MAAFKAN AKU, AYAH

.

Jantung Bayu bagai dihantam batu besar. Ia terkejut bukan main mendengar jawaban Pak Hasan. Jadi, yang dimaksud orang itu tadi memang Ahmad ayahnya? Tapi kenapa pak Hasan membenci ayahnya? Ada masalah apa di antara pak Hasan dan ayahnya?

Bayu berniat mendekat, tetapi…

“Ahmad, Aku membenci orang itu seumur hidupku. ” Suara Pak Hasan terdengar berang. “Atas dasar apa, aku lebih kaya dari Ahmad, tapi kenapa Aisyah menolak lamaranku dan malah memilih Ahmad yang mukanya sok baik itu?”

“Bukannya sejak awal, Aisyah memang pacarnya Ahmad?" ” timpal suara lain yang Bayu tidak kenal.

Tawa sinis keluar dari mulut Pak Hasan. “Memang. Tapi seharusnya Ahmad itu mau mengalah padaku. Dia itu punya apa sampai bisa-bisanya melamar Aisyah? Jelas-jelas aku yang dari keluarga kaya lebih cocok untuk Aisyah daripada dia yang kere! Dan Karena dia sudah merebut Aisyah dariku, maka aku akan merebut segalanya dari dia!”

“Terus, apa hubungannya dengan Bayu?” tanya teman Pak Hasan.

Pak Hasan tertawa terbahak-bahak. “Bayu itu harta paling berharga yang dimiliki Ahmad. Kalau aku hancurkan Bayu, sama saja aku menghancurkan Ahmad. Apalagi Bayu itu bodohnya minta ampun! Cuma dikasih uang sedikit saja sudah mau nurut sama aku. Rela banting tulang bantu aku ngusung gabah. Padahal kalau aku bayar orang lain, upahnya bisa dua kali lipat!”

“Wah, wah, wah… keterlaluan sekali kamu ini, Hasan!” teman Pak Hasan ikut tertawa.

Bayu yang mendengar itu merasakan dadanya bagai dihantam batu besar. Air matanya jatuh berderai. Penyesalan mendalam muncul. Selama ini ia begitu membenci ayahnya dan lebih berpihak pada Pak Hasan. Ia selalu menganggap Pak Hasan sebagai orang baik yang selalu membantunya, tapi ternyata…

Bayu mundur selangkah, menyandarkan tubuhnya pada tembok, menjaga agar tubuhnya tidak terjatuh. air matanya menetes perlahan. "tidak," ucapnya pelan. "itu tidak benar, kan? kenapa bisa jadi seperti ini? kenapa orang yang paling percayai ternyata adalah orang yang ingin menghancurkan hubungan antara aku dan orang tua ku?

Belum selesai rasa terkejut dan sakitnya dada Bayu, ia kembali mendengar ucapan Pak Hasan pada temannya.

“Tapi aku salut sama kamu, Hasan. Walaupun benci sama Ahmad, kamu masih mau bersusah payah mengantar Bayu ke Puskesmas. Ternyata kamu masih punya sedikit kebaikan hati,” ucap teman Pak Hasan.

Bagaikan gunung Merapi yang menyedot kembali laharnya. Bayu juga berpikir sama. Pak Hasan masih memiliki rasa kemanusiaan. Rasa kecewa terhadap pak Hasan seketika berkurang. Hingga…

Suara Pak Hasan yang tertawa terbahak-bahak membelah keheningan malam yang sunyi.

“Baik hati apanya? Aku cuma mengantar saja. Ya, memang sih, sedikit rugi bensin. Tapi aku malas mengeluarkan biaya apapun. Aku bilang saja ke petugas Puskesmas kalau dia itu tetanggaku, anak terlantar. Ayah dan ibunya entah ke mana. Jadi, biar mereka yang urus semuanya. Bahkan untuk makan anak itu pun, aku ogah untuk mengeluarkan uang membeli makanan di luar. Biar saja dia makan jatah daripada Puskesmas.”

Deg! Jantung Bayu terasa berhenti berdetak. Ia merasa seperti tersambar petir mendengar kata-kata Pak Hasan. Jadi, selama ini Pak Hasan hanya berpura-pura baik padanya?

Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Bayu. Ia merasa begitu hina dan tidak berharga. Ia merasa seperti sampah.

Bayu menggelengkan kepala berkali-kali. Apa yang baru saja dia benar-benar membuatnya syok. Bayu menegakkan tubuhnya perlahan ingin dia berlalu dari tempat itu agar tak lagi mendengar sesuatu yang buruk. Namun baru saja dia hendak melangkah …

“Oh ya, kamu tahu Rio, kan? Keponakanku yang sering nongkrong di warung kopi itu?”

Suara Pak Hasan kembali terdengar. Kenapa nama Rio disebut? Apa hubungannya dengan dirinya? Bayu menghentikan langkahnya ingin mendengar lebih jauh.

“Rio? Keponakanmu yang berandalan itu?” jawab temannya.

“Benar sekali! Dialah yang kuberi tugas untuk menjebak Bayu agar terjerumus ke dalam minuman keras dan narkoba. Dan anak bodoh itu dengan mudahnya terpengaruh oleh Rio dan teman-temannya. Hahaha…”

Dada Bayu semakin sakit mendengar kenyataan itu. Jadi, selama ini Rio hanya berpura-pura menjadi temannya? Semuanya hanya bagian dari rencana jahat Pak Hasan?

Bayu tidak sanggup lagi mendengar lebih banyak. Ia membalikkan tubuhnya dan berjalan pelan meninggalkan tempat itu. Air matanya semakin deras membasahi pipinya. Ia merasa begitu bodoh, naif, dan terhina. Ia telah ditipu mentah-mentah oleh orang yang selama ini ia percayai dan ia kagumi.

“Ayah…” lirih Bayu dalam hatinya. “Maafkan aku…”

Ia berjalan tertatih, tidak peduli dengan rasa sakit yang menyerang tubuhnya. Ia ingin segera menjauh dari tempat itu, menjauh dari kenyataan yang begitu pahit dan menyakitkan.

Namun, sekeras apapun ia mencoba melarikan diri, kenyataan tetaplah kenyataan. Ia yang baru menyadari betapa bodoh dirinya.

Setibanya di kamar, Bayu langsung merebahkan diri di ranjangnya. Beberapa orang yang merupakan anggota pasien yang kebetulan terjaga menoleh ke arahnya dengan tatapan heran, tapi dia tak peduli. Ia memeluk guling erat-erat, mencoba menahan tangisnya. Namun, air mata tetap saja mengalir deras membasahi bantalnya.

"Kenapa... kenapa semua ini harus terjadi padaku?" isaknya dalam hati.

Ia teringat kembali semua kebaikan Pak Hasan yang selama ini ia terima. Pak Hasan yang selalu mendukung apapun yang dia lakukan, dan mengatakan bahwa apapun yang selama ini dia lakukan adalah wajar.

Ternyata karena Pak Hasan ingin menjauhkan dirinya dari ayahnya. Semua sikap baik Pak Hasan selama ini hanyalah kepalsuan belaka. Pak Hasan menyimpan niat jahat dan dendam yang begitu mendalam kepada ayahnya. Bayu merasa jijik pada dirinya sendiri.

"Ayah... maafkan aku," rintih Bayu di tengah tangisnya. "Maafkan aku karena sudah menjadi anak yang durhaka. Maafkan aku karena sudah membencimu tanpa alasan. "Aku janji, aku akan berubah. Aku akan menjadi anak yang baik."

Di tengah keputusasaan dan penyesalan yang mendalam, Bayu bertekad untuk memperbaiki semuanya. Ia akan membuktikan kepada ayahnya bahwa ia bisa menjadi anak yang bisa dibanggakan oleh ayahnya. Ia akan membuang semua sikap buruknya yang dulu.

"Aku harus kuat," bisiknya pada dirinya sendiri. "Aku harus segera sembuh agar bisa cepat keluar dari sini. Ayah, tunggu aku datang!"