Ia adalah Echo bernama Jae, idol pria berwajah mirip dengan jake Enhypen. Leni terlempar kedua itu dan mencari jalan untuk pulang. Namun jika ia pulang ia tak akan bertemu si Echo dingin yang telah berhasil membuat ia jatuh cinta
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sabana01, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Duet Gema, Cinta yang Stabil
Leni bergerak cepat. Ia menggunakan seluruh otoritasnya sebagai CEO J-Cosmetic untuk memuluskan produksi Original Soundtrack film Jae. Anggaran besar dialokasikan, produser terbaik direkrut, studio disewa dengan tingkat keamanan setara proyek idola nasional. Media bahkan mendapat bocoran manis tentang “proyek kreatif besar dari J-Cosmetic yang menggandeng talenta muda Korea”.
Tapi tujuan sebenarnya bukan sekadar OST.
Tujuan utama Leni hanyalah satu: memancing Jake Shim agar menyetujui duet virtual dengan aktor baru bernama Lee Jae-Yoon—yang sebenarnya adalah gema dirinya sendiri.
Di apartemen, Jae berlatih lirik sambil menyandarkan punggungnya ke sofa. Ia terlihat fokus, tapi juga gelisah. Leni duduk di depan meja kerjanya, memeriksa draft proposal kolaborasi terakhir sebelum dikirimkan ke agensi ENHYPEN.
“Agensi mereka tidak bisa menolak,” katanya yakin. “Aku menawarkan sponsorship besar untuk program amal, dan kita pakai alasan ‘kolaborasi inspirasional antar generasi Korea-Australia’. Itu sangat ramah media.”
Jae meletakkan lembar liriknya. “Kau terlihat bahagia merencanakan semua ini. Padahal, kau sedang membuatku—gema ini—berduet dengan diriku yang sempurna.”
Leni bangkit, mendekat, dan merapikan kerah hoodie Jae yang sedikit miring. “Aku tidak melihat kesempurnaan, Jae-ssi. Aku melihat potensi. Jake memang bercahaya, tapi kau…” Ia menyentuh dadanya. “…kau lebih jujur. Lebih nyata bagiku.”
Jae menarik tangan Leni, menggenggamnya, lalu menarik Leni agar duduk di pangkuannya. Sentuhannya jauh dari dingin seperti dulu—ini adalah kehangatan yang tumbuh dari minggu-minggu stabilisasi, latihan, dan keintiman yang hati-hati.
“Aku tahu,” ujarnya pelan. “Tapi saat aku melihat kamera… atau melihat cuplikan Jake tampil… aku merasa aku hanya salinan buram.”
“Kau bukan salinan.” Leni menatapnya tegas. “Kau adalah yang berjuang bersamaku. Yang memilihku. Yang mempertahankanku di dunia ini.” Ia mendekat, mencium bibir Jae—ciuman yang kini lembut, hangat, dan sepenuhnya nyata.
Malam itu, dunia mereka terasa kecil tapi utuh. Mereka memasak bersama, menonton film di sofa, dan berbagi tawa kecil antara latihan. Leni selalu memastikan sentuhan stabil diberikan saat Jae mulai memudar akibat stres syuting atau rasa cemburu kecil yang muncul ketika nama Jake trending di media.
Namun, di balik kehangatan itu, ada ketegangan yang semakin menebal.
“Jika duet virtual ini terjadi,” kata Jae suatu malam, menatap desain panggung digital yang diproyeksikan ke dinding, “resonansinya akan sangat kuat. Itu bisa mengguncang seluruh energiku. Dan… mungkin, saat kau berhasil kembali, aku bisa… menghilang.”
Leni tersentak. “Jae…”
“Aku bukan manusia, Leni. Aku hanya gema. Dan gemaku bisa pecah.”
Leni menggenggam tangannya kuat-kuat. “Kalau itu risikonya… aku tidak mau pulang. Biar aku tetap di sini.”
“Kau tidak boleh bicara begitu. Dunia itu… Ibumu… masa depanmu…”
“Aku tidak akan kembali kalau itu berarti kau hilang.” Suaranya pecah, penuh tekad. “Kalau perlu, kita cari cara untuk membawamu bersamaku.”
Jae menggeleng. “Aku tidak bisa eksis di realitasmu. Dan jika aku ikut, apa yang terjadi pada Jake? Alam tidak bisa membuat dua versi yang sama berdampingan.”
“Kita akan cari cara. Kita akan ciptakan ruang untukmu. Kita akan ciptakan realitas kita sendiri.” Leni tidak mundur satu inci pun.
Beberapa hari kemudian, jawaban yang ditunggu akhirnya datang.
Email dari agensi ENHYPEN masuk dengan subjek tebal:
“Approved: Virtual Duet Collaboration Proposal.”
Leni berdiri di tengah ruang kerja, terdiam sejenak sebelum tersenyum—senyum yang campuran antara kemenangan dan bahaya.
Ia menunjukkan email itu pada Jae. “Dua minggu dari sekarang. Duet itu akan terjadi.”
Jae membaca isi email itu. Ada harapan, ada rasa takut, dan ada sebuah keputusan tak terucap di matanya.
“Aku harus berlatih lebih keras,” ucapnya pelan. “Aku harus memastikan suaraku tidak pecah saat resonansinya mulai menarik.”
“Kau fokus latihan.” Leni menyentuh pipinya, lembut. “Aku urus sisanya.”
Dan ia menepati ucapannya.
Dalam dua minggu ke depan, Leni mengatur semuanya:
Teknologi Virtual Stage, stabilisator emosional, perhitungan energi resonansi, dan bahkan rencana cadangan jika Gerbang Realitas terbuka terlalu cepat.
Ia bukan lagi gadis yang terobsesi pada seorang idola.
Ia bukan lagi korban yang terdampar di dunia lain.
Ia kini adalah CEO yang membangun panggung raksasa demi menyelamatkan satu gema—pria yang ia cintai—dan mencari jalan pulang tanpa meninggalkan siapa pun.
...****************...