Jelita Pramono seorang gadis periang, namun jangan sampai kalian mengusik nya, apalagi keluarga maupun orang yang ia sayang disekitarnya. Karena jika kamu melakukannya, habislah hidupmu.
Hingga suatu hari, ia sedang pergi bersama kakak nya, tapi di dalam perjalanan, mobil mereka tertabrak mobil lain dari arah belakang. Sehingga, Jelita yang berada di mobil penumpang mengeluarkan darah segar di dahi nya dan tak sadarkan diri.
Namun, ia terbangun bukan di tubuh nya, tapi seorang gadis bernama Jelita Yunanda, yang tak lain merupakan nama gadis di sebuah novel yang ia baca terakhir kali.
Bukan sebagai pemeran utama atau si antagonis, melainkan figuran atau teman antagonis yang sikapnya dingin dan jarang bicara sekaligus jarang tersenyum.
Mengapa Jelita tiba-tiba masuk kedalam novel menjadi seorang figuran? Apa yang akan terjadi dengannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lagipula Seru
Kriiiing!!!
Suara bel pulang sekolah menggema di seluruh sudut gedung. Siswa-siswi segera berhamburan keluar dari kelas masing-masing, begitu juga Jelita dan geng Velocity X.
Baru saja melewati koridor depan kelas, sosok yang paling dihindari langsung muncul, Laura si pick me queen.
Dengan ekspresi yang dibuat-buat seolah masih merasa bersalah, Laura mendekat sambil menggenggam buku pelajaran erat-erat di dadanya.
"Jelita..." panggilnya lembut, seolah suara angin.
Jelita menghentikan langkahnya, namun tak langsung menoleh. "Hm!"
Dalam hati ia mendengus. Aduh... buaya datang lagi. Berapa kali mau minta maaf sih? Skripmu basi, beb."
Laura mendekat lagi, ekspresi matanya dibuat berkaca-kaca. "Lita, kamu gak mau maafin aku? Kenapa jawabannya begitu? Aku tulus, sungguh..."
Jelita langsung memutar bola matanya. "Mulai lagi deh... nangis-nangis caper mode on. Mau aku kasih tisu sekardus sekalian?" ucapnya dalam hati.
Belum sempat Jelita menjawab, Tiara juga ikut bersuara lebih dulu. "Eh kamu ya, jangan mulai. Minta maaf kok gaya-nya kayak mau casting sinetron. Mau nangis biar caper ya? Biar kelihatan, kita membully kamu?"
"Aku enggak... aku beneran minta maaf..." Laura menatap ke arah Verrel, berharap ada pembelaan.
Dan benar saja...
"Lita..." suara Verrel ikut terdengar, pelan dan ragu.
Namun Jelita hanya menoleh cepat dan mengangkat tangannya yang masih terbalut perban, menunjukkannya tepat ke arah Verrel. Tatapannya tajam.
"Lihat sendiri. Udah cukup kan alesanku?"
Verrel terdiam. Tak mampu berkata apa-apa.
Tanpa menunggu lagi, Jelita segera menarik tangan Mey dan menatap Tiara dan Dara.
"Udah, yuk pulang. Jadi ke mall kan? Aku pengin beli es krim rasa dendam yang manis." katanya santai tapi menyindir.
"Ayooooook, gaskeun!" seru Tiara antusias.
Jelita menoleh ke dua kakaknya yang berdiri tak jauh dari sana.
"Ka Reza, Ka Raza, aku ke mall dulu yaaa~ Bye!" katanya sambil melambaikan tangan.
Reza hanya mengangguk pelan. "Hmm."
"Jangan pulang terlalu malam, Dek." pesan Raza tegas.
"Hm." sahut Jelita dengan senyum jahil sebelum menaiki mobil Dara bersama tiga sahabatnya.
"Hm." Jelita membalas dengan senyum singkat lalu masuk ke mobil Dara bersama Mey, Tiara, dan Dara sendiri.
Saat mobil menjauh, Willy berdiri sambil melipat tangan, melihat ke arah mobil yang meluncur pergi. "Ham Hem ham hem aja dari tadi... Itu yang sakit tangan atau mulut sih?" gumamnya sebal.
Harry, yang berdiri di sampingnya, mendesah malas. "Diamlah, Wil. Mau kau diinjak lagi kaki sama Jelita?"
"Eh... jangan. Trauma ku masih ada tuh." ucap Willy takut.
Laura masih berdiri di koridor, menatap kepergian Jelita dan teman-temannya dengan mata menyipit.
"Bisa-bisanya dia bikin aku malu lagi. Gak bisa dibiarkan. Tunggu saja... ini belum selesai, Meyriska!"
Laura mengepalkan tangan di balik rok seragamnya.
Dalam perjalanan menuju mall, suasana awalnya cerah dan penuh tawa. Dara menyetir dengan santai, sementara Tiara sibuk mencari playlist yang pas, Mey memainkan rambutnya, dan Jelita bersandar sambil memandangi jalan.
Namun semuanya berubah saat mobil melintasi jalan yang agak sepi, di mana bayangan pohon menjulur menutupi sebagian aspal. Tepat di tikungan, mereka mendapati pemandangan yang membuat darah berdesir.
Beberapa pria berpakaian serba hitam menghadang dua orang di tengah jalan.
Gerak-gerik mereka mencurigakan—tatapan tajam, postur siap menyerang, dan tangan yang menggenggam besi atau tongkat tumpul.
"Apa itu?!" seru Tiara, langsung panik.
Dara segera menginjak rem. Mobil berhenti mendadak.
"Kunci pintu! Tutup jendela! Sekarang!" perintah Jelita cepat.
Mereka semua bergerak spontan. Jendela dinaikkan. Pintu terkunci. Meski aman, ketegangan mulai menyelimuti mobil.
Jelita mencondongkan tubuh ke depan, matanya menyipit menatap dua sosok yang dikeroyok. “Apakah mereka akan melawan? Mereka bisa bela diri juga kah? Tapi, mereka juga kalah jumlah. Apa yang akan kita lakukan untuk membantu mereka?.”
Tangan Jelita sudah memegang gagang pintu.
"Eh, eh! Lita, mau kemana kamu? Jangan aneh-aneh deh. Kita masih anak SMA ya, aku belum nikah pula. Jangan turun, Lit!" seru Dara, menghentikan Jelita.
"Lita, ini bukan urusan kita! Jangan gila, deh! Ayo kita pergi," tambah Mey panik.
"Iya, Lit. Bahaya! Uh aku takut." tambah Tiara mulai merasa deg degan.
Dara juga menoleh tajam. “Jangan impulsif, Lit. Kita gak tahu siapa mereka. Bisa-bisa kita ikut celaka.”
Tiara dan Mey mengangguk setuju dengan ucapan Dara.
"Tenang aja, aku nggak bakal bertarung kok. Tapi ini..." Jelita mengangkat ponselnya, memperlihatkan layar musik sirine mobil polisi.
"Mey, kunci semua dari sini. Aku ke luar sebentar."
"Lita!" Tiara hampir berteriak.
"Tenang. Aku hanya ingin beri efek kejut. Lihat aja."
Jelita menyetel volume ke maksimal. Dentuman suara sirene polisi menggema keras dari ponsel miliknya, efek bass-nya sampai bergetar ke dashboard mobil. Tapi itu hanya sebentar.
“Kunci mobilnya, jangan turun. Tunggu aku di sini.” ujar Jelita cepat.
Sebelum mereka sempat mencegah, Jelita sudah keluar dari mobil, menyelinap ke balik pohon besar yang berada cukup dekat dari lokasi pertarungan itu. Dengan cekatan, ia meletakkan ponsel di tanah, mengarahkan speaker ke arah para penyerang, dan menyembunyikan dirinya di balik batang pohon yang kokoh.
WEEEOOO WEEEOOO!!!
Suara sirene menggelegar semakin keras, seolah-olah mobil polisi betulan datang dari belakang.
Para pria berpakaian hitam itu saling pandang dengan wajah tegang. Salah satu dari mereka mendongak panik.
“Sial! Polisi! Dari mana datangnya mereka?!" seru salah satu pria berbaju hitam.
"Cepat! Cepat! Kabur!" bentak yang lain.
Tanpa pikir panjang, mereka semua berhamburan pergi, mereka langsung yang masuk ke dalam mobil hitam yang diparkir agak jauh, lalu melaju kencang.
Jelita tersenyum kecil, lalu menyimpan kembali ponselnya. Dua orang yang tadinya dikeroyok kini terlihat bingung, menoleh ke kanan dan kekiri.
Sementara ketiga sahabat Jelita segera turun menghampiri nya sambil mengomel.
"Ayo cepat turun, uh jelita bodoh!" gerutu Dara.
"Em, bikin jantungku berdetak lebih kencang, untung gak punya penyakit jantung aku!" gerutu Tiara menimpali.
"Semoga hidupku seperti kucing, punya nyawa sembilan!" ucap Meyriska yang membuat dara dan Tiara berhenti berjalan dan menatapnya.
"Apa?" ucap Meyriska.
Mereka berdua menggeleng, dan melanjutkan perjalanan nya menuju jelita.
“GILA, LITA! KAU GILA!” Dara membentak, campuran panik dan lega.
“Untung aja mereka beneran kabur!” sahut Mey.
“Kalau enggak, kita bisa masuk berita besok pagi!” Tiara menimpali.
Jelita tertawa kecil. “Tenang aja. Aku kan gak asal turun. Ini semua perhitungan. Lagipula... seru juga.”
“Seru?! SERU KEPALA MU!” celetuk Dara kesal, sambil mengetuk dahi jelita.
Seketika mereka berempat tertawa bersama. Sementara kedua pria itu menoleh ke asal suara.
maaf ya...edisi maruk betul...
tinggal author yg ngebul...
buat ngabulin permintaan nya
para reader....😁🙏