Cerita ini adalah lanjutan dari The Secret Miranda
Aku hanya perempuan yang dipenuhi oleh 1001 kekurangan. Perempuan yang diselimuti dengan banyak kegagalan.
Hidupku tidak seberuntung wanita lain,yang selalu beruntung dalam hal apapun. Betapa menyedihkannya aku, sampai aku merasa tidak ada seorang pun yang peduli apalagi menyayangi ku . Jika ada rasanya mustahil. .
Sepuluh tahun aku menjadi pasien rumah sakit jiwa, aku merasa terpuruk dan berada di titik paling bawah.
Hingga aku bertemu seseorang yang mengulurkan tangannya, mendekat. Memberiku secercah harapan jika perempuan gila seperti ku masih bisa dicintai. Masih bisa merasakan cinta .
Meski hanya rasa kasihan, aku ucapkan terimakasih karena telah mencintai ku. Miranda.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nanie Famuzi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 31
Malam itu, Damar berdiri di depan rumah sakit. Angin berembus pelan, mengibaskan ujung jaket hitamnya. Ia mengenakan topi dan masker hitam, menyamarkan wajahnya dari cahaya lampu taman yang temaram.
Tak lama, seseorang muncul dari arah pintu belakang rumah sakit. Tanpa banyak bicara, orang itu menyodorkan sesuatu ke tangannya, sebuah kunci kecil berwarna perak, dingin menyentuh kulit.
Damar menatapnya sejenak, lalu mengangguk pelan. Ia mengikuti orang itu menyusuri lorong belakang yang sepi, aroma disinfektan bercampur dengan udara lembap malam hari.
Lorong itu berakhir di depan sebuah pintu. Orang yang menuntunnya berhenti, menatap Damar sebentar, lalu berbisik lirih, “Hanya sepuluh menit.”
Tanpa menjawab, Damar menggenggam kunci itu erat. Begitu orang itu pergi, ia menarik napas dalam-dalam.
Perlahan ia memasukkan kunci ke lubang pintu.
Klik.
Suara kecil itu terdengar nyaring di tengah keheningan.
Damar membuka pintu, dan di hadapannya. Miranda sedang tertidur.
Udara dingin dari dalam ruangan langsung menyergap wajah Damar. Ruangan itu redup, hanya diterangi lampu kecil di sudut, memantulkan cahaya lembut ke wajah Miranda yang tertidur di ranjang putih.
Damar menatapnya lama, terlalu lama. Napasnya nyaris terhenti. Gadis itu tampak tenang, tertidur lelap. Rambutnya terurai lembut di atas bantal, kulitnya sedikit pucat, namun masih terlihat cantik.
Perlahan Damar melangkah mendekat, seolah takut langkahnya bisa membangunkan gadis itu. Tangannya terangkat, nyaris menyentuh pipi Miranda… tapi berhenti di udara. Ia tak berani.
Matanya memanas. Entah mengapa, setiap kali menatap wajah Miranda, dadanya selalu terasa sesak, seperti ada sesuatu yang menekan dari dalam, rasa yang tak bisa ia jelaskan, namun begitu kuat mencengkeram.
Andai bisa, malam ini juga Damar ingin membawanya pergi dari tempat ini… dari siapa pun yang menahannya.
“Aku bahkan tidak benar-benar mengenalmu,” bisiknya pelan, suaranya bergetar di udara yang dingin. “Tapi entah kenapa, kamu sudah membuatku segila ini.”
Ia menunduk, menatap wajah Miranda yang terlelap dalam damai semu. Ujung jarinya menyentuh helaian rambut lembut di pelipis gadis itu. Sentuhan itu begitu hati-hati, seolah takut merusak ketenangan yang rapuh.
“Miranda…” suaranya lirih, penuh janji yang belum terucap. “Tunggu aku, ya. Besok aku akan datang lagi. Aku akan menjemputmu… apa pun yang terjadi. Jadi, bersabarlah sedikit lagi.”
Damar tersenyum tipis, meski matanya basah. Ia menatapnya untuk terakhir kali malam itu, lalu berbalik menuju pintu.
Begitu duduk di kursi kemudi, Damar menarik napas panjang, mencoba menenangkan debar jantung yang masih berantakan. Jemarinya gemetar halus saat meraih ponsel di saku jaketnya. Layar menyala, dan ia menekan satu nama yang sudah hafal di luar kepala.
“Hallo,” suara di seberang terdengar tenang, profesional.
“Besok pagi,” ucap Damar datar, namun nadanya mengandung tekanan yang membuat siapa pun sulit menolak. “Temani saya menemui dokter penanggung jawab Miranda. Saya ingin membahas pemindahan tanggung jawab perawatannya.”
Terdengar jeda singkat di seberang sana sebelum suara itu menjawab hati-hati, “Baik, Pak Damar. Tapi apakah Anda sudah mengantongi izin resmi dari pihak rumah sakit?”
Damar tersenyum samar, senyum yang tidak menyentuh matanya. “Belum. Tapi besok pagi… saya pastikan izinnya akan ada.”
Ia menutup telepon tanpa menunggu jawaban. Matanya menatap kosong ke depan, ke arah langit malam yang diguyur rintik hujan. Di dalam mobil yang remang, hanya suara detak jam dashboard dan napasnya sendiri yang terdengar.
Di luar sana, kilat menyambar, dan dalam pantulan kaca depan, Damar sempat melihat wajahnya sendiri, dingin, namun berkilat tekad yang nyaris menyeramkan.
“Besok, Miranda,” gumamnya pelan. “Tak ada yang bisa menahanku lagi.”
......................
Pagi itu, rumah sakit masih diselimuti kabut tipis. Lampu-lampu lorong belum sepenuhnya padam ketika langkah-langkah cepat terdengar menuju ruang dokter jaga.
Dr. Jodi baru saja menandatangani berkas pasien saat suara ketukan pelan terdengar di pintu.
Tok… tok… tok…
“Masuk,” ucapnya singkat.
Pintu terbuka, dan Suster Risa muncul dengan ekspresi canggung. Ia memeluk map di dadanya, seperti sedang menahan sesuatu yang tidak enak.
“Dok…” suaranya pelan. “Ada yang perlu saya laporkan. Tentang Miranda.”
Jodi menatapnya tajam. “Kenapa dengan Miranda? Ada apa?”
Suster Risa menelan ludah, lalu berkata dengan nada nyaris berbisik.
“kemarin siang… seseorang datang, Dok. Mengaku bernama Damar. Katanya dia punya izin dari pengacaranya untuk melihat data medis Miranda. Saya sudah menolak menemui pasien langsung, tapi…” ia menunduk sedikit. “Entah bagaimana, saya rasa orang itu sempat masuk ke ruang pasien.”
Alis Jodi langsung berkerut. “Apa? Kamu yakin?”
“Saya tidak punya bukti, tapi…” Risa menatap lantai, suaranya bergetar. “Pagi ini, ketika saya mengecek kamar Miranda, ada aroma parfum asing yang tidak ada sebelumnya. Seperti sudah ada seseorang.”
Jodi diam beberapa detik, rahangnya mengeras. “Dia sudah berani sejauh itu…” gumamnya. Ia segera berdiri, menyambar jas putihnya, lalu menatap Risa tajam.
“Segera hubungi bagian keamanan. Perintahkan mereka siapkan rekaman CCTV semalam. Dan kalau orang itu datang lagi, langsung hubungi saya, jangan beritahu siapa pun yang lain.”
“Baik, Dok,” jawab Suster Risa cepat, meski wajahnya pucat.
Begitu Risa keluar, Jodi menatap jendela ruangannya. Langit sudah mulai terang, tapi entah kenapa, pagi itu terasa dingin dan menyesakkan.
“Damar…” desisnya pelan, nyaris seperti ancaman. “Kali ini kamu sudah kelewatan.”
Beberapa menit kemudian, Jodi sudah berdiri di ruang keamanan.
Di hadapannya, layar-layar monitor menampilkan rekaman dari berbagai sudut rumah sakit. Ia menyilangkan tangan, tatapannya fokus.
“Putar rekaman antara pukul sepuluh malam sampai tengah malam,” perintahnya.
Petugas keamanan mengangguk dan mulai menggulir rekaman.
Gambar-gambar hitam putih berjalan cepat. Lorong sepi. Suster berjaga. Tidak ada yang mencurigakan.
Jodi mendekat ke layar. “Perlambat di area lantai dua, dekat ruang rawat 17,” ujarnya tajam.
Petugas menuruti. Namun… hasilnya tetap sama.
Lorong kosong. Tak ada siapa pun yang lewat.
“Coba diulang,” katanya lagi.
Beberapa kali Jodi meminta untuk memutar ulang dari sudut kamera lain, tapi hasilnya nihil.
Ia menghela napas panjang, menegakkan tubuhnya.
“Tidak mungkin…,” gumamnya pelan. “Risa jelas bilang dia seperti melihat seseorang, keluar dari ruang Miranda.”
Petugas menatap Jodi canggung.
“Dok, tidak ada yang terekam. Seperti… seseorang telah menghapus atau memotong sebagian rekaman itu.”
Jodi menoleh tajam. “Siapa yang bisa akses sistem ini selain kalian?”
“Cuma dua orang, Dok. Saya, dan kepala keamanan.”
Jodi diam sejenak, matanya menyipit penuh curiga. “Pastikan tidak ada yang keluar dari sistem ini tanpa sepengetahuan saya. Dan jangan beri tahu siapa pun tentang hal ini.”
“Baik, Dok.”
Tanpa menunggu lebih lama, Jodi melangkah keluar dari ruang keamanan. Langkahnya cepat dan tegas, tapi di dalam kepalanya bergema satu nama.
Damar.
Orang itu benar-benar membuatnya gelisah.
......................
Keesokan harinya.
Langit mendung, suasana rumah sakit terasa lebih berat dari biasanya.
Di ruang resepsionis, langkah dua pria menarik perhatian semua orang. Salah satunya berpakaian hitam dari ujung kepala sampai kaki, Damar. Di sampingnya, pria berjas abu-abu dengan tas kerja tampak berbicara sopan pada petugas.
“Selamat pagi, saya Zein, kuasa hukum dari Pak Damar. Kami ingin bertemu dengan dr. Jodi,” ucapnya dengan nada profesional.
Suster Risa yang kebetulan lewat spontan menoleh. Seketika tubuhnya menegang. Dia datang lagi… batinnya.
Tak lama, pintu ruang dokter terbuka. Jodi muncul, wajahnya tenang tapi sorot matanya tajam menelusuri Damar dari ujung kepala hingga kaki.
“ Apa anda Pak Damar?” sapanya dingin. “Saya sudah mendengar nama Anda sejak kemarin.”
Damar tersenyum kecil, langkahnya mantap. “Saya juga sudah lama ingin berbicara langsung dengan Anda, Dokter.”
Keduanya saling menatap. Sunyi. Tegang. Hanya terdengar bunyi jam dinding berdetak perlahan.. tik… tak… tik… tak…
“Baiklah,” ucap Jodi akhirnya. “Mari kita bicara di ruang saya.”
Zein ikut melangkah di belakang mereka, sementara Suster Risa hanya bisa menatap punggung tiga pria itu menjauh. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya, entah kenapa, firasatnya mengatakan, pertemuan itu tidak akan berjalan biasa saja.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...