Mampukah janda muda menahan diri saat godaan datang dari pria yang paling tabu? Setelah kepergian suaminya, Ayana (26) berjuang membesarkan anaknya sendirian. Takdir membawanya bekerja di perusahaan milik keluarga suaminya. Di sana, pesona Arfan (38), paman direktur yang berkarisma, mulai menggoyahkan hatinya. Arfan, duda mapan dengan masa lalu kelam, melihat Ayana bukan hanya sebagai menantu mendiang kakaknya, melainkan wanita memikat yang membangkitkan gairah terpendam. Di antara tatapan curiga dan bisikan sumbang keluarga, mereka terjerat dalam tarik-ulur cinta terlarang. Bagaimana Ayana akan memilih antara kesetiaan pada masa lalu dan gairah yang tak terbendung, di tengah tuntutan etika yang menguji batas?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bangjoe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 28: Jebakan Tak Terelakkan
“Ayana...” suara Arfan tercekat. “Rencana kita... mereka sudah tahu. Pak Jaya dan Raya... mereka disergap.”
Dunia Ayana seolah berhenti berputar. Kata-kata itu menghantamnya seperti palu godam, menghancurkan sisa-sisa harapan yang masih ia genggam erat. Matanya terpaku pada wajah Arfan yang pias, keringat dingin membasahi pelipisnya. Ngeri menjalar dari ujung kaki hingga ubun-ubun, merenggut napasnya paksa.
“Apa? Disergap? Siapa?” Suaranya serak, nyaris tak terdengar. Ia meraih lengan Arfan, mencengkeramnya kuat, mencari kejelasan di tengah kekalutan yang tiba-tiba menguasainya.
Arfan menggeleng pelan, seolah tak mampu mengucapkan lebih banyak. Ia menunduk, pandangannya kosong menatap lantai marmer yang kini terasa dingin. Ponselnya masih tergenggam erat, layarnya memancarkan cahaya redup, seolah menjadi satu-satunya saksi bisu kehancuran mereka.
“Vina,” bisiknya, suaranya dipenuhi amarah dan keputusasaan yang mendalam. “Dia tahu. Semuanya. Pak Jaya baru saja mengirim pesan ini... ‘Kami disergap. Vina tahu semuanya tentang laporan keuangan dan rencanamu. Dia punya bukti. Mereka datang.’ Lalu pesannya terputus.”
Laporan keuangan. Rencana Arfan. Hati Ayana mencelos. Jadi ini bukan hanya tentang hubungan mereka. Ini jauh lebih besar, lebih berbahaya. Sejak awal Arfan mendekatinya, sejak awal semua intrik ini bergulir di perusahaan, Ayana memang selalu merasa ada yang lebih dari sekadar ketertarikan terlarang. Tapi ia memilih untuk tidak bertanya, membiarkan dirinya terbuai dalam ilusi keamanan yang rapuh.
“Tentang laporan keuangan apa?” tuntut Ayana, suaranya kini lebih tegas, meskipun dadanya bergemuruh hebat. “Arfan, jawab aku! Apa yang kalian rencanakan? Apa yang Vina tahu?”
Arfan mendongak, matanya bertemu dengan Ayana. Ada ketakutan, penyesalan, dan juga sebuah kebenaran pahit yang terpampang jelas di sana. “Vina... dia menggelapkan dana perusahaan, Ayana. Sebagian besar. Aku punya bukti, dari Pak Jaya. Kami berencana menyerahkan bukti itu hari ini, saat rapat dewan direksi. Dengan laporan dari Pak Jaya, dan kesaksian Raya... kami bisa menyingkirkan Vina dan mengamankan posisimu di perusahaan.”
Sebuah tamparan keras. Bukan hanya perselingkuhan, tapi sebuah konspirasi. Ayana merasa ditipu, diperalat. Arfan tidak hanya mencintai—atau mungkin tidak pernah sepenuhnya mencintai—dirinya. Ia punya agenda. Sebuah agenda yang kini meledak di wajah mereka berdua.
“Dan Raya? Kenapa Raya ada di sana?” Ayana mengguncang lengan Arfan, menuntut penjelasan lebih lanjut. “Apa hubungannya dengan Raya?”
“Raya... dia adalah saksi kunci,” jawab Arfan, suaranya rendah. “Dia mendengar percakapan Vina dengan salah satu akuntan, mengenai bagaimana mereka memanipulasi buku besar. Raya tidak sengaja merekamnya. Pak Jaya akan menggunakan itu sebagai bukti tambahan.”
Semua potongan puzzle berserakan di benak Ayana, membentuk gambaran mengerikan. Raya, putri semata wayangnya, kini terseret dalam intrik kotor ini. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Kemarahan membakar setiap sel tubuhnya.
“Kau melibatkan anakku?!” teriak Ayana, suaranya pecah. Ia memukul dada Arfan berulang kali, meluapkan segala emosi yang membuncah. “Kau gila! Bagaimana bisa kau melibatkan Raya dalam hal sekotor ini? Kau tahu betapa bahayanya Vina!”
Arfan memeluknya erat, menahan Ayana yang memberontak. “Maafkan aku, Ayana. Maafkan aku. Aku tidak punya pilihan lain. Vina semakin kuat, dia mengancam akan menghancurkan nama baikmu, mengambil alif darimu. Aku harus bertindak!”
Alif. Nama itu menembus pertahanan Ayana. Putra tunggalnya adalah titik terlemahnya. Benarkah Arfan melakukan ini semua demi dirinya dan Alif? Atau ini hanya alasan untuk membenarkan tindakan cerobohnya? Keraguan kembali menyergap.
“Lalu sekarang apa?” Ayana terisak dalam pelukan Arfan. “Raya... dia dalam bahaya. Pak Jaya juga. Apa yang akan Vina lakukan pada mereka?”
Arfan melepaskan pelukan, menatap Ayana dengan mata merah. “Vina tidak akan berhenti. Dia akan menggunakan Raya dan Pak Jaya untuk menjebak kita. Dia akan membalikkan semua bukti ini seolah kita yang bersekongkol menjatuhkannya, seolah kita yang melakukan manipulasi.”
Mereka berdua tahu ini adalah kebenaran pahit. Vina memiliki kekuatan dan pengaruh. Jika ia berhasil memutarbalikkan fakta, Arfan akan hancur, dan Ayana akan kehilangan segalanya, termasuk Alif.
“Kita harus pergi dari sini, sekarang juga,” desak Arfan, meraih tangan Ayana. “Sebelum Vina datang atau mengirim orangnya.”
“Pergi ke mana?” Ayana nyaris tidak bisa berpikir jernih. “Kita tidak bisa kabur begitu saja. Raya! Bagaimana dengan Raya?”
Sebuah suara sirine samar-samar terdengar dari kejauhan, semakin lama semakin mendekat. Suara itu menusuk telinga, memicu adrenalin mengalir deras di tubuh Ayana. Bukan suara polisi, melainkan suara ambulans. Atau jangan-jangan... mereka. Vina.
Arfan membeku, mendengarkan suara itu. Wajahnya kembali pias, lebih dari sebelumnya. “Mereka datang,” bisiknya, matanya membelalak ketakutan. “Bukan polisi. Ini Vina. Dia pasti sudah merencanakan ini jauh sebelumnya.”
Suara langkah kaki berat terdengar dari arah gerbang. Samar-samar, Ayana bisa melihat siluet beberapa orang bergerak di balik pagar tinggi. Sosok-sosok berpakaian seragam hitam, bukan seragam polisi. Mata Ayana melebar panik. Ini bukan penangkapan hukum, ini lebih personal, lebih brutal. Vina benar-benar ingin menghancurkan mereka.
Arfan menarik Ayana dengan paksa menuju pintu belakang, menuju taman yang berbatasan dengan hutan kecil di belakang rumah. “Kita tidak bisa melawan mereka, Ayana. Kita harus lari!”
Namun, saat mereka baru saja mencapai pintu belakang, ponsel Arfan bergetar lagi. Kali ini, sebuah pesan masuk, dan sebuah foto. Arfan membukanya. Gambaran di layar membuat napasnya tertahan. Ayana melirik, dan seketika ia merasa seluruh darahnya mengering.
Di layar ponsel, sebuah foto terpampang jelas. Raya, putrinya, terikat di sebuah kursi tua, mulutnya disumpal, matanya memerah karena menangis. Di sebelahnya berdiri seorang pria bertubuh kekar, tersenyum licik. Dan di latar belakang, sesosok wanita yang sangat ia kenal, berdiri angkuh, menyeringai penuh kemenangan. Vina.
Di bawah foto itu, ada satu baris pesan singkat dari nomor tak dikenal:
*”Game over. Raya ada di tangan kami. Jika kau berani kabur, putri kecilmu yang akan membayar harganya.”*
Napas Ayana tercekat. Dunia runtuh. Tubuhnya ambruk di lantai, jantungnya berdebar kencang, memekakkan telinga. Ia hanya bisa menatap nanar ponsel Arfan, melihat foto putrinya yang ketakutan. Vina sudah selangkah di depan. Mereka terjebak. Total. Tidak ada jalan keluar.
Suara pintu depan didobrak keras. Beberapa orang berseragam hitam itu kini sudah masuk, menggeledah setiap sudut rumah. Suara-suara mereka terdengar, dingin dan mengancam.
“Cari mereka! Jangan sampai lolos!”
Arfan berlutut di hadapan Ayana, mencoba meraih tangannya, namun Ayana menepisnya. Matanya dipenuhi kebencian, amarah, dan ketakutan yang mendalam.
“Kau... kau menghancurkan segalanya,” bisik Ayana, suaranya penuh rasa sakit. “Kau menghancurkan hidupku, Arfan. Dan sekarang, Raya...”
Langkah kaki semakin mendekat. Mereka tahu mereka ada di sana. Arfan menatap Ayana, matanya memancarkan keputusasaan yang tak terhingga. Pilihan mereka kini hanya dua: menyerah dan menghadapi takdir mengerikan dari Vina, atau melakukan sesuatu yang nekat, mempertaruhkan segalanya, bahkan nyawa mereka, demi Raya.
“Ayana, dengarkan aku,” kata Arfan, suaranya serius, mencoba bangkit. “Aku tahu di mana Vina menyembunyikan Raya.”
Ayana menatapnya, ada secercah harapan sekaligus ketidakpercayaan di matanya. Bagaimana Arfan bisa tahu? Atau ini jebakan lain?
Suara pintu terbuka paksa di ruangan sebelah. Mereka sudah sangat dekat. Arfan meraih tangan Ayana lagi, kali ini Ayana tidak menolak. Waktu mereka habis.
“Kita harus pergi sekarang,” kata Arfan, menariknya berdiri. “Kita akan mengambil Raya kembali. Bersiaplah, ini akan sangat berbahaya. Ini adalah satu-satunya kesempatan kita.”
Ayana menatap ke arah suara-suara yang semakin jelas. Rasa takut bergelayut, namun demi Raya, ia akan melakukan apa saja. Ia mengangguk, napasnya memburu. Ini bukan lagi tentang cinta atau dosa. Ini tentang bertahan hidup dan menyelamatkan putrinya.
Tiba-tiba, Arfan mendorongnya ke belakang lemari, tepat ketika pintu dapur didobrak terbuka. Dua pria bertubuh besar masuk, membawa senjata.
“Mereka di sini!” teriak salah satunya. “Cari sampai ketemu!”
Arfan dan Ayana bersembunyi di balik lemari gelap, suara jantung mereka berpacu kencang. Mereka saling berpandangan, mata Arfan memohon kepercayaan, sementara mata Ayana dipenuhi pertanyaan dan ketakutan. Apa yang akan terjadi selanjutnya? Apakah mereka bisa keluar dari neraka ini hidup-hidup? Dan bisakah Ayana mempercayai Arfan, setelah semua kebohongan dan intrik yang terungkap?
Di luar sana, Vina sudah menunggu, dengan Raya sebagai sandera, dan sebuah rencana busuk yang siap menghancurkan mereka kapan saja. Waktu terus berjalan, dan mereka berdua terjebak dalam jebakan paling mematikan yang pernah ada.
Benar2 membingungkan & bikin gw jd malas utk membaca novel ini lg
Jgn membingungkan pembaca yg berminat utk membaca novel ini