Andreas Wilton sudah terlahir dingin karena kejamnya kehidupan yang membuatnya tidak mengerti soal kasih sayang.
Ketika Andreas mendengar berita jika adik tirinya akan menikah, Andreas diam-diam menculik mempelai wanita dan membawa perempuan tersebut ke dalam mansion -nya.
Andreas berniat menyiksa wanita yang paling disayang oleh anak dari istri kedua ayahnya itu, Andreas ingin melihat penderitaan yang akan dirasakan oleh orang-orang yang sudah merenggut kebahagiaannya dan mendiang sang ibu.
Namun, wanita yang dia culik justru memberikan kehangatan dan cinta yang selama ini tidak pernah dia rasakan.
“Kenapa kau peduli padaku? Kenapa kau menangis saat aku sakit? Padahal aku sudah membuat hidupmu seperti neraka yang mengerikan”
Akankah Andreas melanjutkan niat buruknya dan melepas wanita tersebut suatu saat nanti?
Follow instagramm : @iraurah
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iraurah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Andreas Tak Selamat?
Mistiza duduk di tepi ranjangnya, mengenakan gaun sederhana berwarna lembut, siap untuk makan malam seperti biasa. Sudah menjadi rutinitas bahwa setiap malam, Richard akan datang mengetuk pintu, menjemputnya untuk turun ke ruang makan. Richard dengan sikap tenangnya, sopan, namun selalu penuh kehati-hatian dalam tutur kata dan tindak-tanduk.
Namun malam ini, bukan ketukan berat dari tangan Richard yang terdengar di balik pintu, melainkan ketukan yang ringan, agak terburu-buru, diiringi suara napas yang sedikit terengah.
Ketika Mistiza membuka pintu, berdirilah di hadapannya seorang pelayan wanita muda dengan wajah bulat dan rambut dikuncir rapi. Ia mengenakan seragam hitam-putih khas para pelayan di mansion itu, namun jelas terlihat ketegangan di wajahnya.
“Selamat malam, Nona Mistiza. Saya akan mengantar Nona ke ruang makan malam ini,” ucapnya cepat, berusaha tetap sopan meski jelas ia sedang terburu-buru.
Mistiza mengerutkan alis. “Pinka? Bukankah biasanya Richard yang menjemputku?”
Pinka menunduk sedikit. “Maafkan saya, Nona. Tuan Richard sedang sibuk sekarang. Beliau meminta saya menggantikan tugasnya malam ini.”
Mistiza masih menatap pelayan itu dengan mata penuh tanda tanya, namun ia memilih untuk tidak mendesak. Ada sesuatu yang ganjil, tetapi belum cukup untuk ia pahami. Ia hanya mengangguk pelan dan mengikuti Pinka dari belakang, melewati lorong panjang yang diterangi cahaya lampu dinding berwarna kuning lembut.
Namun semakin dekat mereka ke lantai bawah, telinga Mistiza mulai menangkap sesuatu yang tidak biasa—suara langkah kaki tergesa-gesa, desahan panik, bahkan beberapa suara percakapan yang terputus-putus dalam bisikan tergesa. Pelayan-pelayan yang biasanya berjalan tenang dan nyaris tak bersuara kini terlihat mondar-mandir, membawa perlengkapan medis, handuk, bahkan beberapa di antaranya membawa baskom berisi air hangat.
Mistiza menoleh ke arah Pinka yang berjalan di sampingnya. “Ada apa sebenarnya? Mengapa semua orang terlihat rusuh?”
Pinka hanya tersenyum kecil, namun senyumnya tidak mampu menyembunyikan kegelisahan di matanya. “Tidak ada yang perlu Nona khawatirkan. Silakan menikmati makan malam terlebih dahulu.”
Ucapan itu tidak membuat rasa penasaran Mistiza surut. Justru sebaliknya, jantungnya mulai berdegup lebih cepat. Ada sesuatu yang sedang terjadi di dalam mansion ini. Sesuatu yang cukup besar hingga seluruh pelayan terlibat, dan Richard pun sampai tidak bisa menunaikan tugas rutinnya.
Di ruang makan, Mistiza mencoba bersikap biasa. Hidangan yang disajikan seperti biasanya: sup krim jamur, potongan daging sapi panggang, dan kentang lembut dengan sayuran kukus. Namun, ia tidak bisa sepenuhnya menikmati makanan di hadapannya. Di luar pintu, suara langkah tergesa dan bisikan panik masih terus terdengar.
Bahkan saat ia menyendok sup perlahan, telinganya masih menangkap suara-suara samar. Dan ketika ia meletakkan garpu terakhir, ia sempat melihat seorang pelayan pria berlari melewati lorong, menuju lift di ujung aula. Wajah pelayan itu pucat dan penuh kekhawatiran.
Mistiza meletakkan serbetnya, lalu menoleh pada Pinka yang berdiri tak jauh dari meja makan.
“Pinka,” panggilnya tegas, namun tetap dengan nada sopan. “Aku tidak bisa berpura-pura tidak mendengar semua ini. Apa yang sebenarnya sedang terjadi?”
Pinka tampak ragu. Ia menggigit bibir bawahnya, jelas sedang berusaha memutuskan apakah ia boleh menjawab atau tidak. Namun akhirnya, ia mendekat, menunduk sedikit dan berbisik, “Sebenarnya… para pelayan sedang menangani kepulangan Tuan Andreas.”
Mistiza menegang. “Andreas sudah kembali?”
Pinka mengangguk pelan. “Iya, Nona. Beliau tiba tadi sore… dalam kondisi tidak baik.”
“Tidak baik bagaimana maksudmu?” tanya Mistiza cepat. “Apa yang terjadi padanya?”
Pinka menatap mata Mistiza, seolah mencari apakah wanita muda di depannya cukup kuat menerima jawaban yang akan ia berikan. Kemudian ia menghela napas pelan.
“Tuan Andreas mengalami luka tembak, Nona.”
Dunia Mistiza seperti berhenti sejenak. Matanya membesar, dan ia menatap Pinka tanpa bisa berkata-kata.
“Luka tembak?” gumamnya pelan, nyaris tidak percaya dengan apa yang baru ia dengar.
Pinka mengangguk. “Benar, Nona. Tuan Andreas tertembak dalam sebuah insiden. Menurut informasi yang kami terima, beliau terkena tembakan dari pihak musuh dalam salah satu perjalanan rahasianya.”
Mistiza membeku di tempat duduknya. Ada bagian dari dirinya yang tidak ingin peduli—mengingat semua hal yang telah Andreas lakukan padanya. Lelaki itu adalah penculiknya, pria misterius yang selama ini membuatnya hidup dalam ketidakpastian. Namun ada bagian lain dari dirinya—bagian yang lebih lembut, lebih manusiawi—yang ikut tergores mendengar kabar itu.
Ia menelan saliva dengan susah payah, mencoba menahan perasaan yang tak bisa ia definisikan dengan jelas. “Apa… apa dia baik-baik saja sekarang?”
Pinka menunduk. “Saat ini beliau sedang ditangani oleh tim medis khusus, Nona. Ada dua dokter dari luar yang didatangkan. Para pelayan juga membantu sebisa mungkin. Kami belum tahu kondisi pastinya… tapi keadaannya cukup serius.”
Kata-kata itu membuat Mistiza merasakan sesuatu yang tajam di dadanya. “Serius…” bisiknya.
“Maafkan saya jika kabar ini membuat Nona terkejut,” ucap Pinka dengan nada penuh penyesalan. “Namun saya pikir Nona berhak tahu.”
Mistiza hanya mengangguk pelan, tidak mampu berkata-kata. Ia membayangkan Andreas—yang selama ini selalu tampak kuat, dingin, dan tak tergoyahkan—terbaring lemah karena luka tembak. Ada sesuatu yang begitu ganjil tentang gambaran itu. Seolah dunia telah terbalik.
“Apakah… apakah aku boleh melihatnya?” tanyanya, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Pinka.
Namun pelayan itu segera menjawab, “Saya tidak yakin itu diperbolehkan, Nona. Keadaan Tuan Andreas sangat dijaga. Hanya dokter dan Richard yang diizinkan masuk ke kamarnya. Bahkan kami para pelayan hanya boleh membantu dari luar.”
Mistiza mengangguk pelan, lalu berdiri dari kursinya. Tangannya sedikit gemetar saat menyentuh sandaran kursi. “Terima kasih telah memberitahuku, Pinka.”
“Dengan senang hati, Nona.”
Mereka berjalan kembali ke arah kamarnya dalam keheningan. Suara hiruk-pikuk pelayan di lorong masih terdengar, namun kali ini tidak lagi menimbulkan tanda tanya—melainkan sebuah kekhawatiran yang samar dan menyesakkan.
Sesampainya di kamar, Mistiza berdiri di balik pintu, menatap langit malam yang gelap melalui jendela besar. Di tangannya, ia menggenggam erat syal yang belum selesai ia rajut. Benang biru tua itu kini terasa lebih berat, seolah menyerap seluruh kekhawatirannya.
“Andreas…” gumamnya lirih. “Apa yang sebenarnya sedang kau hadapi di luar sana?”
Malam itu, ia tidak tidur dengan mudah. Ia terbaring dalam gelisah, pikirannya melayang ke berbagai kemungkinan. Luka tembak bukanlah sesuatu yang ringan. Jika Andreas sampai terluka dalam misi—apa pun itu—berarti musuhnya bukan orang biasa. Apakah Andreas akan sembuh? Atau mungkin yang lebih buruk dari itu, bagaimana jika Andreas mati karena nyawanya tak bisa diselamatkan?!
sehat sehat Mak othor... maaf kan aku yg tamak ini .. crtmu bgs bingittt
aku baca yg sudah tamat dan ingat cerita ini pernah ku baca dulu