Tumbuh dewasa di bawah asuhan sebuah panti sosial, membuat Vanila berinisiatif untuk pergi keluar kota. Dengan bekal secarik kertas pengumuman lowongan kerja di salah satu usaha, yang bergerak di bidang cuci & gosok (Laundry).
Nahas, biaya di Kota yang cukup tinggi. Membuat Vanila mencari peruntungan di bidang lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anggika15, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 29 (Konflik pelik)
“Si Vanila kerja sama itu emang?”
Ci Mey menatap tajam seorang pria yang baru saja mengantarkan pakaian kotor ke laundry nya. Sementara Fuji yang tengah memasukan pakaian kedalam mesin tidak langsung menjawab, hanya melirik sebentar lalu kembali pada pekerjaannya.
“Fuji!”
“Iya ci?” Sahutnya tanpa menoleh.
“Gue ngomong sama lu orang!”
Fuji menutup door cock, menekan beberapa tombol hingga mesin itu berputar dan menimbulkan bunyi dengung.
“Ya betah kali, ci. Makanya diem diem aja tu anak,” kata Fuji.
Jawaban yang tidak membuat Mey merasa puas.
“Dia beneran jadi pembantu atau simpanan gadun?”
“Kalo jadi simpenan udah bolak-balik kesini ga sih, pamer sekalian hambur-hambur duit?” Fuji menatap majikannya dengan ekspresi sedikit kesal.
“Tapi jadi pembantu itu lebih capek tau, segala di pegang. Ga cuma nyuci baju sama setrika, nyapu, pel sama lain-lain!”
Raut wajah Mey terlihat menyimpan banyak kecurigaan.
“Vanila tuh bukan tipikal anak yang gampang ngeluh, ci. Capek dikit mah dia tahan, cuman masalahnya kalo disini jangankan buat wesel. Buat diri dia aja susah, … di kerjaan sekarang dia enak kayaknya. Ga perlu bayar kos, ga perlu beli makan sama yang lebih penting duit dia utuh.”
“Lu nyindir gue ya, Ji!?”
“Lah, kita lagi ngobrol ini. Bisa-bisanya ci Mey mikir saya lagi nyindir,” Fuji memekik.
“Ih udah lah, kerja ada lu yang bener jangan banyak ngomong.”
Fuji tertegun, dia terdiam seraya menatap kepergian bosnya itu sambil berbisik;
“Yang ngajak ngomong melulu saha ege?”
Sementara itu di rumah besar dengan arsitektur modern nan mewah.
Meja makan sudah dipenuhi berbagai macam hidangan makan siang, bersama para penghuni yang sudah berkumpul disana termasuk Sabrina.
“Mama membuat pie daging lagi?” Tanya Sabrina saat perempuan itu melihat ke arah sebuah piring bundar besar terletak di tengah-tengah meja.
“Ya,” seorang wanita paruh baya menjawab dengan seulas senyuman yang terlihat.
“Untuk apa? Membuang-buang makanan saja!”
“Kita tidak tahu kapan Edgar akan datang, siapa tahu hari ini!”
“Mustahil,” kata Sabrina sambil melahap makan siangnya.
Wanita paruh baya itu langsung diam, semangat yang selalu tumbuh tiba-tiba hilang ketika mendengar penuturan putri keduanya.
Sabrina tidak salah karena kenyataannya memang begitu, Edgar tidak akan pernah mau datang apalagi dengan keberadaan suaminya baru ibunya disana.
“Makan saja, tidak perlu memikirkan yang tidak pasti.”
Seperti biasa, Sabrina selalu terlihat lebih tangguh walaupun pada kenyataannya keretakan keluarga mereka membuat Sabrina sempat terpuruk juga.
“Tidak maukah kamu membujuk Edgar supaya dia mau kembali. Tidak perlu tinggal, hanya berkunjung saja?”
Sabrina menatap ibunya dengan sorot mata yang menyiratkan banyak rasa kecewa. Nafsu makan yang tadinya terasa, tiba-tiba saja mendadak hilang. Apalagi saat melihat sang ibu terus berusaha memohon sementara suaminya diam seolah tidak mau tahu apa-apa.
“Sabrina untuk kali ini saja mama…”
“Edgar orang dewasa, mam. Dia sudah punya kehendak sendiri!”
“Mama tau.”
“Lantas?”
“Mama cuma rindu.”
“Datangi saja rumahnya, kenapa repot sekali? Jangan egois yang selalu ingin di hargai tapi mama sendiri tidak pernah menghargai dia,” celetuk Sabrina.
“Tentu saja mama menghargai Edgar, kenapa kamu bicara begitu?”
“Oh ya? Aku rasa mama tidak pernah menghargai kami. Mama tidak pernah memikirkan diri kami, mama cuma memikirkan bagaimana mama.”
“Ini meja makan, sebaiknya—”
Belum selesai pria itu bicara, Sabrina segera berdiri dan meninggalkan meja makan tanpa menghabiskan makan siangnya lebih dulu.
Rumah yang seharusnya menjadi tempat ternyaman, kini berubah menjadi sesuatu yang sangat mengerikan sampai-sampai Sabrina tidak betah ada di dalam sana.
***
Setelah berkeliling-keliling kota, akhirnya Vanila dan Edgar kembali dengan membawa belanjaan yang cukup banyak.
Stok sayuran dan bahan makanan yang tentu saja Vanila pilih sendiri. Itu lebih baik, daripada dirinya harus repot-repot mengantar Vanila keluar bermacet-macetan hanya untuk seporsi nasi.
Kulkas yang biasanya hanya diisi buah, susu, air, macam-macam daging juga makanan beku. Kini tampak terlihat sangat berbeda dengan keberadaan cabe, bawang dan berbagai macam sayuran.
Jangan lupa tempe, tahu juga macam-macam ikan asin.
Dengan telaten Vanila menyusun setiap kelompok dengan rapi, sementara Edgar memperhatikan dari belakang sambil melipat kedua tangan di dada.
Lagi, keterampilan mengurus sesuatu membuat Edgar merasa kagum, dia benar-benar senang kini setiap sudut rumahnya terasa lebih hidup. Sangat baik dibandingkan jika hanya dijadikan tempat singgah wanita-wanita teman tidurnya.
Edgar maju dan mendekat.
“Saya masih beres-beres, jangan ganggu dulu!” Kata Vanila saat tiba-tiba saja Edgar memeluk dari belakang.
Postur tubuh yang lain dari kebanyakan pria, membuat Vanila merasa berat di bagian pundak padahal hanya kepalanya saja yang bertopang disana.
“Jangan protes, kamu sudah membuat hari libur saya terganggu dengan keinginan aneh itu.”
“Saya cuma mau makan, apa menurut bapak itu aneh?”
“Makan tinggal makan, banyak sekali aturan!” Celetuk Edgar.
“Saya orang Indonesia, belum makan kalau tidak pake nasi.”
“Walaupun kamu sudah makan mie atau apapun itu?”
Vanila mengangguk.
“Mie pake nasi kadang,” Vanila berbicara jujur.
Namun, hal itu membuat Edgar merasa sangat terkejut sampai ia melepaskan pelukannya dari Vanila.
“Karbo kamu tambah karbo?”
Vanila mengedikkan bajunya, apa yang aneh? Cuma mie pake nasi ‘kan? Bukan mie pake pasir, kenapa Edgar terlihat begitu terkejut.
“Tapi kenapa kamu tidak gemuk, ya? Sabrina bahkan sangat menjaga makan agar tubuh dia tetap terlihat ramping.”
“Sabrina?”
“Ya, adik saya.”
“Yang semalam?”
Edgar mengangguk.
“Pantes cantik, kayak model. Makannya dijaga!”
Vanila menutup kedua pintu kulkas di hadapannya, membawa kantong belanja yang lain dan beralih membuka laci penyimpanan.
Apakah Edgar diam? Tentu saja tidak. Dia tetap menguntit Vanila, mendekatinya dan memeluk perempuan itu kembali.
“Sudahlah, simpan dulu!” Pinta Edgar.
“Tanggung, pak! Sedikit lagi,” sahut Vanila.
“Ayolah, Van. Temani saya!”
“Kemana?” Tanya Vanila seraya menata serbuk-serbuk minuman, seperti kopi hitam dan matcha.
“Kamar saya,” Edgar berbisik tepat di daun telinga Vanila.
Membuat perempuan itu mengedikkan bahu karena merasa geli.
“Ngapain di kamar? Rumah seluas ini kenapa harus di kamar kalau cuma ingin menghabiskan waktu bersama.”
“Sudah sejauh ini masih saja tidak mengerti?”
Edgar semakin merapatkan diri, mengecup basah tengkuk Vanila sampai perempuan itu tertawa.
“Saya bukan bapak yang otaknya di penuhi oleh hal-hal gila seperti itu!”
“Kamu pikir ini gila!?”
Edgar mencengkram tangan Vanila, kemudian dia menariknya sampai berputar dan saling berhadapan. Senyum masih terlihat di kedua sudut bibir Vanila, sementara Edgar merasa sangat gemas dengan tingkahnya yang mulai berani.
“Gila. Bapak bikin saya gila karena mulai memikirkan sesuatu yang bahkan tidak pernah ada dalam bayangan saya.”
Edgar menunduk sampai keningnya menyentuh kening Vanila.
“Pak ih, nanti kalau tiba-tiba pak Irgi masuk gimana?”
Tangan mungil Vanila mendorong dada Edgar, tetapi pria itu tak bergerak sama sekali. Malah sebaliknya, Edgar mengangkat Vanila dan mendudukan perempuan itu di atas meja dapur berbahan dasar marmer.
“Tidak akan, dia sibuk dengan kekasihnya!”
“Pak Irgi punya pacar? Saya kira sudah menikah dan punya anak.”
“Apa kamu melihat mereka disini? Tentu saja dia seorang pria bebas yang bisa menjalin hubungan dengan siapapun,” tutur Edgar.
“Siapa tahu di tinggal di kampung.”
Edgar mengangguk.
“Memang, mantan istri dan anak-anaknya berada di kampung.”
Vanila diak sebentar, menatap manik biru Edgar dari jarak yang sangat dekat. Oh tiba-tiba saja dada Vanila berdetak lebih kencang, pesona pria itu memang tidak bisa diabaikan.
‘Jangan Vanila, dia suka gonta-ganti perempuan!’
‘Tapi sepertinya tidak untuk sekarang, dia menyukaiku!’
‘Jangan coba-coba terjun ke jurang yang kamu sendiri tidak tahu ada apa di dalamnya.’
‘Buktinya dia baik sekarang?’
Otak dan hatinya berdebat ketika Vanila mulai terbawa suasana. Dia mulai menyukai Edgar, terpancing akan ketampanannya.
“Van sepertinya saya mulai menyukai kamu,” bisik Edgar sambil sedikit mendorong kening Vanila agar ia dapat meraih bibirnya.
Cup…
Vanila hanya pasrah ketika Edgar mengecup bibirnya, melingkarkan satu tangan di pundak untuk berpegangan. Sementara satu tangan Vanila bertumpu di atas meja marmer untuk menahan agar tidak terjatuh, karena Edgar terus mendorongnya saat memperdalam ciuman.
Suara decapan mulai terdengar, tangan Edgar mulai bergerak mengusap paha dan terus ke atas hingga dia mampu mencengkram pinggang ramping milik Vanila.
“ASTAGA!”
Edgar dan Vanila seketika menarik diri sampai cumbuan keduanya berhenti, dan menoleh ke arah suara terdengar.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Oi siapa itu😜
maaf baru sempet update, jangan lupa like komen dan vote. Alapyu
ternyata harus nunggu up lagi 😁😍
kicep tuh si om om 😁😍
atau vanila sengaja ya biar cepat ditalak🤔