Series #1
•••Lanjutan dari novel TAWANAN PRIA PSIKOPAT (Season 1 & 2)•••
Universidad Autonoma de Madrid (UAM) menjadi tempat di mana kehidupan Maula seketika berubah drastis. Ia datang ke Spanyol untuk pendidikan namun takdir justru membawa dirinya pada hubungan rumit yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya.
Rayden Salvatore, terus berjuang untuk menjaga gadis kecilnya itu dari semua yang membahayakan. Sayangnya dia selalu kecolongan sehingga Rayden tidak diizinkan oleh ayah Maula untuk mendekati anaknya lagi.
Maula bertahan dengan dirinya, sedangkan Rayden berjuang demi cintanya. Apa keduanya mampu untuk bersatu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32 : Khawatir
...•••Selamat Membaca•••...
“Tolonglah, sampai nanti pernikahan Archer. Aku akan segera ke sana, kau urus saja semua, hanya tinggal satu bulan setengah lagi.” Rayden memohon agar Advait mau menunggu dia.
“Jangan gila kau Ray, kita di sini membutuhkanmu. Kau tidak bisa selama itu di Spanyol.” Advait terus memaksa Rayden untuk segera kembali ke New York melalui panggilan tersebut.
“Begini saja, aku akan ke sana sebulan lagi, bagaimana?”
“Oke, jangan sampai kau perpanjang lagi liburan dengan kekasihmu itu.” Rayden terkekeh kecil lalu memutuskan sambungan. Dia kembali menyeruput minumannya lalu menatap Maula.
“Kenapa?” tanya Maula yang sedang menikmati cemilannya, mereka sekarang sedang menonton televisi di ruang nonton.
“Organisasi membutuhkan aku.” Maula menghela napasnya.
“Entah aku menyesal atau bagaimana, aku terasa kehilangan banyak waktumu sekarang.” Rayden tersenyum lalu mengacak pelan rambut Maula.
“Ini resiko pekerjaan, santai saja, aku akan bagi waktu sebisa mungkin untukmu.”
“Ya ya... asal dengan pekerjaan aku tidak masalah, tapi kalau kau bagi dengan wanita lain... aku akan bunuh dia.” Rayden mencubit dengan gemas ujung hidung Maula.
Kesibukan Maula selama Rayden berada di Spanyol tidak menjadi beban untuknya, dia bahkan lebih semangat lagi kuliah dan praktek. Rayden selalu menemani dia di kala lelah, begitu pun sebaliknya.
Tiba saatnya Rayden harus kembali ke New York, dia sudah berjanji dengan Maula untuk menghadiri pesta pernikahan Archer dengan Vanessa di Rusia.
Baru di bandara, Rayden sudah disambut dengan tonjokan ringan oleh Advait dan Liam. Mereka kesal karena harus sibuk dengan organisasi sementara Rayden meninggalkan mereka untuk liburan.
“Kami di sini sudah seperti anak yatim yang ditinggal oleh ayah mereka,” ujar Liam kesal.
“Maaf, aku benar-benar merindukan kekasihku. Sudahlah, nanti malam lebih baik kita ke klub dan minum bersama, hitung-hitung untuk menebus kesalahanmu.” Advait dan Liam tersenyum senang, semenjak Rayden pergi, mereka tidak memiliki waktu untuk bersenang-senang.
“Boleh juga,” sahut Advait.
Malam turun dengan cepat, tapi tak ada yang namanya kesunyian di New York. Justru manusia lebih banyak terlihat ketimbang di siang hari. Banyak dari mereka yang menuju ke lokasi malam yang aesthetic. Rayden, Advait, Liam, dan Ruess, salah seorang pemimpin markas besar Vindex di Los Angeles, sampai di klub ternama di New York.
Mereka memesan tempat terbaik untuk bersenang-senang malam ini, tak lupa beberapa wanita bayaran. Rayden sendiri tak tertarik dengan semua itu, dia lebih memilih minum di bar dengan beberapa botol di depannya.
New York City menari dalam ritme liar, seolah malam tak mengenal lelah. Di tengah pusat Manhattan, sebuah klub malam mewah bernama Velvet Sanctum menenggelamkan siapa pun dalam lautan lampu neon, dentuman bass, dan aroma mahal dari parfum serta dosa.
Di sofa VIP yang dikelilingi kaca kristal dan pelayan pribadi, duduk empat pria dengan aura yang tak bisa disangkal.
Advait, dengan rambut hitam legam dan senyum menyimpang, telah memeluk seorang wanita pirang di pangkuannya. Jemarinya memutar rambut itu, bibirnya membisikkan kata-kata beracun yang membuat sang wanita tertawa renyah, padahal ia tak tahu ia sedang dibakar hidup-hidup.
Liam, flamboyan dan suka pamer, sudah berdansa di lantai bersama dua gadis model yang menempel seperti magnet. Tangan kirinya menggenggam pinggang, tangan kanannya menyalakan cerutu Kuba dengan santai. “This city never sleeps, baby,” katanya seraya mencium leher wanita itu.
Ruess, sang intelektual yang sering disalahartikan, duduk dengan kaki disilangkan, satu tangan memegang gelas martini, tangan lain memainkan poker chip meski tidak ada meja judi. Di sampingnya, seorang wanita Asia berbaju merah, mendengarkan kisah tentang seni barok yang entah mengapa terdengar seksi di mulutnya. “Dan lukisan itu menggambarkan penderitaan... seperti kamu, mungkin, yang tak bisa berhenti menatapku.”
Namun Rayden—duduk terpisah di ujung ruangan, punggung membelakangi pesta dan tidak tersentuh oleh euforia palsu itu. Di tangannya hanya ada gelas bourbon, dan di hadapannya hanya refleksi bayang-bayangnya sendiri di kaca bar yang buram.
Lampu kelap-kelip di wajahnya, tapi sorot matanya tetap teduh, hampir muram. Seorang pelayan wanita mencoba mendekat, namun tatapan datar Rayden cukup membuatnya mundur dengan sopan.
“Kau benar-benar tidak mau?” tanya Advait, sempat menoleh dengan tangan penuh lipstik. “Kota ini punya segalanya, Ray.”
Rayden menyesap minumannya pelan, lidahnya mengecap pahit bourbon yang menempel di tenggorokan. “Kau tahu aku tidak main dengan apa yang bisa dibeli dengan uang.”
Liam tertawa, menggenggam rambut salah satu wanita. “Tapi kadang, yang bisa dibeli justru lebih jujur.”
“Gadisku jauh lebih jujur dari semua ini, kalian bersenang-senanglah. Aku hanya ingin menikmati malam dengan minuman ini.” Rayden mengangkat gelas minumannya.
“Terserah kau saja.”
Rayden tidak menjawab. Sorot matanya malah menatap lampu kristal yang tergantung di langit-langit, seperti sedang mengukur sesuatu atau seseorang. Ia bukan pria yang butuh pengalihan. Ia pria yang tahu bahwa di balik pesta, ada informasi. Di balik suara tawa, ada konspirasi. Dan malam ini, ia mendengar bisikannya.
Sementara tiga temannya menari dengan api, Rayden tetap duduk tenang, minumannya tak pernah benar-benar habis. Di balik musik dan wanita, dia mendengar sesuatu yang lebih penting yaitu nama Riccardo disebut di pojok ruangan, pelan, oleh pria mabuk berjubah kulit.
Dan itulah satu-satunya hal yang mampu membuat Rayden benar-benar berdiri.
“Sayang sekali bukan, kini tunangan Riccardo sedang mendalami informasi mengenai Rayden Salvatore. Dia akan menargetkan Maula Maximillian dalam pembalasan ini, kita akan lihat, siapa yang tangguh.” Kemudian suara tawa menggelegar dari mulut bau alkohol mereka.
Rayden mengambil sendok dan mengangkatnya, melihat siapa yang berbicara di belakang. Rayden langsung menghubungi Maula namun tidak diangkat oleh gadis itu, mungkin masih tidur. Sekarang jam 10 malam di New York, otomatis di Madrid pukul 4 pagi.
Rayden : [Balas pesanku jika kau baik-baik saja, Piccola.]
Rayden tak puas dengan hal itu, dia menghubungi anak buahnya yang sengaja dia suruh menjaga Maula di kejauhan.
“Dia masih di dalam rumah sakit, Bos. Tidak ada yang mencurigakan di sana.” lapor anak buah Rayden.
“Tetap jaga dia, jangan ada celah bagi siapa pun untuk mengusiknya.”
“Baik bos.”
Panggilan terputus, Rayden masih belum lega kalau belum mendengar suara Maula. Gadis itu sedang berada di rumah sakit sekarang dan belum pulang.
Dia mempertajam pendengaran ketika dua orang mabuk itu kembali menyebut nama Maula.
“Kita dengar saja, Maula akan mati mengenaskan seperti Riccardo.” Rayden mengepalkan tangannya, ingin menghabisi mereka tapi tidak dia lakukan karena Rayden masih sibuk memikirkan Maula.
...•••Bersambung•••...