Apa yang kita lihat, belum tentu itulah yang sebenarnya terjadi. Semua keceriaan Aurora hanya untuk menutupi lukanya. Dia dipaksa tumbuh menjadi gadis kuat. Bahkan ketika ayahnya menjual dirinya pada seorang pria untuk melunasi hutang-hutang keluarga pun, Aurora hanya bisa tersenyum.
Dia tersenyum untuk menutupi luka yang semakin menganga. Memangnya, apa yang bisa Aurora lakukan selain menerima semuanya?
"Jika kamu terluka, maka akulah yang akan menjadi obat untuk lukamu." —Skala Bramasta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon widyaas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32
"Daddy?"
Benjamin yang sedang memasang jam tangannya pun menoleh ke arah Aurora yang menyembulkan kepalanya di sela pintu kamar yang terbuka.
"Masuklah," ujar Benjamin dan langsung dituruti Aurora.
"Daddy mau ke mana?" Kening Aurora mengerut melihat penampilan Benjamin yang rapi dari biasanya.
"Pergi menemui seseorang," jawab pria paruh baya itu sambil menyemprotkan parfum nya. Meski sudah hampir 60 tahun, tubuhnya tetap terlihat bugar. Tidak kurus ataupun buncit, badan Benjamin benar-benar terawat. Tinggi dan besar. Bahkan ketika Aurora berada di samping Benjamin, gadis itu merasa kecil sekali karena saking besar dan tebal nya tubuh sang daddy.
"Siapa? Apa aku boleh ikut?"
Benjamin tersenyum tipis. Dia berbalik menatap putrinya. "Bermain lah bersama kakakmu," ujarnya secara tidak langsung menolak permintaan Aurora. Tangannya terulur mengelus rambut sang putri.
"Kalau diingat-ingat, aku jarang bermain dengan Daddy. Daddy selalu sibuk bersama Skala dan Kak Thomas. Hanya Kak Charlie dan Mommy yang selalu menemaniku." Mata Aurora berkedip pelan.
Bukan tidak bersyukur, Aurora hanya ingin merasakan kasih sayang Benjamin. Terlebih mereka baru bertemu setelah dua puluh tahun lamanya. Pria itu hanya memberinya barang dan uang sebagai bentuk kasih sayang, sedangkan Aurora menginginkan perhatiannya.
Benjamin pun sadar bahwa dia kurang memperhatikan Aurora, dia hanya tidak bisa mengekspresikan sebuah perasaan. Ia terlalu kaku.
"Baiklah, hari ini kita habiskan waktu berdua. Hm?" Benjamin tersenyum tipis lalu mencium puncak kepala Aurora.
"Daddy sibuk hari ini, lain kali saja kalau begitu," balas Aurora pula.
"Tidak, Daddy tidak sibuk." Benjamin berusaha meyakinkan.
Aurora tetap menggeleng. "Lain hari saja, Daddy. Rora bisa bersama Kak Charlie saja. Hati-hati di jalan." Aurora tersenyum manis lalu keluar dari kamar tamu yang dipakai kedua orang tuanya.
Benjamin menghela nafas. Baiklah, setelah ini dia tidak akan sibuk lagi, demi putrinya.
****
Lythia menekankan suara TV ketika mendengar sesuatu. Begitu pula dengan Archie yang sedang sibuk dengan tablet nya, pria itu langsung menatap sang mommy.
"Suara biola?" Sebelah alis Archie terangkat.
Lythia tersenyum setelah menyadari sesuatu. "Itu pasti Aurora," ujarnya lalu beranjak berdiri diikuti Archie. Mereka berjalan pelan sambil berusaha menemukan sumber suara itu.
Dan tepat di depan pintu sebuah ruangan yang tertutup, Archie dan Lythia saling menatap. Apakah kedatangan mereka akan mengganggu Aurora?
Ketika Lythia hendak membuka pintu, suara itu sudah hilang. Lagi-lagi mereka berdua menatap satu sama lain.
Ceklek. Akhirnya Lythia membuka pintu tersebut.
Terlihat lah Aurora yang sedang membaca sebuah buku yang tidak mereka tau.
"Sayang?"
Aurora mendongak mendengar suara Lythia. "Mommy, Kakak?" Dia tersenyum lebar.
Lythia menatap seisi ruangan itu. Ternyata ada beberapa alat musik dan juga lukisan yang menempel di dinding.
"Maaf jika kamu mengganggu," ujar Archie.
Aurora langsung menggeleng cepat. "Tidak! Kalian tidak mengganggu sama sekali!" ujarnya.
"Ah, Mommy baru ingat. Kamu tidak les biola hari ini? Dan selama ini, Mommy juga tidak pernah melihatmu pergi les," kata Lythia bertanya.
Aurora mengusap lehernya seraya menyengir. "Hehe ... sebenarnya aku berhenti ikut les, karena aku merasa sudah cukup," jawabnya.
Lythia mengangguk paham. Dia setuju dengan jawaban putrinya. Bakat Aurora sudah sangat cukup. Nada, irama yang Aurora ciptakan sudah sangat bagus.
"Kamu hebat. Keturunan Alessandro yang lain tidak ada yang bisa memainkan alat musik,'" ujar Lythia sambil mengelus kepala Aurora.
Archie memilih menatap lukisan yang tertempel di dinding. Matanya menangkap sebuah tanda tangan di ujung lukisan. Itu pasti milik Aurora. Oh, atau semua lukisan di sini adalah milik adiknya?
"Kamu yang melukis semua ini?" tanya Archie membuat kedua wanita itu menatap ke arahnya.
"Tidak, ada beberapa yang dibelikan Skala," jawab Aurora.
"Astaga, kamu lebih berbakat dibandingkan Mommy, Sayang." Lythia menutup mulutnya dan menatap Aurora dengan takjub.
"Mommy, jangan bicara seperti itu." Aurora memegang tangan Lythia sambil menunduk malu.
Archie dan Lythia langsung terkekeh geli.
Suara pintu diketuk membuat mereka bertiga menoleh. Terlihat seorang pelayan masuk dengan takut-takut.
"Maaf mengganggu, Nona, Nyonya, Tuan..."
"Katakan," ucap Archie dengan tegas.
"T–tuan Skala mengalami kecelakaan, beliau—"
"A–apa?" Kaki Aurora terasa lemas, untung saja Lythia langsung memeluknya.
"Tenang, Skala pasti baik-baik saja," kata Lythia menenangkan.
Sedangkan Archie langsung keluar begitu saja setelah pelayan menyebut rumah sakit tempat Skala dilarikan.
Melihat sang kakak sudah berlari lebih dulu, Aurora langsung ikut berlari ke luar.
"Aurora!" Lythia ikut-ikutan berlari juga.
Jam menunjukkan pukul lima sore, langit pun sudah gelap karena mendung.
"Kakak! Ikut! Aku ikut!" Aurora berteriak ketika Archie hendak melajukan mobilnya. Untungnya Archie membiarkan Aurora masuk, lalu diikuti oleh Lythia.
Di rumah hanya ada mereka bertiga. Benjamin sendiri belum pulang dari urusannya, begitupun dengan Charlie dan Thomas. Tentu saja mereka panik ketika mendengar kabar itu.
Bahkan Aurora beberapa kali menyakiti dirinya untuk memastikan apakah ini mimpi atau bukan.
Di sisi lain, Charlie mondar-mandir di depan ruang UGD. Tadi, dia dalam perjalanan pulang, tapi jalanan macet karena ada kecelakaan. Karena penasaran, Charlie pun turun untuk melihat apa yang terjadi, karena selama di London, dia tidak pernah melihat hal seperti itu.
Dan alangkah terkejutnya ia saat melihat siapa orang yang berada di dalam mobil tersebut. Skala, adik iparnya mengalami kecelakaan tunggal karena menabrak pembatas jalan. Karena panik, Charlie langsung ikut masuk ke dalam ambulan dan meninggalkan taksi nya begitu saja.
Di sinilah dia sekarang, sebagai wali pasien bernama Skala Bramasta. Dia juga yang menelpon telepon rumah Skala dan memberi tau kabar ini.
"Kenapa bajiinngan itu bisa kecelakaan? Dasar manusia ceroboh. Setelah ini, Aurora pasti akan menangisinya," gumam Charlie, resah.
Ia mendongak saat mendengar suara langkah kaki yang terburu-buru. Detik itu juga hatinya terasa nyeri melihat Aurora berderai air mata sambil berlari ke arahnya, tanpa alas kaki.
"Kakak, di mana Skala?" Aurora memegang lengan Charlie dengan erat, tapi Charlie hanya diam. Gadis itu menatap pintu UGD yang tertutup. Dia hendak mendekat, tapi Charlie langsung memeluknya.
"Dia baik-baik saja, tenangkan dirimu," bisik Charlie.
Aurora menggeleng. "Tidak, Skala ... aku ingin melihat Skala..." Dia menangis keras sambil berusaha lepas dari pelukan Charlie.
Lythia ikut menangis melihat betapa kacaunya sang putri. Dia mengambil alih dan memeluk Aurora dengan erat.
"Tenang, Sayang. Skala pasti baik-baik saja, percaya dengan Mommy. Hm?" Ia berulang kali mengecup puncak kepala Aurora sambil mengelusnya. Tapi, sepertinya cara itu tidak mempan. Buktinya Aurora masih menangis meraung-raung.
Archie mengusap wajahnya dengan kasar. Demi apapun, melihat betapa kacaunya Aurora membuat hatinya sakit.
Aurora berulang kali memanggil Skala dengan isak tanginya yang kencang. Bahkan dia sampai terduduk di lantai saking lemasnya.
"Hubungi daddy, Son," titah Lythia pada kedua putranya. Tangannya masih setia mengusap punggung Aurora.
Charlie langsung menelpon Benjamin. Tak butuh waktu lama, pria itu menjawab teleponnya.
Sedangkan Archie membantu Aurora duduk di kursi tunggu dan mencoba menenangkan sang adik. Meski sia-sia, karena Aurora terus memberontak dan ingin bertemu dengan Skala.
"Skala..."
"Iya, Skala sedang diobati dokter. Tenang, Sayang," bisik Lythia. Namun Aurora tidak mendengarnya karena sudah kehilangan kesadaran. Tepat saat itu, Benjamin dan Thomas baru saja tiba.
"Aurora!" Lythia menepuk-nepuk pipi putrinya dengan panik. "Sayang, bangun!"
Semuanya panik, dan Thomas langsung bergerak membawa Aurora ke sebuah ruangan untuk ditangani dokter. Lalu Lythia ditenangkan oleh Benjamin karena dia khawatir dengan kondisi Aurora.
bersambung...
lanjuuuut