Apa yang kita lihat, belum tentu itulah yang sebenarnya terjadi. Semua keceriaan Aurora hanya untuk menutupi lukanya. Dia dipaksa tumbuh menjadi gadis kuat. Bahkan ketika ayahnya menjual dirinya pada seorang pria untuk melunasi hutang-hutang keluarga pun, Aurora hanya bisa tersenyum.
Dia tersenyum untuk menutupi luka yang semakin menganga. Memangnya, apa yang bisa Aurora lakukan selain menerima semuanya?
"Jika kamu terluka, maka akulah yang akan menjadi obat untuk lukamu." —Skala Bramasta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon widyaas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Aurora mengunyah vitamin jelly nya sambil melangkah menuju ruang kerja Skala. Vitamin itu Skala yang membelikan, katanya biar cepat tumbuh besar.
Semakin hari, mereka semakin dekat. Seperti apa yang Skala pikirkan, dia ingin menerima Aurora meski pernikahan mereka diadakan secara terpaksa. Aurora yang awalnya agak segan pada Skala, kini mulai berani meminta sesuatu. Terlebih pria itu begitu memanjakannya.
Aurora mengetuk pintu dulu sebelum masuk. Seperti hari-hari sebelumnya, Skala duduk di kursi kerja sambil berkutat dengan laptop. Gadis itu berdiri di belakang Skala sambil memperhatikan apa yang suaminya kerjakan.
"Kamu mau ini?" tawar Aurora. Dia menyodorkan sebuah vitamin jelly pada Skala. Tak menolak, pria itu membuka mulutnya menerima suapan dari Aurora.
"Sudah malam, tidurlah."
Aurora menggeleng pelan. "Belum bisa tidur." Dia memilih rebahan di sofa panjang sambil terus mengunyah.
Kalau dilihat-lihat, tubuh Aurora lebih berisi dari pertama kali mereka bertemu. Wajar saja, karena Skala benar-benar membuat nafsu makan Aurora meningkat, apalagi di rumah ini dia tidak canggung lagi untuk memakan apapun dan juga ingin nambah nasi sebanyak-banyaknya. Tidak seperti di rumahnya dulu, dia bahkan tidak nafsu makan karena sikap keluarganya sendiri. Sedangkan saat di rumah mertuanya, Aurora enggan ingin makan banyak.
Skala berhasil membuat Aurora bebas. Meskipun agak sulit, karena Aurora adalah tipe orang yang tidak enakan. Awalnya canggung sekarang jadi tidak canggung lagi. Sepertinya Skala harus diberi penghargaan.
"Bagaimana les biola mu?" Skala bertanya tanpa menoleh ke arah Aurora. "Apa ada kendala?"
"Tidak ada. Teman-teman dan guru les nya baik denganku. Aku merasa nyaman. Ternyata begini rasanya punya teman yang peduli dengan kita." Aurora tersenyum tipis sambil menatap langit-langit ruangan.
Skala menoleh ke arah Aurora yang sedang senyum-senyum sendiri. Tanpa sadar dia ikut tersenyum, meskipun tidak terlalu kentara.
"Kalau ada sesuatu yang membuatmu tidak nyaman, katakan padaku," ucap Skala.
"Hu'um." Aurora mengangguk patuh.
Skala kembali melanjutkan pekerjaannya. Mereka asik dengan dunia sendiri. Skala sadar kalau dirinya terlalu sibuk, tapi untungnya Aurora tidak menuntut ini itu. Mungkin Aurora sudah terbiasa kesepian sejak dulu. Jadi dia tidak masalah kalau Skala sibuk bekerja. Lagi pula, ada duo kitten yang menemani Aurora.
Skala menghela nafas setelah menyelesaikan pekerjaannya. Dia melihat jam yang ada di atas meja. Sudah pukul sebelas malam. Pria itu beralih menatap Aurora. Seketika dia tersenyum melihat gadis itu. Aurora ketiduran di atas sofa. Skala selalu merasa gemas ketika melihat Aurora tidur pulas seperti ini. Pipi tembam dengan mulut yang sedikit terbuka, membuat Aurora menggemaskan.
"Cute." Pria itu mencolek pipi tembam Aurora lalu terkekeh geli. Setelahnya dia menggendong istrinya menuju kamar.
"Oh my kitten," gumamnya seraya memandang Aurora yang terlelap dalam gendongan nya.
****
"Ibu?"
Aurora meneguk kasar ludahnya. Dia tidak menyangka kalau Ayuni datang ke rumahnya dan Skala. Bagaimana ibunya bisa tau?
"Boleh Ibu masuk?" tanya Ayuni.
Aurora juga bingung kenapa wajah Ayuni terlihat lebih bersahabat dari biasanya.
"Iya, boleh." Aurora mempersilakan ibunya untuk masuk ke dalam.
"Maliqa tidak ikut?" tanya Aurora. Kebetulan hari ini hari libur.
"Tidak." Ayuni berdehem sebelum melanjutkan ucapannya. "Ibu tidak ingin basa-basi, Rora."
Kening Aurora mengerut. "Ada apa, Bu? Ibu dan Ayah baik-baik saja, kan?" Dia khawatir.
Ayuni mengangguk. "Kami baik-baik saja. Tapi, restoran sedang tidak baik-baik saja, Rora. Akhir-akhir ini restoran sepi pengunjung. Ayahmu terus saja menyuruh Ibu untuk diam. Tapi, Ibu tidak bisa. Apa kamu mau membantu Ibu? Kamu tau sendiri kalau restoran itu adalah satu-satunya sumber penghasilan keluarga kita. Kamu sayang kami kan, Nak?" Ayuni memegang kedua tangan Aurora.
Aurora terdiam. Baiklah, dia tau kenapa wajah ibunya terlihat bersahabat hari ini.
"Rora harus bantu apa?" tanya Aurora ragu.
Ayuni tersenyum lebar, inilah yang dia inginkan. "Tidak banyak, bisakah kamu meminjamkan Ibu uang untuk mengembangkan restoran kita? Suamimu adalah orang kaya, jadi kamu..."
"Tidak!" Aurora langsung menarik tangannya. Dia menggeleng tegas. "Tidak, Ibu. Aku tidak bisa, maaf. Lebih baik Ibu minta tolong orang lain saja." Mata Aurora bergerak liar menghindari tatapan ibunya. Nafasnya memburu karena kecewa, sedih dan marah.
"Aurora! Kami ini keluargamu!"
"Sejak kapan kalian menganggap aku keluarga?!" Aurora berdiri dan menatap marah Ayuni. "Sejak dulu, apakah kalian pernah memperlakukan aku seperti keluarga, Bu?! Membersihkan rumah, halaman, masak untuk kalian, memakan makanan sisa, apa itu yang disebut keluarga?"
"Bahkan kalian menjadikan aku alat untuk membayar utang kalian! Dan sekarang ... Ibu datang untuk meminta bantuan padaku?" imbuhnya. Matanya menatap kecewa pada Ayuni.
"Kamu mulai berani membantah Ibu?! Siapa yang mengajarkan kamu bersikap tidak sopan seperti ini Aurora?!" Mata Ayuni melotot tajam.
"KALIAN! KALIAN YANG MEMBUATKU SEPERTI INI!"
Ayuni tersentak mendengar teriakan Aurora. Demi apapun, dia baru mendengar Aurora berteriak marah padanya. Apa yang terjadi pada putrinya ini? Kenapa jadi tidak sopan?
"Ibu ... aku sudah mulai berdamai dengan keadaan. Tapi, kenapa Ibu malah datang ke sini? Aku bukan keluargamu sejak dulu. Kalian tidak pernah memperlakukan aku dengan baik...," lirih Aurora. Dia terduduk lemah dengan kepala menunduk.
"Jangan datang jika butuh. Aku juga ingin merasakan apa yang Maliqa rasakan, Ibu ... aku bukan orang lain, aku juga anak kalian..."
Ayuni menggeleng pelan. Dia tak menyangka akan melihat sisi lain Aurora. "Ibu tidak menyangka kamu akan seperti ini, Rora. Semenjak menikah dengan pria kaya itu, kamu jadi semena-mena dengan kami!" Dia berdiri dan masih terus menatap Aurora. "Baiklah jika itu yang kamu mau. Ibu tidak akan pernah menginjakkan kaki ke rumah ini lagi! Dasar anak durhaka!"
Setelah mengatakan itu, Ayuni berjalan cepat menuju pintu keluar. Sedangkan Aurora sama sekali tidak bergerak. Dia hanya menunduk menahan tangis. Tidak, ia tidak akan menangisi keluarga itu lagi.
"Kalian yang membuatku seperti ini...," lirihnya.
Aurora menghela nafas kasar. Dia mendongak untuk menghalau air mata yang hendak mengalir.
"Jangan menangis, Rora. Skala tidak suka perempuan lemah!"
Seorang pelayan datang dengan langkah pelan nan ragu. "Nona, minumlah air agar sedikit tenang."
Aurora menoleh. Dia tersenyum tipis lalu mengambil segelas air di nampan dan meneguk nya hingga tandas. "Terimakasih."
Pelayan itu menunduk sembari tersenyum. Setelahnya dia pergi menuju dapur, membiarkan sang nona menenangkan diri. Ini kedua kalinya dia melihat Aurora marah, dan kali ini lebih parah dari yang kemarin. Apakah selanjutnya Aurora akan lebih marah lagi?
Marahnya seorang gadis lugu memang menyeramkan, ya. Mungkin karena Aurora terlalu sering disakiti?
bersambung...
lanjuuuut