangkuk berisi bubur dan memakannya sendiri.

“Aneh banget sih lu. Kurang apa lagi coba gue…,” ucap Doni sedikit kesal.

“Kalau emang nggak kuat, udahan aja, ya,” balas Mahira pelan.

“Hmmm… sabar ya Allah,” Doni mengelus dada, lalu keluar kamar.

“Baru segitu saja sudah marah. Aku memang nggak bisa sama dia. Aku cocoknya dengan pria dewasa yang sabar menghadapi aku,” gumam Mahira sambil menghabiskan buburnya.

Tak lama kemudian Doni datang membawa seember air hangat dan meletakkannya di kamar mandi.

“Air hangat sudah aku siapkan,” ucapnya. Nada suaranya kini dingin.

Doni melangkah mendekat, menyerahkan handuk dan pakaian bersih untuk Mahira.

“Mandilah. Ini pakaian bersihnya,” ujarnya, lalu mengambil pakaian kotor Mahira dan keluar kamar.

Mahira tertegun dengan perlakuannya.

“Sebenarnya yang kekanak-kanakan siapa?” gumam Mahira sambil menggaruk kepala yang tidak gatal.

Mahira mandi dengan air hangat. Tubuhnya terasa segar, ringan. Setelah selesai, ia keluar kamar mandi dan melihat kamar sudah rapi. Ia mengenakan pakaian yang disiapkan Doni, lalu keluar kamar.

Di ruang tamu tampak sudah ada makanan yang dibeli secara online. Mahira duduk sendiri di meja makan.

Ia membuka ponselnya. Ada pesan dari kontak bernama Suamiku Tampan.

“Aku pergi dulu. Aku hari ini nggak sekolah. Besok kita ketemu di sekolah.”

Mahira tersenyum.

Hari itu Mahira tidak masuk sekolah. Ia memilih istirahat. Ia meminta izin di grup sekolah, tapi tak ada satu pun guru yang menanggapi. Biasanya mereka akan heboh kalau Mahira tidak masuk—menanyakan kabar atau menawarkan bantuan. Kalau kemarin mungkin Mahira akan sedih, tapi tidak hari ini.

Mahira mencoba tidak peduli. Ia hanya menjalankan aturan tanpa mengharap perhatian.

Doni mengenakan celana hitam, kaus hitam, sepatu hitam, dan topi hitam. Ia mengendap-endap menembus pekatnya malam. Gerakannya ringan, sampai daun yang terinjak pun tak mengeluarkan suara.

Seorang satpam tampak duduk di kursi, menatap gerbang.

Doni melempar batu ke dalam area sekolah.

“Siapa itu?” seru satpam. Pria gempal itu bangkit dan berjalan menuju sumber suara.

Tidak melewatkan kesempatan, Doni langsung melompat melewati gerbang dan berlari tanpa menimbulkan suara. Ia tiba di sebuah gedung baru yang sudah lama tidak ditempati. Dengan cekatan ia memanjat pagar pembatas gedung itu. Matanya mengedarkan pandangan, memindai situasi.

Ia melihat ponselnya, mencocokkan lokasi di peta dengan lokasi sebenarnya.

“Seharusnya di sebelah sana ada CCTV… tapi nggak ada. Berarti video ini bukan rekaman CCTV sekolah,” pikir Doni.

Doni naik ke tangga dengan perlahan hingga sampai di lantai tiga. Lantai itu masih dipasangi garis polisi. Ia kembali melihat ponselnya.

“Tuh, tebakan gue benar. CCTV sekolah tidak mengarah ke sini,” gumamnya.

Ia melanjutkan ke lantai paling atas. Dengan hati-hati ia melewati police line, mencocokkan lokasi tempat Riko menjatuhkan diri. Doni melihat ke bawah—ada taman kecil.

“Seharusnya jatuhnya kena pohon dulu. Nggak langsung mati. Paling patah tulang,” pikir Doni.

Ia mengukur jarak dari lantai tiga ke tanah.

“Hanya delapan meter. Harusnya masih bisa bertahan.”

“Tunggu! Siapa itu?” terdengar suara dari bawah.

Doni merunduk, melangkah mundur, lalu melompat ke gedung sebelah. Dengan cepat ia berpindah hingga mencapai gedung paling belakang sekolah, kemudian menuruni tangga dan muncul di area belakang sekolah yang berbatasan dengan sungai.

,,,

Pagi pun tiba. Mahira kembali merasa sepi.

“Padahal baru semalam tidak bersama Doni, kenapa jadi sepi?” ucap Mahira.

Mahira bangkit dan melangkah keluar kontrakan, menuju jalan besar untuk menunggu angkutan umum. Metro Mini nomor 17 tiba, dan Mahira naik. Penumpang sudah penuh—maklum, jam sibuk orang bekerja dan sekolah.

Mahira sampai di sekolah. Ia menarik napas lalu menghembuskannya pelan.

“Aku Mahira. Aku bahagia dengan diriku sendiri,” ujar Mahira mensugesti dirinya.

Mahira menuju gerbang sekolah. Tampak Bu Susi sedang menyambut para siswa. Mahira tersenyum pada Bu Susi, tetapi dibalas dengan wajah masam.

“Kira-kira sudah resign,” ucap Bu Susi ketus.

“Bu, tidak ada manusia yang tidak pernah berbohong. Mungkin aku berbohong, tapi aku hanya merugikan diriku sendiri. Tapi bagaimana dengan kebohongan yang merugikan banyak orang?” balas Mahira.

“Apa maksud kamu?” tanya Bu Susi.

“Sudahlah, Bu. Kita introspeksi diri saja. Aku masih ingat, kok. Ada beberapa siswa yang seharusnya tidak bisa masuk sekolah, tapi akhirnya masuk… hanya karena uang,” ucap Mahira.

“Mahira!” mata Bu Susi membulat.

“Sudahlah, Bu Susi. Aku akan diam, selama tidak ada yang mengusik diriku. Ibu ingat, aku ini selain guru Matematika, aku juga salah satu operator sekolah ini. Aku tahu mana data yang benar dan mana data yang dimanipulasi. Aku akan diam selama tidak ada yang menginjakku. Tapi kalau terus diinjak… jangan salahkan aku,” kata Mahira tenang.

Bu Susi terdiam. Mahira menepuk pundaknya.

“Selamat bekerja, Bu Susi. Semoga sukses.”

Mahira melangkah pergi, meninggalkan Bu Susi yang mengepalkan rahangnya.

Mahira sampai di ruang guru. Ia tersenyum kepada semua guru, meski mereka membalas dengan wajah masam.

“Ih, dasar tidak tahu malu. Kukira sudah resign,” ucap Anggi ketus.

“Oh, ngarep ya aku resign? Aku rasa aku tak punya alasan untuk resign. Aku malah heran, ya… beberapa kali ada kasus bullying tapi guru BK tidak bisa berbuat apa-apa. Apa hanya sekadar formalitas ada guru BK di sini, tapi tidak ada fungsinya?” ucap Mahira tenang.

“Apa maksud kamu?” geram Anggi.

“Jangan marah dong. Sekarang kita fokus saja pada pekerjaan masing-masing. Jangan terus memikirkan masalah orang lain sampai pekerjaan sendiri terbengkalai,” jawab Mahira tenang.

“Kamu!” geram Anggi.

“Sudah, sana. Pergi ke guru BK. Guru PJOK sudah menunggu kamu,” ucap Mahira.

“Jangan-jangan Mahira tahu aku selingkuh dengan Pak Maman…” pikir Anggi panik.

Anggi melangkah kesal menuju ruangan guru BK.

Mahira kembali tersenyum pada semua guru meski wajah mereka tetap masam. Ia merasa lega karena tidak terpengaruh lagi oleh sikap mereka.

Hingga datanglah sepuluh orang siswa menangis menghadap Mahira.

“Ada apa dengan kalian?” tanya Mahira.

“Ibu kok bohong sih…” ucap Lia terisak, mewakili yang lain.

“Bohong apa, Bu?”

“Ibu bilang kami masih bisa sekolah karena kami anak yatim dan berprestasi. Tapi tadi aku dipanggil bagian keuangan. Katanya aku harus bayar SPP. Kalau tidak, aku tidak bisa ikut ujian.

1
puspa endah
ceritanya bagus thor susah di tebak
puspa endah
teka teki banget ceritanya👍👍👍👍 lanjut thor😍😍😍
Anto D Cotto
menarik
Anto D Cotto
lanjut crazy up Thor
partini
oh seperti itu
puspa endah
lanjut thor👍👍👍
puspa endah
banyak teka tekinya thor😄😄😄. siapa lagi ya itu....
anak buah doni kah?
puspa endah
woow siapakah Leo?
NP
ga jadi mandi di doni
puspa endah
🤣🤣🤣 lucu banget mahira n doni
partini
Leo saking cintanya sama tuh Kunti Ampe segitunya nurut aja ,,dia dalangnya Leo yg eksekusi hemmmm ledhoooooooooo
partini
sehhh sadis nya, guru ga ada harganya di mata mereka wow super wow
partini
hemmm modus ini mah
partini
apa Doni bukan anak SMA,, wah banyak misteri
puspa endah
wah kereen bu kepsek👍👍👍 hempaskan bu susi, bu anggi dan pak marno😄😄😄😄
partini
Reza takut ma bosnya 😂😂
sama" cembukur teryata
puspa endah
bagus mahira👍👍👍 jangan takut klo ga salah
puspa endah
doni kayaknya lagi menyamar
partini
daster panjang di bawah lutut ga Sampai mata kaki ya Thor
tapi pakai hijab apa ga aneh
NP: q kalo dirumah jg sering kayak itu ..to pake legging lengan pendek
total 3 replies
partini
hemmmm Doni ,, kenapa aku berfikir ke sana yah
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!