NovelToon NovelToon
Demi Semua Yang Bernafas Season 2

Demi Semua Yang Bernafas Season 2

Status: sedang berlangsung
Genre:Spiritual / Balas Dendam / Identitas Tersembunyi / Raja Tentara/Dewa Perang / Pulau Terpencil / Kultivasi Modern
Popularitas:13.6k
Nilai: 5
Nama Author: Babah Elfathar

Yang Suka Action Yuk Mari..

Demi Semua Yang Bernafas Season 2 Cerita berawal dari kisah masalalu Raysia dan Dendamnya Kini..

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Babah Elfathar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 31

Bab 31 -

Rial mengikuti langkah Pak Harsono kembali ke rumah. Begitu mereka tiba di halaman, pemandangan di depan matanya membuatnya tertegun. Rumah besar itu dipenuhi banyak orang—anggota keluarga, beberapa kerabat jauh, bahkan wajah-wajah yang jarang ia lihat berkumpul sekaligus. Suara percakapan bercampur dengan aroma teh yang baru diseduh dan ketegangan yang terasa di udara.

Dengan wajah penuh kebingungan, Rial memandangi kerumunan itu sambil berseru dalam nada bercampur heran, “Astaga, apakah kalian memasang kamera di ruangan tadi dan menyiarkan semuanya secara langsung?”

Pak Harsono hanya terdiam. Ia tidak menjawab, melainkan mengetuk lantai dengan ujung tongkat kayu yang selalu menemaninya, sebuah isyarat yang lebih keras dari kata-kata. “Masuklah,” katanya akhirnya, dengan suara yang dalam dan tegas, nyaris tanpa emosi.

Rial menelan ludahnya, lalu melangkah masuk dengan langkah ragu. Di dalam, suasana terasa lebih tegang. Ia segera menghampiri Elyza yang berdiri tak jauh dari ruang tengah. Wajah kakaknya itu memancarkan kebingungan yang sama. Dengan nada terburu, Rial bertanya, “Kak, apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa semua orang tiba-tiba datang ke sini?”

Elyza menggeleng pelan, bahunya sedikit merosot. “Aku juga tidak tahu, Rial,” jawabnya lirih. “Semuanya terasa mendadak.”

Sementara itu, Pak Harsono berjalan perlahan ke kursi kayunya yang besar, duduk dengan tenang namun penuh wibawa. Tongkatnya kembali diketukkan ke lantai, membuat semua orang terdiam seketika. Tatapannya menelusuri wajah-wajah yang hadir, lalu berhenti pada beberapa anak muda—Rial, Elyza, Jansen, dan beberapa lainnya.

Setelah menyebut nama mereka satu per satu, ia menarik napas dalam dan berbicara dengan nada datar namun tak bisa dibantah, “Kalian semua, kembali ke kamar masing-masing dan segera berkemas. Dalam setengah jam, mobil akan datang menjemput. Setelah itu, kalian akan dibawa ke bandara. Jangan bawa barang mewah atau yang tak perlu—cukup pakaian dan perlengkapan pribadi.”

Kata-katanya menggantung di udara, menciptakan keheningan yang aneh. Rial tidak segera menjawab. Ia bisa merasakan suasana berat yang menyelimuti rumah itu, semacam tekanan tak kasatmata yang membuat dadanya sesak. Ia menoleh pada Elyza, yang membalas tatapannya dan memberi isyarat halus agar ia ikut keluar.

Mereka berdua keluar dari rumah besar itu tanpa bicara, menuju mobil Elyza yang terparkir di depan. Begitu pintu tertutup dan suara mesin menyala, Rial tak bisa menahan kekesalannya. Ia bersandar di jok, menghembuskan napas kasar. “Sialan, Kak. Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Semua ini terasa begitu aneh.”

Elyza, sambil menatap jalan di depan, menjawab dengan nada resah, “Tadi ada hujan bintang jatuh. Setelah itu, Kakek memerintahkan kita untuk segera meninggalkan kota.”

“Hujan bintang?” tanya Rial dengan dahi berkerut. “Bukankah itu pertanda baik? Mengapa justru menyuruh kita pergi? Ke mana sebenarnya kita akan dibawa? Aku benar-benar tidak mengerti, Kak. Semua ini gila.”

Elyza menarik napas panjang dan menggeleng pelan. “Aku juga tidak tahu, Rial. Tapi suasana hati Kakek sedang buruk. Setelah hujan bintang itu, dia hanya berkata semoga Rangga baik-baik saja. Sejak saat itu, dia tampak cemas.”

Rial hanya bisa mendengus pelan. “Baiklah. Tapi tetap saja, ini aneh. Aku masih betah di Kota NewJersey. Rasanya tidak ingin meninggalkannya begitu saja.”

Elyza tidak membalas. Ia hanya memusatkan perhatian pada jalan yang kian gelap di depan, sementara lampu-lampu kota NewJersey perlahan tertinggal di belakang mereka.

 

Tiga jam kemudian, perjalanan mereka berakhir di sebuah padang pasir yang luas, tempat berdirinya sebuah bandara yang tampak berbeda dari bandara biasa. Landasan udara membentang sejauh mata memandang, dan di sana-sini terlihat pesawat-pesawat dengan desain yang tidak lazim—pesawat militer, transportasi rahasia, dan beberapa berlogo unit khusus.

Suara angin gurun bersiul rendah di antara bangunan logam dan menara kontrol yang kokoh. Dari kejauhan, tampak beberapa pesawat mendarat dan berhenti. Dari masing-masing pesawat, keluar kelompok orang berpakaian seragam gelap dengan lambang Night Watcher di dada mereka.

Begitu pesawat yang ditumpangi Rangga dan kelompoknya mendarat, mereka segera turun. Sisil Bahri, Thania, dan yang lainnya mengenakan kacamata hitam besar, menutupi sebagian besar wajah mereka untuk menghindari perhatian. Meski sudah menyamarkan diri, pesona dan kehadiran mereka tetap menarik mata.

Ossie tampak menggerutu pelan, suaranya terdengar samar di tengah deru mesin pesawat. Ia menatap sekeliling dengan tatapan tidak nyaman, lalu berkata dengan nada menyesal, bahwa ia mulai merasa datang ke tempat ini adalah kesalahan. Gurun ini begitu keras, udaranya kering, dan ia sudah membayangkan kulitnya akan rusak.

Namun sebelum sempat menyelesaikan keluhannya, Krish menatapnya tajam dan berkata singkat, menyuruhnya kembali jika memang tak sanggup. Nada suaranya tegas, tanpa sedikit pun kelembutan yang biasanya ia tunjukkan pada wanita.

Ossie terpana, tidak menyangka Krish yang biasanya ramah bisa sedingin itu. Ia memandangnya dengan bingung, tapi Krish melanjutkan dengan nada sarkastik, mengatakan bahwa kehadirannya hanya akan menjadi beban. Ia menegaskan bahwa seharusnya Ossie tidak ikut sejak awal.

Ossie terdiam. Ia memang berasal dari dunia bawah tanah, tapi belum pernah benar-benar terlibat dalam pertempuran nyata. Alasannya mengikuti Rangga hanyalah karena Warrace meyakinkannya bahwa bersama Rangga, ia akan aman. Ia tidak menyadari bahwa mereka sedang menuju medan perang sesungguhnya.

Rangga menatapnya sejenak, lalu menghela napas panjang. Suaranya terdengar lebih tenang dibanding Krish, namun tetap dingin. Ia mengingatkan Ossie bahwa sejak mereka menapakkan kaki di tempat ini, mereka bukan lagi berada di lingkungan yang aman, melainkan di garis depan pertempuran antara hidup dan mati. Ia menyuruh Ossie berhenti membicarakan hal-hal sepele seperti udara dan cuaca. Ini bukan Kota Lyren Haven, apalagi NewJersey.

Rangga bahkan menambahkan bahwa jika Ossie ingin mundur, pesawat masih akan melakukan penerbangan balik. Ia bisa kembali dengan aman, karena masih ada seribu lebih rekan dari Barbar City yang akan melindunginya di sana.

Ossie terdiam, lalu tersenyum kecut. Ia akhirnya mengangguk, memutuskan kembali ke pesawat. Sebelum beranjak, ia sempat berbisik dengan nada manja, meminta Rangga melindunginya jika suatu hari mereka bertemu lagi. Rangga hanya mengangguk singkat.

Begitu Ossie naik ke pesawat, Krish mendengus kesal. Ia mengaku tidak mengerti mengapa setiap kali di luar medan perang ia selalu merasa ingin melindungi wanita seperti itu, tapi begitu di sini, rasa itu hilang digantikan rasa jengkel.

Rangga menatap ke depan, lalu berkata pelan bahwa ossie hanya belum terbiasa menghadapi bahaya seperti ini. Ia tumbuh dalam kenyamanan dan perlindungan. Lagipula, Ossie pernah sangat membantu—beberapa bagian tulang naga yang kini dimilikinya diperoleh berkat kerja sama dengan Ossie. Rangga menegaskan bahwa janji tetaplah janji; jika ia sudah berjanji akan melindungi, maka Ia akan menepatinya.

Devan yang berdiri di sampingnya mengangguk setuju. Ia berpendapat lebih baik Ossie kembali, karena di medan sekeras ini, kehadirannya justru bisa menjadi penghalang. Rangga setuju, lalu memberi aba-aba untuk bergerak.

Sisil Bahri menahan langkahnya, menatap Rangga dengan kebingungan, dan bertanya ke mana mereka akan pergi. Rangga menjawab pelan bahwa mereka sudah bukan bagian dari Night Watcher lagi, jadi tidak akan kembali ke markas Night Watcher Negara Haz. Tujuan mereka kali ini berbeda—mereka akan menuju titik pendaratan utama, untuk melihat seberapa besar kekuatan yang telah tiba.

Tanpa banyak bicara, mereka berjalan menuju gerbang keluar bandara. Namun begitu sampai di sana, Rangga berhenti sejenak. Di depannya berdiri Pak tua Diego dengan senyum tipis, sementara sebuah bus besar berwarna hitam terparkir di belakangnya.

Rangga mengerutkan kening, menatap Diego dan bertanya dingin apa yang sedang dilakukannya di sana. Diego hanya tersenyum lebih lebar, menjawab bahwa ia datang menjemput mereka. Ia menambahkan bahwa sebelum Rangga memutuskan kembali atau tidak, ada baiknya ia bertemu dulu dengan Dirman dan dirinya, karena mereka membawa berita penting.

Rangga tidak menjawab. Ia hanya memandang Diego sejenak, lalu naik ke bus tanpa sepatah kata. Bus itu pun mulai melaju di jalan panjang yang penuh lubang, seolah tanah di sekitarnya pernah diguncang ledakan besar. Rangga menatap keluar jendela, melihat bentang gurun yang sunyi dan dingin.

Sisil Bahri yang duduk di sebelahnya menatapnya dari samping. Dengan nada lembut ia berkata bahwa sudah bertahun-tahun Rangga tidak kembali ke tempat ini. “Apakah kamu merindukannya?” tanyanya pelan.

Rangga menggeleng perlahan. “Tidak. Jika bisa, aku tak ingin datang ke sini lagi seumur hidup,” jawabnya dengan nada datar. Dalam hatinya, ia tahu—jika semua ini tak pernah terjadi, mungkin saudara-saudaranya masih hidup. Mungkin ia bisa menjalani hidup sederhana di kota biasa, memenuhi harapan orang tuanya, menikah, dan membesarkan anak-anak dalam damai.

Namun takdir tidak pernah seindah itu.

Tiba-tiba, suara Krish memecah keheningan. Ia berseru kaget sambil menunjuk ke luar jendela. Semua mata mengikuti arah telunjuknya. Di kejauhan, di tengah langit malam yang pekat, terlihat cahaya biru samar bergerak cepat—Ghost, pesawat pengintai legendaris yang hanya digunakan dalam operasi tingkat tinggi.

Bersamaan dengan itu, dari sisi lain padang pasir, puluhan bayangan hitam melesat keluar dari kegelapan, berlari cepat dengan belati di tangan, teriakan mereka menggema di udara.

“Demi semua yang bernafas…”

Dan malam itu pun berubah menjadi awal dari badai besar yang tak terelakkan. Karena setelah Ucapan Demi semua yang bernafas terucap, itu pertanda pertempuran dimulai..

Bersambung.

1
Was pray
ya memang Rangga dan raysa yg harus menyelesaikan permasalahan yg diperbuat, jangan melibatkan siapapun
Was pray
Rangga memang amat peduli sama orang2 yg membutuhkan pertolongan dirinya tapi tidak memikirkan akibatnya
hackauth
/Pray/ mantap update terus gan
Was pray
MC miskin mantaf ..
Was pray
Rangga. dalam rangka musu bunuh diri kah?
adib
alur cerita bagus..
thumb up buat thor
adib
keren ini.. beneran bikin marathon baca
Maknov Gabut
gaskeun thor
Maknov Gabut
ceritanya seru
Maknov Gabut
mantaff
Maknov Gabut
terima kasih thor
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!