Goresan ISENG!!!
Aku adalah jemari yang gemetar. Berusaha menuliskan cinta yang masih ada, menitip sebaris rindu, setangkup pinta pada langit yang menaungi aku, kamu dan kalian.
Aku coba menulis perjalanan pulang, mencari arah dan menemukan rumah di saat senja.
Di atas kertas kusam, tulisan ini lahir sebagai cara melepaskan hati dari sakit yang menyiksa, sedih yang membelenggu ketika suara tidak dapat menjahit retak-retak lelah.
Berharap kebahagiaan kembali menghampiri seperti saat dunia kita begitu sederhana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aksara_dee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32. Boneka-Ku
Bruk!
Hania terus melawan saat para pengawal berusaha menenangkannya. Tubuh gemetarnya masih mampu membanting pintu lalu menahan pintu dengan tubuhnya yang kurus. Di dalam benaknya yang terpikir hanya membentengi dirinya sendiri dari gangguan orang jahat.
"Tidak ada yang bisa menyelamatkanku, hanya kamu yang bisa menjaga dirimu sendiri. Kamu harus bisa, kamu harus kuat, Nia," gumamnya menekan kelemahannya.
Suara sepatu pantofel seorang pria begitu nyaring terdengar di balik pintu. Ketika suara sepatu itu berhenti, artinya ia sudah berada persis di balik pintu, lalu suara ketukan terdengar sopan.
Tok Tok Tok
"Nona, buka pintunya. aku tidak akan menyakitimu, tapi aku akan membantumu." suara deep voice itu membelah keheningan.
"Pergi! Pergi sana!" teriak Hania
"Aku punya kucing persia, barangkali kamu ingin bermain denganku, aku menunggumu di depan pintu," bujuknya
"Meong" suara kucing mengeong sambil menggaruk daun pintu membuat hania menutup telinganya.
Ingatannya pada kucing kesayangan menyerbu benak Hania seketika. Ia rindu mengelus bulu kucing, menggendong dan memberinya makan. Airmata hania meluncur bebas. Antara keinginannya memeluk kucing dengan rasa takut yang berlebihan, ia merasa berada di dalam pusaran badai, sendirian.
"Buka pintunya, biarkan kucingnya masuk untuk menemanimu, Nona. Aku tidak akan mengganggumu setelah itu. Kamu bebas bermain dengannya," bujuk Raditya lagi.
Suara kucing di depan pintu terus mengeong, Pria itu sesekali menggodanya dengan suara pelan. Hania tergelitik untuk membuka daun pintu tapi tangannya terasa berat untuk membuka handle.
Lama hania membiarkan badai dalam tubuhnya mereda sendiri. Ia duduk di depan pintu, menekuk kakinya hingga menempel di dada lalu memeluk lututnya dengan kuat. Kehangatan ia dapatkan dari tubuhnya sendiri. Ia menangis tersedu hingga rasa kantuk dan lelah menyerangnya sendiri.
Jam satu malam, dini hari, keheningannya terganggu oleh suara petir yang menggelegar dan tetes hujan mengetuk jendela kamar besar yang ia tempati, seolah menjadi melodi alarm yang dinyalakan dengan lembut. Hania membuka matanya perlahan. Tubuhnya masih menempel di lantai yang dingin. Suara meong di luar sudah tidak lagi terdengar. Hania beringsut bangun dari tidurnya, memeluk tubuhnya lagi dengan erat.
Krucuukk
Suara dari dalam perutnya begitu nyaring. Ia mengusap perutnya yang terasa melilit perih. Hania kembali terisak.
"Papa, mama apa yang harus aku lakukan ... Mengapa nasib anak bungsumu jadi seperti ini." suaranya lirih.
Beberapa menit berlalu, Hania masih menekan perutnya yang semakin nyeri. Aroma sayur sop yang diberi banyak bawang goreng memenuhi indera penciumannya. Sebuah godaan yang sekuat tenaga ia lawan di saat perutnya berharap asupan.
'Di waktu dini hari seperti itu tidak mungkin ada orang yang baru selesai masak makan malam bukan?' Hania menampik indera penciumannya sendiri.
"Ini hanya ilusi, Nia. Karena kamu sedang lapar. Iya, karena aku sedang lapar, ilusiku mengacaukan pikiranku," gumam Hania bermonolog sendiri.
Ketukan itu berbunyi lagi. Hania tersentak. Kini suara perempuan memintanya membuka pintu.
"Nona, kami baru saja membuat sup buntut hangat. Kami khawatir anda lapar, keranjang makanan saya letakkan di depan pintu."
Hania menggelengkan kepalanya dengan kuat, "tidak mungkin ini hanya kebetulan, kan? Mereka mengintai aku? Tapi darimana? Dimana mereka meletakkan cctv?" Bola mata Hania bergerak cepat kesana kemari memindai setiap sudut ruangan mencari benda berbentuk cctv yang pernah ia tahu.
"Apa mungkin di kaca besar itu mereka pasang CCTV?"
"Atau di pintu ini? Kenapa mereka tahu perutku berbunyi. Jangan-jangan pintu ini ada cctv atau microphone." Hania meraba daun pintu dengan seksama.
Aroma sayur sup hangat di balik pintu masih menggodanya, seolah mengejek dirinya yang bersikap hati-hati dan overthinking.
"Papa, mama... Perutku lapar," rintihnya lagi lalu tubuhnya merosot duduk bersandar di daun pintu.
"Sabar Hania, sabar ... Bisa saja ini jebakan untukmu, dia memberimu makan sebelum membunuhmu. Jangan-jangan di sup itu sudah mereka bubuhi racun agar kamu mati tanpa perlawanan." Pikirannya mengancam dirinya sendiri.
Di sebuah ruangan, Raditya memperhatikan sejak tadi tingkah, raut wajah dan mendengar suara Hania dari sebuah televisi besar di kamarnya yang mewah. Ia menahan rasa kantuknya demi memperhatikan setiap detail yang Hania lakukan. Raditya seperti sedang memperhatikan tikus putih dalam sebuah ruang vivarium.
"Kamu gadis keras kepala. Aku tidak akan membunuhmu, Nona. Justru aku ingin kamu hidup selamanya, menemaniku."
Udara dingin di kamar ber-AC dan udara di luar kamar yang masih hujan lebat, membuat tubuh Hania semakin menggigil kedinginan. Ia berjalan ke arah ranjang dengan jalan membungkuk, memeluk perutnya yang perih. Ia mengusap ranjang itu dengan pelan, lalu menjatuhkan bokongnya di sana. Perlahan ia merebahkan tubuhnya di atas kasur lalu menarik selimut untuk menghangatkan tubuhnya.
Raditya mengusap wajahnya dengan kasar. Ia menekan sebuah alat interkom, memerintahkan para maid merapihkan makanan yang ada di depan pintu.
"Sampai kapan kamu akan bertahan, Nona? Aku khawatir kamu sakit," gumam Raditya.
Di area pemakaman.
Udara dingin area pemakaman setelah hujan lebat tidak membuat Sabil berhenti mencari Hania di setiap sudut area itu, ia sudah meminta beberapa orang membantu mencarinya di semua rumah sakit, tapi hingga jam dua malam, gadis itu tidak juga ditemukan.
Informasi yang ia dapatkan dari bude Sunti, terakhir kali Hania digendong seseorang setelah jatuh pingsan di acara pemakaman. Hal itu membuat Sabil tambah geram dan merutuki diri sendiri. Andai saja ia tahu saat itu kondisi Hania tidak baik-baik saja, mungkin ia tidak akan membiarkan Hania ikut ke area pemakaman.
"Siapa orang yang menolong Hania saat itu?" gumamnya lirih, "tapi kenapa dia tidak menghubungiku, atau membawanya ke rumah sakit? Mungkinkah orang yang menolong Hania rekan sejawatku?" ia mengusap wajah lelahnya dengan tangan gemetar kedinginan.
Dering nyaring dari ponselnya menghentak kekacauan pikiran Sabil. Dari layar ponselnya nama Raditya tertera memanggil.
"Please Raditya, jangan sekarang. Aku tidak bisa tenang jika Hania belum ditemukan." Sabil mematikan panggilan Raditya.
Sebuah pesan masuk dari Raditya.
"Sabil, maaf aku menganggu malam-malam. Aku tahu kamu sedang berduka. Tapi aku hanya percaya padamu saja. Apa yang harus aku berikan untuk pasien gangguan gerd dan serangan panik?". Isi pesan Raditya.
Sabil mengernyitkan keningnya. "Apa kamu yang sakit? Ke rumah sakit saja," balas Sabil lalu melempar ponselnya ke jok samping.
Ia mengemudikan mobilnya dengan perlahan sambil matanya mencari Hania di bahu jalan.
Notif pesan Raditya muncul lagi. Meski kesal, Sabil tetap mengambil ponselnya lalu membaca pesan Raditya.
"Aku tidak akan membawanya ke rumah sakit. Aku tidak ingin bonekaku menghilang lagi. Tapi aku takut dia mati, tubuhnya gemetar hebat dan badannya demam tinggi. Aku hanya mempercayaimu, Sabil ."
Bagi Raditya, Hania adalah sebuah boneka yang harus ia jaga, jangan sampai bonekanya hilang lagi seperti suster Rara.
Wajah Sabil menggelap setelah membaca pesan Raditya. Ia berteriak di depan ponselnya. "Kamu pikir aku sekolah belasan tahun di fakultas kedokteran untuk mengobati boneka! Arrgk!" umpatnya dengan kesal. Lalu ia melempar lagi ponselnya ke jok samping.
Dalam pikiran Sabil, boneka yang dimaksud Raditya, benar-benar sebuah boneka, mainan yang selama ini memenuhi kamarnya. Dia berpikir Raditya sedang relapse lagi ke masa kecil dan sedang berprilaku menjadi Tya.
Notif pesan dari Raditya seperti teror malam itu. Sahabat kecilnya itu bertubi-tubi menghubunginya dengan kalimat yang sama. Dia takut bonekanya mati. Serangan panik dan kejiwaan Raditya yang bisa pecah kapan saja membuat Sabil akhirnya menyerah dan melunak. Ia menepikan mobilnya lalu menelpon Raditya.
"Ada apa lagi dengan bonekamu, Dit?" tanyanya dengan nada datar, suaranya lelah dan serak.
"Di—dia menggigil, tubuhnya panas, dia demam, dia terus meracau ingin bertemu papa-mamanya. Tolong selamatkan dia, Bil. Tolong selamatkan dia... " suara Raditya gemetar dan kepanikan seakan mencekik tenggorokannya.
Sabil menghela napas pelan, "saat ini aku tidak bisa ke sana, aku harus mencari seseorang. Aku akan kirim nakes ke rumahmu, kamu harus tenang Raditya, jangan panik, oke?" bujuk Sabil, suaranya lebih rendah dan sedikit menaruh perhatian pada kepanikan sahabatnya.
"Aku hanya percaya padamu, Sabil!" bentaknya dengan suara keras. Sabil sampai tersentak kaget dan hendak membentaknya balik, kesabarannya mulai menipis.
Tapi perlahan Raditya menangis tersedu dan memohon, "tolong bantu bonekaku, sepertinya dia akan mati, napasnya mulai sesak."
"Pa... Pa, ma—ma," sayup-sayup terdengar suara lemah dari seorang perempuan di sambungan teleponnya dengan Raditya.
Sabil menajamkan pendengarannya, ia seperti mengenal suara rintihan itu.
"Sh*t!! Bodoh! Bodoh kamu Sabil!" makinya pada diri sendiri.
Tanpa menjawab lagi telepon dari Raditya, Sabil memacu kendaraannya menuju 'istana boneka' milik Raditya.
Arman, keluarga mu toxic. bisakah kamu menyembuhkannya.