Rui Haru tidak sengaja jatuh cinta pada 'teman seangkatannya' setelah insiden tabrakan yang penuh kesalahpahaman.
Masalahnya, yang ia tabrak itu bukan cowok biasa. Itu adalah Zara Ai Kalandra yang sedang menyamar sebagai saudara laki-lakinya, Rayyanza Ai Kalandra.
Rui mengira hatinya sedang goyah pada seorang pria... ia terjebak dalam lingkaran perasaan yang tak ia pahami. Antara rasa penasaran, kekaguman, dan kebingungan tentang siapa yang sebenarnya telah menyentuh hatinya.
Dapatkah cinta berkembang saat semuanya berakar pada kebohongan? Atau… justru itulah awal dari lingkaran cinta yang tak bisa diputuskan?
Ikutin kisah serunya ya...
Novel ini gabungan dari Sekuel 'Puzzle Teen Love,' 'Aku akan mencintamu suamiku,' dan 'Ellisa Mentari Salsabila' 🤗
subcribe dulu, supaya tidak ketinggalan kisah baru ini. Terima kasih, semoga Tuhan membalas kebaikan kalian...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Umi Nurhuda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Zara tuh, duh, Parah!
"Sudah berapa kali kita melakukan ini, Sayang?"
Pertanyaan itu selalu saja muncul dari bibir Rui setiap kali mereka melakukan hubungan intim. Hal semacam itu baginya adalah mantra penuh cinta yang tak pernah usang oleh waktu.
Nuuha bersemu, merasa tergelitik. "Selalu saja nanyain itu. Hmm... Kalau seminggu empat kali, dikali 12 bulan, dikali 22 tahun... belum termasuk permintaan darurat dan bonus tengah malam... aku rasa... aku tetep nggak bisa ngitung."
Rui tersenyum penuh arti.
Ia lalu menarik lembut kaki istrinya dan menaruh lutut itu di bahunya, kemudian menjawab dengan tenang dan mudah. "Itu totalnya sekitar 4.224 kali. Belum termasuk bonus. Belum termasuk yang dadakan juga. Kalau dihitung-hitung lagi... mungkin sekitar lima ribuan, lebih."
Nuuha terkekeh sambil menggeleng. "Astaga... Sebanyak itu kita? kamu itu, Selalu keren, dan cerdas. Kamu nggak bosen giniin aku tiap saat?"
"Mana ada bosen," Rui membelai pipi istrinya yang kini tak lagi muda, tapi tetap terlihat paling cantik di matanya.
"Yang ada, cintaku tak pernah luntur, Nuuhaku sayang. Banyak hal sudah kita lewati bersama. Luka, tawa, air mata, keberhasilan dan kehilangan. Tapi satu yang pasti, aku tak pernah ingin berubah. Aku akan selalu jadi Narumu... seperti dulu."
Nuuha menatapnya dalam diam.
Bayangannya terlukis sempurna di manik mata sang suami. Mata yang senantiasa menangkap setiap detail wajah yang begitu ia cinta. Laksana cahaya yang menetap dalam cermin jiwa.
"Kamu selalu membuatku jatuh cinta padamu, Naru... lagi dan lagi. Dan itu, nggak nanggung."
"Dan jatuh cintamu itu... akhirnya nurun juga ke putra kita." Rui menggenggam erat jemari istrinya.
"Hah?" Nuuha spontan mengangkat kepala, ekspresinya terkejut sekaligus diselingi reaksi dari sentuhan yang diberikan suaminya. "Haru? Jatuh cinta?"
Rui mengangguk bercampur hasrat yang ingin segera ia lepaskan. Nafasnya sedikit memburu.
"To-- aaakhh... Naru, sebentar..." Nuuha meringis kecil, berusaha tetap fokus meski suasananya jelas menggoda. "Tolong... bilang... Emmhh... Haru, Haru jatuh cinta sama siapa?"
Rui makin senang.
Reaksi istrinya membuatnya gemas sendiri. Ia mendekatkan bibir ke telinga, lalu berbisik pelan namun sengaja memberi tekanan: "Pada seorang gadis... yang ingin kamu temui."
Mata Nuuha mengerjap berkali-kali. Mencoba memastikan bahwa ia tidak salah dengar. "Naru... maksudmu... Zara?"
Rui mengangguk ringan.
"Tapi kupikir... kupikir gadis itu sudah punya pacar. Aku, aku nggak mau Haru merasakan sulitnya mencintai seperti kita dulu."
Rui menatap istrinya penuh cinta. "Kalau memang begitu, kita harus bantu Haru. Tapi... nanti aja ya, setelah kita selesai bagian kita dulu."
"Aaakhhh~
Dan ketika esok menjelang...
Sore datang bak selimut lembut yang menenangkan. Mentari menggantung rendah, memancarkan cahaya keemasan yang menyentuh dedaunan dengan kelembutan tangan ibu.
Di sanalah mereka.
Empat sahabat muda dan empat sahabat bunda, duduk bersisian. Di dua gazebo kaca yang terukir elegan. Ukirannya melengkung seperti sulur angin. Atapnya bersinar lembut diterpa cahaya senja.
Empat sahabat bunda bercengkerama dalam kehangatan yang tak dibuat-buat. Gelas-gelas cokelat hangat menghiasi meja rotan berlapis taplak renda dan tiered cake stand bertingkat tiga berdiri anggun, dipenuhi kue-kue mungil nan menggoda.
Di sekelilingnya, taman bunga bermekaran laksana lukisan hidup. Mawar putih yang harum, lavender yang tenang, dan barisan dandelion yang dicintai Haru menggoyang pelan diterpa angin, membawa benih-benih angan dan harapan ke udara.
Tawa meledak riuh di tengah gazebo. Melenting di antara empat sahabat muda, kecuali Haru. Fanya duduk paling depan, gesturnya teatrikal.
“Lucu banget, sumpah! Hahaha," matanya berkilat geli saat ia mulai membongkar cerita dari kampus. "Kalian tahu nggak? Zara tuh, duh, parah!”
Fanya memutar bola matanya dengan penuh dramatis. “Nilainya ancur! Dia lebih sering dipanggil dosen buat ditegur daripada buat dipuji.”
Asyifa ikut menimpali dengan nada menyindir, “Tapi anehnya, dia selalu PD banget. Sambil senyum dia bilang, ‘Ini baru awal, Pak. Besok juga saya dapet A.’” Ia lalu tergelak, “Padahal ‘besok’-nya itu kayak mimpi aja, karena nilainya tetap aja ngedon di bawah rata-rata. Kasihan banget.”
Asaki tak puas. Ia lebih melempar komentar tajam seperti belati. “Mungkin dia keturunan Patrick Star. Otaknya lembek, kayaknya isinya cuma angin laut. Atau mungkin... dia pikir jadi bodoh itu tren?”
Tawa mereka bertiga meledak lagi, seperti anak panah Yang ditembakkan tanpa peduli ke mana mendarat.
Di tengah suara itu, Haru hanya diam. Sudut bibirnya terangkat. Menahan sesuatu, antara marah, heran, dan tak percaya. Zara? Adik si Ray yang jenius. Ray yang bahkan ia sendiri segani. Mustahil jika adiknya serendah itu. Ada yang aneh. Ada yang tak beres.
Suara Haru akhirnya keluar, tenang namun tajam, “Kalian bertiga... mungkin salah.”
Mereka bertiga pun menoleh.
Haru melanjutkan. “Patrick yang kalian hina-hina itu, dalam kartunnya, justru sering kali bisa membaca situasi lebih jernih daripada Spongebob. Dia terlihat bodoh, tapi sebenarnya dia... penuh kejutan. Jangan salahkan kalo dia tiba-tiba memiliki kecerdasan yang tak terduga."
Fanya dan Asyifa langsung bersorak menggoda, “Cieeeee!”
Haru terlonjak heran “Heh?! Maksud kalian apaan cie-cie segala?!”
Asaki menatap tajam. “Maksudnya, kamu jelas suka sama dia, Haru. Jelas banget dari cara kamu ngebela dia, terus." ketusnya.
"Sudahlah, Asaki. Lo nggak usah terlalu baper. Lagian, baperan tuh... nggak cocok banget sama lo."
Asaki mendengus pelan, namun matanya tak bisa menyembunyikan semburat kecewa. Kata-kata Haru terasa menyayat pelan harga diri dan rasa yang ia sembunyikan selama ini.
Asyifa mencoba memotong ketegangan itu. "Tapi... tapi..." ucapnya menggantung, membuat tiga pasang mata langsung tertarik padanya.
"Gue kan satu klub cheerleader sama Zara, dan serius deh, dia tuh energik banget. Sekali tampil, auranya bisa nyihir semua yang nonton. Nggak heran kalau cowok-cowok gampang kesengsem."
"Yup, yup! Waktu di kelas seni, dia juga keren banget. Cara dia megang kuas... tuh warna kek nurut gitu sama gerakan tangannya. Di mata kuliah desain digital juga gitu, idenya tuh... kayak dari dunia lain. Ajaib, sumpah."
Asyifa mengangkat bahu dengan senyum pasrah. "Yaa, mungkin bener. Sukses nggak melulu tentang akademik. Tapi tetep aja... kasihan kalau nilainya jeblok terus."
"Nilai jeblok, nggak punya ot*k, meski cantik dan berbakat buat apa? Itu nggak berguna sama sekali." Asaki kembali menimpali dengan tajam.
"Memang sih," Fanya membenarkan. "Sistem di negara kita masih aja kejebak soal nilai akademik. Selalu nilai, nilai, nilai."
Asyifa pun melodrama. "Mamahku aja langsung naik darah kalau nilai matkulku dapat C. Bisa kebayang nggak sih, sekelas Zara yang nilainya jeblok mulu? Duh, ortunya pasti udah stres tujuh keliling. Rambut mereka mungkin udah penuh uban saking seringnya mikirin anak."
"Dia emang bukan circle kita," ujar Asaki sambil melipat tangan di dada.
Dalam hati, matanya menyelidik ke arah Haru yang masih diam di tempatnya. "Ayo Haru, buka matamu. Cewek itu cuma gadis halu yang kebanyakan khayal. Nggak pantes buat kamu. Jangan sampai kamu jatuh hanya karena pesonanya yang dangkal." Ia menyibakkan rambut selehernya dengan percaya diri, seolah meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia lebih baik dari siapa pun yang tengah mereka bicarakan.
Haru akhirnya angkat suara.
../Facepalm/