Dunia pernah mengenalnya sebagai Theo Vkytor—penulis jenius di balik Last Prayer, karya horor yang menembus batas antara keimanan dan kegilaan. Tapi sejak kemunculan Flo Viva Mythology, game yang terinspirasi dari warisan kelam ciptaannya, batas antara fiksi dan kenyataan mulai runtuh satu per satu. Langit kehilangan warna. Kota-kota membusuk dalam piksel. Dan huruf-huruf dari naskah Theo menari bebas, menyusun ulang dunia tanpa izin penciptanya.
Di ambang kehancuran digital itu, Theo berdiri di garis tak kasat mata antara manusia dan karakter, penulis dan ciptaan. Ia menyaksikan bagaimana realitas menulis ulang dirinya—menghapus napasnya, mengganti jantungnya dengan denyut kode yang hidup. Dunia game bukan lagi hiburan; ia telah menjadi kelanjutan dari doa yang tidak pernah berhenti.
Kini, ketika Flo Viva Mythology menelan dunia manusia, hanya satu pertanyaan yang tersisa.
Apakah Theo masih menulis kisahnya sendiri… ataukah ia hanya karakter di bab yang belum selesai?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Girenda Dafa Putra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tarian Sang Penulis Ulung
...Chapter 32...
'Dalam sekali tarik napas dan satu ayunan tangan, seribu bilah pedang menari serempak. Mereka berasal dari kemauan, dari gagasan-gagasan yang tak henti menuliskan diri mereka.'
Suuuuufhh!
'Bergoyanglah, pedang-pedangku.
Tanamkan dirimu lebih dalam, bukan pada raganya, tetapi pada inti keberadaannya.
Perlihatkan, bahwa bahkan kesempurnaan mampu ditulis kembali oleh seorang manusia bernama Theo Vkytor!’
Dan di sanalah Theo menari.
Bukan di atas panggung megah, bukan pula di bawah cahaya hangat pesta dansa, melainkan di tengah reruntuhan dunia nan nyaris sirna, di mana setiap debu bergetar mengikuti ritme yang hanya dia dengar.
Tangan kirinya bergerak bebas, lentur, mengikuti alunan musik yang tak seorang pun bisa dengar, seakan-akan nada-nada itu hanya bergetar di dalam rongga kepalanya sendiri.
Di balik kelopak matanya nan tertutup rapat, Theo melihat simfoni tak kasatmata—perpaduan antara kehancuran, keberanian, dan keteguhan yang membentuk satu tarian tak manusiawi.
Dalam setiap helaan napas, langkah kakinya menorehkan makna.
Pada setiap gerakan, dunia diperintahkan menunduk, menerima perintah dari sesuatu yang lebih tinggi dari sekadar kehendak manusia.
Tangan kanannya terangkat, meluncur ke atas, lalu menebas udara ke bawah, menembus ke kiri, mengiris ke kanan.
Gerakannya halus tapi padat dengan makna, bagai seorang balerina yang menari di ambang kematian.
Kakinya bergeser, menyesuaikan arah gerak tangan, seolah tubuhnya hanya medium, sedangkan arwahnya telah lebih dulu melampaui batas jasmani.
Lalu, saat satu gerakan mencapai puncak harmoni, dunia bergetar lembut.
Puluhan pedang muncul tanpa peringatan.
Bukan sedari udara atau tanah, melainkan dari ruang di mana hukum eksistensi seharusnya tak berlaku.
Mereka menancap tepat pada tubuh Cru, menyusup ke bagian-bagian nan seharusnya mustahil dijangkau oleh apa pun yang hidup atau mati.
Pedang-pedang itu tidak lahir dari baja atau api, melainkan dari intensi murni—dari tarian seorang pria yang menolak menyerah pada dunia.
Setiap bilahnya menembus dari dalam ke luar, seolah Cru sendiri adalah panggung tempat Theo menorehkan karya seni terakhirnya.
Tak ada suara dentuman, tiada teriakan.
Hanya keheningan yang diselimuti irama samar yang Theo ciptakan dari pikiran.
Dan dalam keheningan, setiap pedang menancap lebih dalam, menolak untuk ditarik keluar, menolak untuk dihapus dari realitas.
Ia ciptakan serangan yang bahkan tak bisa dimengerti oleh dunia, apalagi dihindari oleh sesuatu yang disebut “entitas”.
Semakin lama Theo menari, semakin banyak pedang bermunculan.
Setiap ayunan tangan menjadi nyawa bagi bilah baru, setiap putaran kaki adalah kelahiran sebuah serangan nan melintasi batas sebab dan akibat.
Hingga pada akhirnya, di tengah pusaran cahaya samar dan bayangan yang menjerit tanpa suara, hanya tersisa Theo—berdiri dengan tubuh lelah, mata masih tertutup, sementara di hadapannya, dunia seolah berhenti bernapas, hanyut dalam tarian yang tak seorang pun mampu ulangi.
'Tahap final dari tarian ini bukan mempermasalahkan keindahan, melainkan menekankan penegasan.
Tentang bagaimana seharusnya sebuah akhir diukir.
Satu, dua—'
Tsraaak!
Tiiiing!
Baaang!
Dan setelahnya—dalam sekejap yang bahkan waktu pun enggan mencatatnya—Ilux bertindak.
Ia hanya diberi satu detik.
Namun dalam satu detik itulah ia menghimpun seluruh kesadaran, menumpuk daya hingga melampaui batas tubuh fana yang mengikatnya.
Begitu Theo membuka mata, Ilux telah siap.
Di ujung jarinya terbentuk satu peluru mungil—tidak lebih besar dari isi amunisi pistol pada umumnya, namun dengan bobot yang membuat ruang sekitarnya bergetar, mengartikan ratusan semesta dikerdilkan selagi dipaksa melar menjadi sebutir proyektil.
Alam membisu, udara menegang.
Bahkan cahaya tampak menahan napas menunggu kehancuran yang akan lahir dari peluru kecil.
Ketika peluru dilepaskan, waktu pecah.
Ledakannya tak terdengar oleh telinga, tetapi bergema di dimensi yang lebih tinggi, menyalakan percikan di mana-mana—dan pada saat yang sama, tarian Theo menjelma menjadi badai tanpa bentuk.
Pedang-pedang dan katana nan semula hanya menancap pada tubuh Cru kini mekar dan berkecambah bagai bunga kematian.
Setiap bilahnya tumbuh liar, menggandakan diri, berlipat-lipat tanpa kendali.
Ada yang membesar seolah menyentuh langit, ada pula nan mengerubungi tubuh Cru dengan jumlah begitu mustahil dihitung, menembus antara daging, jiwa, dan segala lapisan keberadaan yang dimiliki.
Cru, sang Administrator yang seharusnya abadi, kini terlihat seperti patung retak yang ditelan oleh ciptaan para manusia yang ia anggap lemah.
Tubuhnya tak lagi mampu bergerak, setiap sistem pelarian yang ia miliki dijegal, dikunci, dan dihancurkan oleh pedang-pedang yang lahir dari tarian Theo.
Setiap gerakan kecil untuk kabur berakhir dengan tubuhnya dipaku lebih dalam, lebih erat, hingga satu-satunya yang tersisa darinya hanyalah tatapan kosong—terperangkap dalam kebisuan.
Lalu peluru itu tiba.
Menembus pusaran pedang dan katana, menyalakan gelombang ledakan yang tak bercahaya, hanya mengguncang eksistensi itu sendiri.
Ketika peluru bersentuhan dengan Cru, waktu berhenti sejenak—menandai bahwa seluruh realitas menunduk untuk menyaksikan berakhirnya sesuatu yang seharusnya tak bisa berakhir.
Kemudian semuanya pecah, larut dalam putih pekat yang tak menyisakan suara, tak menyisakan bentuk, kecuali satu hal.
Dua sosok yang berdiri di tengah kehampaan, Theo dan Ilux, menatap puing dimensi yang mereka sendiri telah hancurkan.
'Bahkan Anda pun bisa mengalami kejutan, ya, Cru?
Kupikir makhluk seperti Anda, yang lahir dari kode pemrograman dan mengendalikan sistem secara absolut, tidak akan pernah goyah.
Namun melihat Anda terhuyung, hampir tak percaya dengan luka-luka di tubuh Anda, aku akhirnya paham: bahkan seorang Administrator bisa melakukan kesalahan strategi.
Kombinasi serangan Ilux dan tarian pedangku ternyata tidak Anda perhitungkan.
Dan itu, secara paradoks, justru menjadi aspek paling manusia dalam diri Anda—ketidakmampuan menerima fakta bahwa dunia ciptaan Anda sendiri bisa berbalik menyerang penciptanya.'
Suuuuussh!
"Dari semua skenario, dari semua jalur cerita yang pernah kubangun dalam Flo Viva Mythology, baru kali ini aku—Administrator Cru—harus mengakui kekalahan."
'Artinya ini bukan sekedar kekalahan biasa.
Bagaikan pesan rahasia, bukan?
Seolah Anda menunggu-nunggu momen ini, menantikan sesuatu yang tidak tertulis dalam naskah, yang mungkin baru akan terungkap pada arc keenam, episode dua belas—ketika Ilux berhadapan dengan antagonis wanita kesepuluh, bos terakhir dalam game ini.'
Duuuuuffhh!
'Jika benar demikian, maka apa sebenarnya tujuan Anda, Cru? Apa yang hendak Anda saksikan dari kekalahan Anda sendiri?
Sebagai penulis yang observatif, aku tidak bisa mengabaikan firasat ini.
Anda menyembunyikan sesuatu di balik kekalahan ini—sesuatu yang mungkin bahkan Ilux belum mengetahuinya.
Baik, aku akan tetap waspada.
Sebab dalam dunia yang seunik ini, terkadang akhir bukanlah sebuah titik final, melainkan jeda nan menanti kelanjutan kisah.'
Namun tentu saja, Cru bukan sosok yang bisa dikalahkan begitu saja.
Luka-luka yang menganga di tubuh bukanlah tanda kekalahan, melainkan kejutan—campur aduk antara amarah dan rasa kagum yang samar, bagai seorang dewa yang baru pertama kali merasakan bagaimana rasanya dijatuhkan oleh ciptaan sendiri.
Setelah beberapa langkah mundur, langkah-langkah nan menggores permukaan tanah hingga membentuk retakan memanjang, Cru berhenti.
Nafasnya berat.
Bukan karena lelah, tapi karena ia tengah memproses sesuatu yang mustahil—bahwa dua manusia, dua pecahan eksistensi fana, mampu memaksanya bergeser sejengkal dari tahta kekuasaan yang dianggap mutlak.
Ia menatap tubuhnya sendiri, memperhatikan jejak pedang nan menembus batas realita, racun masih menetes dari celah kulitnya yang semestinya tak bisa robek, dan hawa panas dari letupan peluru Ilux yang menolak padam meski waktu sudah kembali berjalan.
Dalam kepalanya bergema satu kalimat—bukan keluhan, bukan juga kekalahan—melainkan semacam gumaman nan dilontarkan oleh seseorang yang justru menemukan sesuatu yang telah lama ditunggu.
Bersambung….