Sepenggal kisah nyata yang dibumbui agar semakin menarik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ummushaffiyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1 — Rumah yang Tidak Pernah Benar-Benar Menjadi Rumah
Bismillah, kenalan dulu ya sebentar.
Zahwa istri yang cantik, tenang,bijak , pandai mengelola uang ,pandai juga mencari uang tambahan untuk keluarga dan tidak pernah protes. Selalu sabar dan selalu. Tiada hari tanpa sabar.
Farhan , suami dari Zahwa , agak pemalas,manja, menomor satukan ibunya dan kakaknya. Pemarah tapi tetap sayang Zahwa.
Bu Nina : ibu Farhan, baik boros dan selalu meminta uang ke Zahwa untuk sehari-hari. Padahal Farhan selalu memberikan uang untuk ibunya.
Rita : kakak Farhan, punya penyakit skizofrenia. Selalu iri dan cemburu dengan Zahwa. Apapun yang Zahwa lakukan , salah Dimata Rita.
...
Angin sore menyapu lembut tirai tipis di ruang tengah rumah kecil itu, sementara aroma dapur yang sederhana menyatu dengan suara-suara ringan dari penghuni di dalamnya. Di antara semua kesunyian yang merayap, Zahwa berdiri dengan wajah tenang, tenang yang sering disalahartikan sebagai tanda bahwa ia baik-baik saja.
Zahwa, perempuan berparas lembut dengan sorot mata yang selalu teduh, sudah terbiasa mengatur rumah ini seolah ia adalah penopang satu-satunya. Ia pandai mengelola uang, bekerja sampingan diam-diam agar rumah tetap berjalan, dan menunaikan semua kewajiban tanpa pernah meminta balasan. Meski begitu, keberadaannya sering terasa seperti bayangan, ada, tapi tak dianggap.
Hari itu, seperti biasanya, suara Bu Nina memecah keheningan.
“Zahwa, nanti tolong beliin gula, sabun, sama kopi ya. Uang Ibu udah habis lagi,” katanya sambil duduk santai di sofa, remote TV di tangan, tanpa sedikit pun rasa bersalah.
Zahwa tersenyum halus. “Iya, Bu. Nanti saya belikan.”
Ia tahu, uang itu akan diambil dari sisa tabungan kecilnya, tabungan yang harusnya digunakan untuk kebutuhan dirinya dan Farhan. Tapi Zahwa sudah terbiasa. Bu Nina memang baik, tapi sifat borosnya membuat rumah itu selalu terasa seperti sumur tak berujung yang menguras tenaga Zahwa.
Dari kamar sebelah terdengar suara lain.
“Zahwaaa, ini baju aku mana?! Jangan bilang kamu salah naruh lagi!” Rita berteriak sambil membanting pintu.
Sosok perempuan itu muncul dengan rambut acak-acakan, mata penuh kecemburuan, dan bibir yang selalu siap melontarkan keluhan. Rita, kakak Farhan, hidup dengan penyakit yang membuat emosinya tak stabil. Tapi meski Zahwa tahu Rita sakit, tetap saja sulit menerima tatapan iri yang selalu dilayangkan kepadanya, seolah Zahwa telah merebut sesuatu yang tak pernah jadi miliknya.
“Saya taruh di lemari, Kak. Bagian kiri,” jawab Zahwa lembut.
Rita melirik tajam, lalu berbalik dengan dengusan kesal. Seperti biasa, Zahwa hanya menunduk. Kesabarannya seolah tidak ada batas.
Tak lama kemudian, langkah berat terdengar dari depan. Farhan pulang.
Ia menjatuhkan tasnya ke kursi, menghela napas panjang, lalu langsung menuju kamar tanpa banyak bicara. Farhan memang manja dan cepat marah, tetapi ada kalanya ia manis, membuat Zahwa percaya bahwa cintanya masih ada, meski sering tenggelam di bawah bayang-bayang ibunya dan Rita.
“Han,” sapa Zahwa hati-hati. “Mau makan dulu?”
Farhan hanya mengangguk kecil tanpa menoleh. “Nanti.”
Zahwa diam. Seperti biasa, ia tidak menuntut apa-apa.
Dan di antara riuh rendah keluarga yang bukan berasal dari rahimnya, Zahwa berdiri sendirian, terlihat kuat, padahal hatinya berkali-kali robek.
Tapi ia tetap bertahan.
Karena setiap orang punya alasan untuk diam,
dan Zahwa masih belum menemukan alasan untuk pergi.
Belum.
***
boleh like dulu ya kak. Atau komentar buat bikin aku semangat hehe.. Selamat membaca bab berikutnya.. Jangan lupa bahagia ya pemirsahh..