Dalam bayang-bayang dendam, kebenaran menanti untuk diungkap.
Acalopsia—negeri para elf yang dulu damai—kini gemetar di ambang kehancuran. Serangan kaum orc tak hanya membakar ladang, tapi juga merobek sejarah, menghapus jejak-jejak darah kerajaan yang sah.
Revalant, satu-satunya keturunan Raja R’hu yang selamat dari pembantaian, tumbuh dalam penyamaran sebagai Sion—penjaga sunyi di perkebunan anggur Tallava. Ia menyembunyikan identitasnya, menunggu waktu, menahan dendam.
Hingga suatu hari, ia bertemu Pangeran Nieville—simbol harapan baru bagi Acalopsia. Melihat mahkota yang seharusnya menjadi miliknya, bara dendam Revalant menyala. Untuk merebut kembali tahta dan membuktikan kebenaran masa lalu, ia membutuhkan lebih dari sekadar nama. Ia membutuhkan kekuatan.
Dilatih oleh Krov, mantan prajurit istana, dan didorong tekad yang membara, Revalant menempuh jalan sunyi di bawah air terjun Lyinn—dan membangunkan Apalla, naga bersayap yang lama tertidur.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Momoy Dandelion, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32: Cara Memakai Sihir
Langit malam Desa Syrren muram. Tak ada suara jangkrik. Tak ada angin yang bersenandung di antara celah-celah daun. Seolah alam ikut terdiam menyaksikan luka yang ditinggalkan oleh perang yang tak diundang.
Di dalam rumah kecil yang sederhana di pinggir hutan, aroma ramuan herbal dan asap kayu memenuhi udara. Sissel terbaring di atas tikar berlapis kain wol, napasnya halus namun tak teratur. Wajahnya pucat, keringat dingin masih menempel di pelipis. Satu tangannya diletakkan di atas perut, dan tangan lain dibiarkan terkulai di sisi tubuh.
Krov duduk di sampingnya. Di tangan kanannya ada semangkuk kecil berisi ramuan berwarna hijau kecoklatan, aroma pahitnya menyesakkan. Dengan ujung jari, ia membubuhkan cairan itu ke pelipis putrinya dengan gerakan lembut namun pasti. Jemarinya bergetar sedikit… mungkin karena lelah, mungkin karena khawatir.
Sion berdiri tak jauh dari sana. Tangannya mengepal, wajahnya menunduk. Meski tubuhnya penuh luka kecil, ia sama sekali tak peduli. Hanya satu hal yang ada dalam pikirannya: Sissel.
“Sampai malam belum juga sadar…” gumam Krov lirih.
Sion mengangguk pelan, lalu memberanikan diri bertanya, “Apakah… karena terlalu banyak memakai sihir?”
Krov menghela napas berat. Ia menutup mangkuk ramuan dengan kain, lalu bersandar ke dinding kayu.
“Kurasa begitu,” jawabnya. “Sihir... menyedot banyak energi kehidupan. Apalagi kalau kau belum benar-benar menguasainya.”
Ia menatap wajah putrinya yang tampak damai namun rapuh. “Sissel… sulit dinasihati. Ia keras kepala seperti ibunya. Kupikir aku sudah menyembunyikan kitab itu cukup baik... di balik papan rahasia di gudang. Tapi dia tetap menemukannya.”
Sion menoleh cepat. “Jadi... kau tahu tentang kitab itu?”
“Kitab kuno warisan ibunya,” jawab Krov. “Itu bukan sekadar bacaan tua. Di dalamnya ada mantra dari garis darah kerajaan, yang hanya bisa dibuka oleh keturunan istimewa. Aku sendiri hanya bisa membaca setengahnya.”
Ia menatap Sion kini, matanya dalam dan tenang. “Kau juga sudah mencoba, bukan?”
Sion mengangguk. “Tapi... aku gagal. Tidak keluar satu pun percikan api. Padahal... aku ini... keturunan Raja R’hu.”
Krov terdiam sejenak. Tatapannya tak berubah, tapi napasnya tertahan.
“Aku tahu,” katanya akhirnya.
Sion mendongak, terkejut. Tapi Krov tak memberinya ruang untuk bertanya.
“Aku melihat matamu sejak kau pertama datang ke desa ini. Mata yang tak bisa menyembunyikan darah bangsawan. Kau boleh menyamar, tapi sihir dan cahaya tidak bisa dibohongi.”
Sion mengalihkan pandangannya. “Kalau begitu... kenapa aku tidak bisa?”
Krov menunduk, meremas lututnya. “Karena sihir bukan hanya soal darah.”
Ia menatap nyala api kecil di tungku. “Sihir... adalah tentang keseimbangan. Jiwa, pikiran, dan tujuan. Banyak elf keturunan kerajaan gagal membangkitkan sihir karena hatinya penuh kekacauan. Marah. Benci. Dendam. Kau harus bersih, bukan sempurna. Tapi bersih dari keraguan tentang siapa dirimu, dan untuk apa kau hidup.”
Sion terdiam lama.
“Aku sendiri baru benar-benar menguasai satu bentuk sihir… setelah bertahun-tahun bertapa. Sendiri. Hening. Tanpa tujuan lain kecuali mencari ketenangan.”
Ia menatap Sion penuh makna. “Kekuatan para leluhur… hanya akan masuk ke dalam bejana yang tidak bocor.”
Sion memejamkan mata. Ia tahu… kata-kata Krov tak salah. Ia memang masih kacau. Hatinya terbagi. Antara perasaannya pada Sissel… dan dendamnya pada istana.
“Lalu… apakah aku tak akan pernah bisa?” gumamnya nyaris tak terdengar.
“Bisa,” jawab Krov. “Mungkin tidak sekarang.”
Ia berdiri, mengambil kain bersih dan menutup tubuh Sissel dengan lembut.
“Tenanglah, Sion. Kau tidak harus terburu-buru menjadi kuat. Bahkan api pun butuh waktu sebelum menyala… jika kayunya masih basah.”
Di sudut ruangan, Sion menatap Sissel. Nafas gadis itu mulai stabil. Wajahnya sedikit lebih hangat dari sebelumnya.
*****
Sementara malam menutup Desa Syrren dengan selimut duka, jauh di sisi barat—di balik bukit cadas dan semak berduri—bayangan gelap menyatu dengan hutan.
Gua kecil yang nyaris tak terlihat dari jalur utama kini menjadi tempat berkumpul bagi sekelompok makhluk yang tak seharusnya berada di tanah elf.
Rauk berdiri di tengah lingkaran tanah becek yang hanya diterangi obor redup. Matanya—dua titik merah redup seperti bara yang nyaris padam—menyala penuh murka. Tubuhnya yang ramping namun tinggi menjulang tampak makin mengerikan saat ia mendesis keras di hadapan para orc yang tersisa.
“KUBILANG, JANGAN MELINTASI PEMUKIMAN!” raungnya.
Suara itu memantul di dinding batu dan pepohonan sekitarnya, mengusik burung-burung malam yang segera terbang menjauh.
Tiga orc berlutut di hadapannya, tubuh mereka gemetar. Salah satu dari mereka—yang masih membawa sisa darah di ujung kapaknya—berusaha bicara dalam bahasa orc yang hanya dipahami sesamanya.
“Ma-maaf, Rauk… kami hanya… mencium aroma… daging panggang dari desa…”
“DAGING PANGGANG?” suara Rauk naik satu oktaf, seperti cambuk yang menyambar telinga.
Ia melangkah cepat dan menendang dada orc yang bicara. Orc itu terlempar ke tumpukan daun busuk dan batu.
“Kalian adalah pasukan bayangan. Mata dan taring kegelapan!” Rauk mendesis, suaranya lebih menakutkan daripada teriakan. “Tapi kalian... berperilaku seperti babi kelaparan!”
Ia mendekat ke dua orc lainnya yang kini menunduk lebih dalam, nyaris menempel tanah.
“Tidak ada yang kuperintahkan untuk menyerang,” lanjutnya. “Tugas kita adalah mengamati, menyusup, dan menunggu kesempatan. Kalian malah muncul!”
Ia mengangkat tangannya dan menarik senjata tipis yang tergantung di punggungnya. Bilah melengkung dari logam hitam mengkilat itu bahkan tak berdesing saat dikeluarkan, seolah begitu tajam hingga udara pun tak berani bersuara.
“Jika aku kehilangan jejak Pangeran Nieville karena kalian,” ujarnya pelan namun menekan, “aku sendiri yang akan menguliti kalian hidup-hidup… menjadikan kepala kalian umpan untuk mengundang lebih banyak orc dari lembah terkutuk!”
Orc yang tadi terpental berusaha bangkit. “Kami hanya ingin… makan… hanya… sekali ini…”
“Dan karena ‘sekali ini’, separuh dari kalian mati. Dan aku harus memulai lagi dari awal.” Rauk meludah ke tanah. “Tak heran kalian dibuang dari barisan utama Dorion. Kalian hanya beban, bukan prajurit.”
Ia memutar tubuhnya, jubahnya mengepak ringan saat ia berdiri di mulut gua, menatap ke arah perbukitan tempat Desa Syrren berada.
“Aku tidak butuh pemakan bangkai. Aku butuh mata dan telinga.” Ia menatap langit yang pekat. “Nieville datang ke sekitar wilayah ini. Aku bisa merasakannya. Dia bagaikan bara api yang tak bisa padam. Dan kalian hampir membuat nyalanya semakin terang.”
Satu orc mencoba mengangkat tangan. “Tapi… bukankah itu kesempatan untuk—”
“Bukan dengan cara kalian! Bukan sekarang!” potong Rauk tajam.
Ia mengangkat tangan kirinya, dan dari balik lengan bajunya keluar semacam kristal kecil berwarna ungu kehitaman yang berdenyut pelan.
“Aku akan mengawasi desa itu sendiri,” gumamnya. “Dan kalian…” Ia menoleh dengan pandangan menghina. “…kembali ke dalam lubang kalian. Jangan bergerak sampai aku perintahkan.”
Ketiga orc itu membungkuk dalam ketakutan. Rauk tidak menunggu reaksi mereka. Ia sudah menghilang ke dalam semak gelap, tubuhnya menyatu dengan bayangan, bagai hantu yang tak ingin dikenal waktu.
Malam terus berlanjut. Di satu sisi, cahaya masih mencoba bertahan. Di sisi lain, kegelapan telah mengambil langkah diam-diamnya untuk mendekat.