Di barat laut Kekaisaran Zhou berdiri Sekte Bukit Bintang, sekte besar aliran putih yang dikenal karena langit malamnya yang berhiaskan ribuan bintang. Di antara ribuan muridnya, ada seorang anak yatim bernama Gao Rui, murid mendiang Tetua Ciang Mu. Meski lemah dan sering dihina, hatinya jernih dan penuh kebaikan.
Namun kebaikan itu justru menjadi awal penderitaannya. Dikhianati oleh teman sendiri dan dijebak oleh kakak seperguruannya, Gao Rui hampir kehilangan nyawa setelah dilempar ke sungai. Di ambang kematian, ia diselamatkan oleh seorang pendekar misterius yang mengubah arah hidupnya.
Sejak hari itu, perjalanan Gao Rui menuju jalan sejati seorang pendekar pun dimulai. Jalan yang akan menuntunnya menembus batas antara langit dan bintang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Boqin Changing, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gao Rui yang Semakin Kuat
Hari berganti hari. Sejak gurunya memasuki pelatihan tertutup, Gao Rui menjalani rutinitas yang sama setiap hari. Bangun sebelum matahari terbit, berlatih hingga malam, makan hanya ketika perutnya benar-benar berontak, dan tidur ketika tubuhnya benar-benar tak lagi mampu bergerak. Tidak ada satu pun hari yang ringan. Ia berlatih menggunakan senjata dengan sebaik-baiknya.
Terkadang ia kehabisan tenaga dan jatuh tersungkur di tanah, tapi ia tidak pernah menyerah. Telinganya seakan masih mendengar suara gurunya.
"Kalau kau masih sempat mengeluh, berarti kau masih punya sisa tenaga."
Maka ia tidak pernah lagi mengeluh.
Ketika Boqin Changing keluar dari pelatihan tertutupnya, ia berdiri di depan muridnya yang berlumuran debu, keringat, dan terkadang darah.
“Guru…” Gao Rui menunduk, memberi salam. “Ada beberapa hal yang… masih tidak kumengerti.”
Boqin Changing duduk santai di bawah pohon dan mengangguk.
“Bicara.”
Gao Rui menjelaskan kesulitannya satu per satu. Tak seperti guru lainnya, Boqin Changing tidak menjawab dengan panjang lebar. Jawabannya seringkali pendek, tapi begitu jelas, tajam, dan langsung mengenai inti masalah.
“Kalau senjatamu terlalu panjang untuk ruang sempit, kau ubah pertarungan jadi ruang luas. Paksa lawanmu bergerak,” jawabnya suatu ketika.
Atau bahkan…
“Sebelum berbicara tentang teknik, kau belum memperbaiki napasmu. Dasar.”
Setiap kali sesi tanya jawab selesai, Boqin Changing berdiri dan berkata,
“Sekarang, uji pemahamanmu. Lawan aku.”
Pertarungan pun dimulai. Tak peduli senjata apa yang dibawa Gao Rui hari itu, gurunya selalu memaksanya melampaui batas. Kadang Boqin Changing bertarung dengan tangan kosong, kadang menggunakan sehelai ranting pohon, kadang menggunakan senjata yang sama, tapi Gao Rui tetap saja kewalahan.
Saat pertarungan semakin seru, sesuatu yang lain mulai muncul.
Swoshhhhh—!!!
Bayangan-bayangan gelap muncul dari tanah, membentuk wujud manusia. Mata mereka merah menyala, tubuh mereka hitam pekat bagai asap pekat. Mereka muncul satu… dua… lima… sepuluh!
“Maju,” perintah Boqin Changing ringan. “Jangan mati, Rui’er”
Gao Rui terdiam sesaat sebelum mengangkat pedangnya dan menerjang.
Pertarungan berlangsung brutal. Setiap kali bayangan gelap itu dikalahkan, wujudnya memecah seperti asap, lalu membentuk diri lagi. Mereka tidak merasakan sakit, tidak mengenal takut, dan jumlah mereka tidak terbatas.
Latihan itu berlangsung terus menerus dan berhari-hari Hasilnya… latihan menggunakan senjata terasa nyata menghadapi puluhan monster kegelapan yang diciptakan gurunya.
Minggu berganti menjadi bulan, bulan berganti tahun.
Tubuh Gao Rui mengeras. Bahunya kini tegap, tatapannya tajam, dan tangannya terlatih memegang apa pun, baik pedang, kapak, hingga senjata paling tidak lazim sekalipun. Tapi yang berubah paling besar bukanlah tubuhnya.
Melainkan... dirinya. Ia tak lagi banyak bicara. Tatapannya menjadi dalam dan dingin. Ia tidak lagi tersenyum ramah pada orang asing. Dan yang paling mencolok, ia mulai menilai segala sesuatu berdasarkan prinsipnya gurunya, bukan berdasarkan apa kata orang lain.
Suatu hari, menjelang malam, setelah pertarungan latihan yang melelahkan, Boqin Changing berdiri di hadapannya dan menatapnya lama.
“Rui’er.”
“Ya, Guru.”
“Ada yang berubah darimu.”
Gao Rui terdiam. Ia tidak menunduk lagi seperti sebelumnya. Ia menatap lurus ke mata gurunya tanpa takut.
“Apakah itu masalah?” jawabnya datar.
Boqin Changing tidak langsung menjawab. Tapi bibirnya melengkung sedikit.
“Tidak. Itu bagus.”
Ia berbalik, melangkah pergi perlahan sambil berkata,
“Kau akhirnya berhenti menjadi sampah yang lembek.”
Gao Rui menatap punggung gurunya. Ia tidak merasa tersinggung sama sekali dengan ucapan gurunya.
Ia hanya bergumam pelan,
“Terima kasih… Guru.”
Di bawah langit malam, tanpa mereka sadari, seorang monster baru mulai lahir di dunia persilatan. Bukan murid biasa tapi murid Boqin Changing Sang Dewa Kematian.
...*****...
Hari terus berganti. Malam itu udara terasa dingin menusuk, tapi tubuh Gao Rui sama sekali tidak bergerak. Ia baru saja selesai bermeditasi. Napasnya stabil, tenang, dan dalam, berbeda jauh dari dirinya yang dulu. Saat membuka mata, seberkas cahaya tipis berkilat di irisnya. Itu adalah tanda dari seorang pendekar raja yang telah menguasai energinya dengan stabil.
Ia perlahan bangkit dari posisi duduk, mengepalkan tangan, dan merasakan aliran tenaga dalamnya mengalir deras, kuat, bertenaga.
Wuuushhh…
Aura pendekar raja seketika menyebar dari tubuhnya, menekan udara di sekeliling halaman itu. Ia bukan lagi sekadar pendekar ahli, ia berada di ranah yang tinggi. Tulang-tulangnya juga telah ditempa hingga mencapai tingkat perunggu.
Namun semua itu tidak ia dapatkan begitu saja. Setiap tetes tenaga, setiap peningkatan kekuatan… dibayar dengan darah, rasa sakit, dan hampir mati berkali-kali di tangan orang yang ia sebut guru.
Gao Rui mendongak menatap langit luas. Malam begitu sunyi, tapi hatinya terasa penuh. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia tersenyum tipis, bukan senyum sombong, bukan pula kepalsuan. Itu adalah senyum seorang pria yang memaknai perjuangannya.
"Andai waktu bisa diputar… aku tetap memilih melewatinya seperti ini."
Tiba-tiba pikirannya kembali pada masa lalu, pada hari ketika ia dibuang ke sungai oleh Yai Feng dan gerombolannya. Saat tubuhnya tenggelam, ia pikir hidupnya berakhir di sana. Ia pikir dunia telah meninggalkannya. Namun kini ia sadar… itu adalah hari kelahiran dirinya yang baru.
"Kalau bukan karena hari itu… aku tidak akan bertemu dengan Guru."
Boqin Changing. Orang yang tak peduli pada aturan dunia. Orang yang tidak percaya pada belas kasihan sia-sia. Orang yang mengajarinya bagaimana bertahan hidup dalam dunia yang penuh kepalsuan.
Metode pelatihan Boqin Changing memang brutal. Tanpa belas kasihan. Tanpa toleransi. Tapi di balik itu, ada sesuatu yang lebih dalam.
Ia memberikannya teknik tingkat tinggi yang bahkan sekte besar pun mungkin tak akan memberikannya. Ia mengajarinya menguasai puluhan senjata sampai menjadi perpanjangan dari tubuhnya. Ia memberinya jurus mematikan yang bisa mengakhiri puluhan nyawa dalam satu tebasan. Lalu yang paling mencolok ia memberikannya begitu banyak sumber daya mahal dan langka dengan begitu mudahnya.
Pill langka, gulungan teknik rahasia, tanaman herbal berkualitas tinggi, Gao Rui tidak pernah kekurangan satu pun. Gurunya… benar-benar kaya. Terlalu kaya untuk ukuran seorang pendekar.
Gao Rui terkekeh pelan.
"Kalau aku tidak bertemu Guru… mungkin aku hanya akan menjadi murid biasa di sekte. Hidup mengikuti aturan, mati tanpa arti."
Perlahan, pikirannya tertuju pada satu hal lain tentang gurunya, sesuatu yang bahkan lebih kuat dari pedang atau jurus apa pun. Cara berpikirnya. Cara ia memandang dunia, menilai manusia, dan bertindak tanpa ragu. Sesuatu yang lambat laun… meresap ke dalam dirinya.
Ia tidak lagi memandang dunia seperti orang biasa. Tidak lagi percaya pada ‘keadilan’ yang dipelintir oleh orang kuat. Tidak lagi menerima omong kosong seperti ‘kebenaran milik bersama’.
Ia kini percaya satu hal. Kebenaran hanya milik mereka yang cukup kuat untuk menegakkannya.
Gao Rui menarik napas panjang, menatap langit sekali lagi.
Ia bukan lagi anak yang dulu dibuang ke sungai. Ia bukan lagi murid yatim yang dipandang rendah. Ia bukan lagi Gao Rui yang sama. Kini, ia adalah Gao Rui, murid Dewa Kematian, Boqin Changing.
Angin malam berhembus pelan melewati halaman pagoda. Gao Rui masih berdiri memandang langit, membiarkan pikirannya tenggelam dalam keheningan. Namun tiba-tiba, langkah seseorang terdengar mendekat. Langkah tenang, ringan, namun penuh wibawa. Tanpa menoleh pun ia tahu siapa itu.
Boqin Changing duduk begitu saja di sampingnya, seolah kehadirannya di malam sunyi seperti ini adalah hal biasa. Tanpa bicara panjang, sang guru ikut memandang langit.
Beberapa saat tidak ada percakapan. Hanya keheningan. Sampai akhirnya Boqin Changing berkata pelan,
“Sedang memikirkan apa?”
Gao Rui menunduk sedikit.
“Tidak ada apa-apa, Guru.”
Boqin Changing melirik sekilas, tatapannya seperti bisa membaca pikiran muridnya.
“Hm. Kalau kau benar-benar tidak memikirkan apa-apa, berarti otakmu sudah mati.”
Untuk sesaat, Gao Rui tidak tahu harus tertawa atau mengangguk saja. Ia hanya memilih diam.
Tiba-tiba, tanpa aba-aba, tanpa konteks, gurunya berkata tenang seolah membahas cuaca.
“Seminggu lagi kita keluar dari pagoda ini.”
Gao Rui spontan menoleh cepat.
“Keluar? Guru, mengapa kita keluar?”
Boqin Changing menyandarkan tubuh, satu kakinya bertumpu ke batu kecil di depan.
“Aku sudah menyelesaikan pelatihan tertutupku. Dan kau…” ia melirik tajam “…sudah cukup kuat untuk hidup di luar sana.”
Gao Rui tak langsung membalas. Cukup kuat untuk hidup di luar sana? Kata-kata itu mengandung dua arti. Hidup… atau mati jika lemah.
Namun sebelum ia sempat bertanya lebih jauh, gurunya melanjutkan dengan nada yang sama sekali tidak dramatis.
“Dan alasan utamanya…”
Gao Rui menatapnya serius.
“Aku bosan di sini.”
Sunyi sejenak. Lalu tanpa bisa ditahan, Gao Rui tertawa kecil.
Begitu sederhana. Begitu jujur. Itulah gurunya, Boqin Changing.
“Baik, Guru,” kata Gao Rui, masih menahan tawa. “Aku mengerti.”
Boqin Changing memandang muridnya sekilas lalu berdiri.
“Bersiaplah. Dunia luar tidak seperti pagoda ini. Kau bukan lagi Gao Rui yang dulu.”