Prita dihantui mimpi-mimpi samar tentang sosok misterius dan sosok asing bernama Tana' Bulan. Di tengah kesehariannya yang tenang di Loka Pralaya bersama sahabat-sahabatnya, Wulan dan Reida, serta bimbingan bijak dari Nyi Lirah, mimpi-mimpi itu terasa lebih dari sekadar bunga tidur.
Sebuah buku kuno berkulit, Bajareng Naso, menjadi kunci misteri ini. Ditulis oleh Antaboga, legenda di dalamnya menyimpan jejak masa lalu Prita yang hilang—ingatan yang terkubur akibat pengembaraannya melintasi berbagai dunia. Nyi Lirah yakin, memahami legenda Bajareng Naso adalah satu-satunya cara untuk memulihkan kepingan-kepingan memori Prita yang berserakan.
Namun, pencarian kebenaran ini tidaklah mudah.
Akankah Prita berhasil memecahkan misteri mimpinya dan memulihkan ingatannya yang hilang? Siapakah tamu tak diundang itu, dan apa hubungannya dengan rahasia yang dijaga oleh Luh Gandaru?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Margiyono, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Linotau
Nyi Lirah kembali tersenyum hangat padaku.
“Mimpimu itu bukan sekadar mimpi, Prita,” jawab Nyi Lirah dengan tatapan penuh arti.
Aku baru saja selesai menceritakan mimpiku yang aneh. Sekarang aku menunggu dengan cemas apa yang akan dikatakan Nyi Lirah. Wulan dan Reida pun tampak menunjukkan sikap serupa, menanti penjelasan tentang pengalamanku dalam tidur itu.
Namun, Nyi Lirah sepertinya tidak ingin terburu-buru memberikan jawaban. Ia justru tersenyum dan memperlihatkan buku yang tadi dipegangnya kepadaku. “Mimpimu itu,” kata Nyi Lirah perlahan, “ada kaitannya dengan buku ini.”
Mataku terpaku pada buku yang ditunjukkan Nyi Lirah. Buku tentang legenda Bajareng Naso, dengan sampul kulit yang tampak usang, dan sebuah tulisan yang tertera di sana… Aku tidak bisa membaca aksara itu. Memang, buku itu tidak ditulis dalam aksara yang biasa kami gunakan saat ini. Itu adalah aksara kuno.
“Buku ini, diberi nama Bajareng Naso,” kata Nyi Lirah sambil menunjuk aksara di sampul kulit itu. “Dan tulisan yang ada di bawah ini adalah Antaboga, dialah penulis buku ini.”
“Kalian mungkin tak mengerti aksara yang dipakai dalam menulis buku ini,” lanjut Nyi Lirah, “sebab aksara yang digunakan oleh Antaboga saat menulis buku ini adalah aksara kuno, jaman di mana Antaboga masih hidup.”
Wulan dan aku mendengarkan dengan tekun penjelasan Nyi Lirah tentang asal usul buku itu. Saat Nyi Lirah menyebutkan nama Antaboga, raut wajahku terasa berubah. Ada sesuatu dalam nama itu yang menarik perhatianku.
“Antaboga?” tanyaku, “apakah Nyi Lirah bisa menceritakan tentang penulis buku ini? … Maaf, Nyi Lirah, saya tidak bermaksud menyela pembicaraan, … hanya saja,…”
“Iya, Prita, ada kisah menarik mengenai Antaboga,” jawab Nyi Lirah dengan senyum lembut, “namun sekarang aku akan menjelaskan tentang mimpimu terlebih dulu dan kaitannya dengan cerita legenda yang ada di dalam buku ini.”
“Baik, Nyi … saya minta maaf,” kataku merasa sedikit bersalah.
“Tidak apa-apa, kamu tidak bersalah, aku bisa memakluminya,” jawab Nyi Lirah dengan bijak. “Aku akan memulai menjelaskan arti mimpimu itu, Prita.”
“Baik, Nyi,” jawabku, kembali fokus pada penjelasannya.
“Dunia yang kau lihat di dalam mimpi adalah beberapa dunia yang ada di dalam alam raya ini,” kata Nyi Lirah memulai penjelasannya. “Dan kehadiran Tana’ Bulan yang kau lihat itu adalah nyata adanya.”
Aku tampak terkejut mendengar hal itu. “Jadi, … apa itu artinya Tana’ Bulan benar-benar menemui saya, Nyi Lirah?” tanyaku dengan mata berbinar penuh harapan.
“Benar, Prita,” jawab Nyi Lirah, “sebab mimpi bertemu dengan Tana’ Bulan itu, tidak bisa dipalsukan atau direkayasa. Seandainya engkau berkhayal sepanjang waktu, dan ingin sekali bertemu dengannya di dalam mimpi,” lanjut Nyi Lirah, “engkau takkan bisa berhasil, kecuali memang Tana’ Bulan sendiri yang berkehendak menemuimu.”
Aku mengangguk pelan, mencoba mencerna kata-katanya. “Oh … apakah itu berarti Tana’ Bulan ingin menemui saya?” tanyaku lagi.
“Benar, Prita…” jawab Nyi Lirah, “namun, Tana’ Bulan tidak akan menemuimu jika tidak ada sesuatu yang penting tentang dirimu.”
Aku terdiam mendengar penjelasan Nyi Lirah. Aku mulai memahami arah pembicaraan wanita tua itu. “Portal langit yang kau lihat itu nyata adanya, Prita,” kata Nyi Lirah, “dan perlu kau ketahui bahwa, ada banyak dunia di luar dunia yang kita kenal saat ini.”
Nyi Lirah terdiam sejenak, memandangi kami bertiga. Sepertinya ia ingin memberikan wejangan yang sangat penting untuk kami perhatikan. “Dunia kita ini, …” lanjut Nyi Lirah, “kita kenal dengan nama Loka Pralaya.”
“Dan masih banyak Loka Pralaya lain di luar sana.”
Aku tampak antusias mendengarkan penjelasan Nyi Lirah. “Jika banyak dunia di luar sana, .. apakah yang saya lihat di dalam mimpi itu adalah …” tanyaku, namun aku tidak dapat melanjutkan pertanyaanku, terlalu banyak hal yang berkecamuk di pikiranku.
“Benar, Prita, dunia yang kau lihat di dalam mimpi itu adalah dunia lain di luar Loka Pralaya,” jawab Nyi Lirah dengan tenang. “Dan portal langit yang ada di sana adalah pintu menuju ke masing-masing dunia itu.”
Aku terdiam mendengar ucapan Nyi Lirah, mencoba mengingat kembali setiap detail mimpiku. “Aku yakin, bahwa mimpimu itu adalah pertanda bahwa engkau akan mendapatkan kembali ingatanmu yang hilang itu,” kata Nyi Lirah dengan nada meyakinkan.
“Kamu harus bersabar, Prita,” lanjutnya, “engkau pasti akan dapat mengingat kembali siapa dirimu sebenarnya.”
“Tapi, … dalam mimpi itu, saya seperti merasa asing, Nyi Lirah,” kataku jujur, “dunia itu begitu menakutkan.”
Nyi Lirah menarik napasnya dalam-dalam. Ada sesuatu yang berat yang ingin ia sampaikan.
“Prita, …” kata Nyi Lirah dengan suara yang lebih serius, “dunia terakhir yang kau lihat itu,” ia berhenti sejenak, menatapku lekat-lekat, “dikenal dengan nama Linotau.”
Aku tidak dapat menyembunyikan keterkejutanku. “Linotau?” tanyaku, “sepertinya telinga saya tidak asing dengan nama itu,… apa,… apa mungkin dulu saya pernah ke sana, Nyi Lirah?”
Nyi Lirah hanya tersenyum padaku, membuat rasa ingin tahuku semakin tak tertahankan.
“Kamu tidak hanya pernah ke sana, Prita,” jawab Nyi Lirah dengan senyum misterius yang membuat jantungku berdebar lebih kencang.
“Apa maksud Nyi Lirah?” tanyaku dengan nada yang agak meninggi karena rasa penasaran yang memuncak.
“Bahkan, dirimu memang berasal dari sana,” jawab Nyi Lirah, dan kata-kata itu terasa seperti petir menyambarku.
“Apa? … apa benar itu, Nyi Lirah?” tanyaku semakin meninggi, tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar.
“Dan, … di manakah Linotau itu?”
Melihat gelagatku yang berubah menjadi gelisah, Nyi Lirah memintaku untuk bersikap tenang.
“Engkau harus bersabar, Prita…” kata Nyi Lirah dengan lembut namun tegas, “aku akan menjelaskannya kepadamu, satu per satu.”
“Maafkan saya, Nyi …, saya minta maaf,… “ kataku yang mulai terisak.
Aku merasakan kesedihan yang mendalam saat Nyi Lirah mulai membuka jati diriku yang selama ini hilang.
“Prita,” panggil Nyi Lirah dengan suara lembut yang menenangkan.
“Iya, Nyi…” jawabku dengan suara bergetar.
“Kehadiranmu di Loka Pralaya, … pertemuanmu dengan Tana’ Bulan dan mimpi-mimpimu itu adalah sebuah pertanda besar,” kata Nyi Lirah, menatapku dengan penuh pengertian.
Aku hanya terdiam, menunggu apa yang akan dikatakan Nyi Lirah selanjutnya.
“Walaupun engkau tidak dapat mengingatnya, tidak berarti engkau tidak memiliki masa lalu,” kata Nyi Lirah. “Hal yang menyebabkan engkau lupa semua tentang masa lalumu itu adalah, …” Nyi Lirah berhenti sejenak, menarik napas dalam, “… karena terlalu banyak dunia yang telah engkau lalui.”
Ucapan ini kembali menyentak perasaanku. Aku semakin terisak dan tenggelam dalam tangis. Wulan yang berada di sampingku segera memelukku dengan lembut, membelai rambutku dan mendekapku erat-erat.
Reida dan Nyi Lirah yang melihat hal itu membiarkanku tenggelam dalam perasaanku untuk sementara waktu.
Mereka sadar betul bahwa akan sangat berat bagiku untuk kembali menemukan masa laluku. Karena menemukan ingatan tentang masa lalu yang hilang mungkin akan mengobati rasa ingin tahuku, namun di sisi lain, barangkali akan menambah luka baru jika kemudian yang kutemukan dalam masa laluku adalah hal yang menyedihkan.
Ruang perpustakaan itu hening, hanya suara isakanku yang terdengar, sementara Wulan masih setia memberikan pelukan hangatnya.
Sementara Nyi Lirah dan Reida masih dengan sabar menungguku.