bagaimana jika seorang CEO menikah kontrak dengan agen pembunuh bayaran
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
mengungkap fakta
“Kenapa kamu harus melibatkan orang tua Amira dalam masalah ini?” tanya Robert, matanya penuh tanda tanya.
Andika hanya tersenyum tipis. “Kamu akan tercengang saat melihat siapa mereka sebenarnya.”
Mobil mereka berhenti di ujung sebuah gang sempit. Setelah memarkir kendaraan mewah itu, Andika dan Robert berjalan menyusuri lorong kecil, melewati rumah-rumah reyot yang berdiri di pinggir rel kereta api. Bau sampah menusuk hidung. Namun langkah Andika tak ragu sedikit pun.
“Eh, Nak Dika… ada apa, ya?” sapa Budi, dengan wajah terkejut bercampur cemas.
“Ada yang ingin kami bicarakan, Pak. Sama Bapak dan Ibu,” ujar Andika lembut.
“Oh, ayo silakan masuk,” sahut Budi, membuka pintu gubuknya lebar-lebar.
Andika tersenyum, lalu berkata pelan, “Bagaimana kalau kita bicara di luar saja, Pak?”
Budi menoleh pada Rahayu. Istrinya itu mengangguk, diam-diam paham ada sesuatu yang serius.
Beberapa menit kemudian, setelah berkemas seperlunya, Budi dan Rahayu keluar. Mereka naik ke dalam mobil Andika, duduk kikuk di kursi belakang. Pakaian mereka kontras dengan interior mobil yang berkilau.
Mobil berhenti di pelataran sebuah apartemen mewah. Rahayu menatap takjub. Budi tak mampu berkata-kata.
“Sementara, Bapak dan Ibu tinggal di sini dulu,” ujar Andika lirih.
“Kenapa, Nak Dika?” suara Budi nyaris berbisik.
Andika menatap mereka penuh arti. “Karena sudah waktunya banyak hal diselesaikan.”
Rahayu dan Budi butuh waktu sekitar tiga puluh menit untuk membereskan apartemen yang baru saja mereka tempati. Setelah semuanya rapi, mereka duduk di meja bundar bersama Andika dan Robert. Empat orang dari dua dunia yang berbeda, kini duduk saling berhadapan dalam diam yang tegang.
“Pak, mohon diperiksa,” ucap Andika pelan, menyerahkan beberapa dokumen kepada Budi.
Robert menoleh cepat. Alisnya bertaut, heran. Mengapa Andika menyerahkan dokumen rahasia kepada orang biasa seperti Budi?
Budi membuka halaman demi halaman dokumen itu, matanya tajam. Tak butuh waktu lama, dia menatap Andika dalam-dalam. “Sudah saya baca,” katanya tenang. “Dan saya juga sudah mengumpulkan berita-berita dari ponsel saya. Hasilnya… terlalu sempurna.”
“Maksud Bapak?” tanya Andika.
“Kecelakaan itu terlalu rapi. Hampir semua pengamat bilang tak ada kejanggalan.”
Robert menyela, suaranya keras. “Bos, jelas-jelas Alesandro dalangnya. Bukti-bukti mengarah ke sana.”
Budi menggeleng perlahan. “Memang benar, yang mendaftarkan penerbangan itu adalah orang Alesandro, atas nama Rio. Tapi pesawat yang digunakan adalah milik Nyonya Viona.”
“Iya, tapi pesawat itu sudah dimodifikasi, jadi pesawat Alesandro,” tambah Robert.
“Justru itu. Anehnya, bandara bisa kecolongan. Bagaimana mungkin pesawat milik Viona bisa digunakan oleh orang Alesandro? Mereka berasal dari keluarga dan perusahaan yang berbeda.”
Andika dan Robert sama-sama terdiam. Kening mereka mengerut dalam perenungan panjang.
“Alesandro dengan kekuasaannya bisa saja memanipulasi data,” kata Robert.
Budi menatap Andika lekat-lekat. “Tapi bagaimana kalau sebenarnya ada yang berusaha mengadu domba antara keluarga Wijaya dan keluarga Alesandro? Dan mungkin... ada penghianat di kedua sisi. Seseorang yang mempengaruhi keputusan besar, baik Alesandro maupun Nyonya Viona.”
Sunyi kembali turun. Namun kali ini, bukan karena tak ada yang ingin bicara, melainkan karena semua mulai menyadari: mereka sedang menghadapi permainan yang jauh lebih rumit dari yang mereka bayangkan.
---
“Sebenarnya… sejak kapan mereka bermusuhan?” tanya Budi pelan, memecah keheningan yang menegang di ruangan apartemen itu.
Andika tak langsung menjawab. Ia mengetuk-ngetukkan jarinya ke permukaan meja kayu bundar, ritme lambat yang terdengar nyaris seperti denting jam dalam ruang sunyi. Pandangannya mengarah pada Robert, memberi isyarat tak langsung.
Robert mengangguk, lalu membuka tabletnya. Layar menyala, jari-jarinya lincah menari, membuka file demi file yang sebelumnya sudah ia simpan dengan rapi.
“Tepatnya, 17 April 1996,” ujar Robert perlahan. “Dua kejadian besar terjadi pada hari itu. Tuan Wijaya meninggal dunia karena kecelakaan mobil dalam perjalanan pulang dari proyeknya di luar kota. Sementara di sisi lain, Tuan Alesandro kehilangan bayi salah satu bayi kembarnya dalam peristiwa yang hingga kini belum terungkap kebenarannya.”
Ruangan kembali diam.
“Kesimpulannya,” lanjut Robert, “kedua belah pihak saling menyalahkan. Nyonya Viona menganggap Alesandro berada di balik kecelakaan yang merenggut nyawa suaminya. Sebaliknya, Alesandro menuduh Viona sebagai dalang di balik hilangnya salah satu bayi kembarnya.”
Budi menyandarkan punggungnya. Tatapannya kosong, namun pikirannya seperti badai. Perlahan, ia bergumam, “17 April 1996… itu hari saat aku menemukan Amira di tong sampàh, dibungkus kain putih… menangis sekuat tenaga.”
Jantungnya berdetak lebih cepat. “Ini… terlalu rapi untuk disebut kebetulan. Ini bukan insiden biasa. Ini konspirasi.”
Andika menatapnya serius. “Saya juga berpikir demikian.”
“Siapa tangan kanan Nyonya Viona sekarang?” tanya Budi, matanya menajam.
“Felix,” jawab Andika, mantap.
“Coba cari tahu siapa dia sebenarnya,” pinta Budi tenang, tapi suaranya menyimpan tekanan.
Robert langsung berdiri. “Pak Budi, Anda jangan menuduh sembarangan. Felix adalah orang yang paling berjasa dalam keluarga Wijaya. Tanpa dia, banyak aset tidak akan selamat saat krisis 1998.”
Andika mengangkat tangan, menengahi. “Robert, lakukan saja perintah Pak Budi. Kita tidak sedang menuduh. Kita mencari kebenaran.”
Robert terdiam sejenak. Lalu ia mengangguk dan menyuruh timnya untuk melacak informasi mengenai Felix. Ketegangan menggantung di udara seperti benang tak terlihat, menunggu untuk putus.
Beberapa menit kemudian, Robert kembali menatap tablet di tangannya.
“Aku sudah menemukan datanya,” ucapnya.
“Apa yang kamu temukan?” tanya Budi cepat.
“Felix mulai masuk ke lingkungan keluarga Wijaya tahun 1994 sebagai penasihat keuangan. Tapi… sebelum itu, jejaknya kosong. Dari 1994 ke bawah, tidak ada catatan apapun. Seakan-akan ia muncul begitu saja.”
Andika bergumam pelan, “Muncul dari bayang-bayang…”
“Tapi ada yang menarik,” tambah Robert, nada suaranya berubah serius. “Tahun 1993, hubungan Tuan Wijaya dan Alesandro sangat erat. Mereka seperti ayah dan anak. Bahkan Alesandro dan Tuan Pratama—ayah Andika—seperti saudara kandung. Mereka pernah tinggal serumah saat krisis politik 1990-an.”
“Dan pada tahun 1990,” lanjutnya, “Tuan Wijaya memimpin operasi membasmi kelompok mafia Naga Hitam. Kelompok ini menguasai jaringan gelap perdagangan senjata dan anak-anak. Mereka punya koneksi lintas negara.”
Rahayu menutup mulutnya, berusaha menahan napas yang tiba-tiba terasa berat.
“Lalu… tahun 1998,” Robert melanjutkan, “Nyonya Viona mengadopsi seorang anak. Namanya Bagus.”
Andika menoleh cepat. “Sekarang… di mana Om Bagus?”
Robert segera menelepon seseorang. Suaranya pelan, namun terburu-buru. “Cek posisi terakhir Tuan Bagus… Ya. Kirim datanya sekarang.”
Tak lama, Robert menatap Andika dengan tatapan berat. “Bos… Tuan Bagus sedang dalam perjalanan ke Singapura. Pesawatnya baru lepas landas tiga puluh menit lalu.”
“BRAK!”
Andika menggebrak meja. Getaran amarah dan kegelisahan menggetarkan cangkir teh yang masih tersisa.
“Kita harus ke sana. Sekarang juga,” tegasnya. Ia lalu menoleh ke arah Budi dan Rahayu. “Bapak dan Ibu… mohon ikut. Kalian bukan lagi hanya saksi. Kalian bagian dari kebenaran yang harus terungkap.”
Budi mengangguk mantap. Sementara Rahayu menggenggam tangan suaminya erat, matanya basah tapi penuh keberanian.
...
Alesandro menatap istrinya yang menangis pilu sambil memegang erat tangan Amira yang masih terbaring tak sadarkan diri. Matanya sembab, namun sorotnya tajam penuh kecurigaan.
“Tuan, ada yang ingin saya sampaikan,” bisik Rio mendekat.
Alesandro bangkit dan berjalan ke lorong rumah sakit yang sepi.
“Tuan... Amira pernah terlibat dalam jaringan mafia perdagangan anak. Ini buktinya,” ujar Rio, menyerahkan tablet.
Alesandro menatap layar dengan wajah kaku. Tangannya mengepal.
“Ini tidak bisa dibiarkan,” desisnya tajam. “Cepat cari cara untuk mengeksekusinya. Tapi ingat—jangan sampai Helena tahu. Jangan sampai kita memelihara ular di dalam rumah.”
Ia berbalik, wajahnya gelap, langkahnya mantap. Dalam dirinya bertekad untuk menyingkirkan siapapun yang akan membahayakan helena
kena jebakan sendiri nih...
felix ini yang jadi tangan kanan oma viona yang berusaha menyingkirkan keluarga wijaya dan bagus akan dijadikan pewaris....
wah, keren nih ceritanya 👍 makin seru
lanjut dong thor...
dipihak allesandro ada si rio....
jadi ini semua adalah jebakan mereka yang pasti ada dalang utama nya... membuat dua kubu saling berselisih paham, semoga cepat terbongkar...
kira2 siapa ya ? apa jangan2 yang disebut ayah oleh si bagus .....
lanjut dong thor❤️
allesandro tidak tahu kalau amira anaknya, tanpa disadari hasil TEs DNA sudah di sabotase....
alecia selidiki lebih lanjut tentang amira,,,
coba tes Dna ulang kembali pasti 99,9%.
siapa yang disebut bagus adalah ayah???
setiap kesalahan yang mengenai oma viona pasti dicuragai allesandro....
benarkan sudah disabotase hasil Tes DNA milik amira....
semoga secepatnya terbongkar kebusukan mereka....
tapi kenapa yah oma viona selalu menuduh allesandro setiap ada masalah perusahaan? dan bagaimana nasib andika selanjutnya