Sea adalah gadis yang selalu menemukan kedamaian di laut. Ombak yang bergulung, aroma asin yang menyegarkan, dan angin yang berbisik selalu menjadi tempatnya berlabuh saat dunia terasa menyesakkan. Namun, hidupnya berubah drastis ketika orang tuanya bangkrut setelah usaha mereka dirampok. Impiannya untuk melanjutkan kuliah harus ia kubur dalam-dalam.
Di sisi lain, Aldo adalah seorang CEO muda yang hidupnya dikendalikan oleh keluarga besarnya. Dalam tiga hari, ia harus menemukan pasangan sendiri atau menerima perjodohan yang telah diatur orang tuanya. Sebagai pria yang keras kepala dan tak ingin terjebak dalam pernikahan tanpa cinta, ia berusaha mencari jalan keluar.
Takdir mempertemukan Sea dan Aldo dalam satu peristiwa yang tak terduga. Laut yang selama ini menjadi tempat pelarian Sea, kini mempertemukannya dengan pria yang bisa mengubah hidupnya. Aldo melihat sesuatu dalam diri Sea—sebuah ketulusan yang selama ini sulit ia temukan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Humairah_bidadarisurga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18
Sea masih menggenggam tangan Aldo di atas meja. Sentuhan itu terasa nyata, sehangat perasaan yang kini mulai tumbuh di hatinya. Ia menatap pria di hadapannya, mencoba mencari kepastian dalam sorot matanya.
"Aku tidak ingin kehilanganmu." Kata-kata Aldo tadi masih terngiang di telinganya, membuat jantungnya berdetak lebih cepat.
Sea menarik napas dalam-dalam. "Aldo... apa maksudmu dengan itu?" tanyanya hati-hati.
Aldo tidak langsung menjawab. Ia menatap gadis itu dengan tatapan yang begitu dalam, seakan sedang menimbang setiap kata yang akan diucapkannya.
"Aku tahu kita memulai semua ini dengan cara yang aneh," ujar Aldo akhirnya. "Pernikahan ini awalnya hanya sebuah kesepakatan, tapi... sekarang aku tidak bisa lagi berpura-pura bahwa aku tidak merasakan apa pun."
Sea menelan ludah, tangannya sedikit gemetar. "Kau... mulai menyukaiku?"
Aldo tersenyum kecil. "Aku lebih dari sekadar menyukaimu, Sea."
Jantung Sea hampir melompat keluar dari dadanya. Ia tidak menyangka Aldo akan mengakuinya secepat ini.
"Tapi... bagaimana mungkin?" bisik Sea, masih berusaha memahami semuanya. "Kita berasal dari dunia yang berbeda. Aku hanya seorang gadis biasa, sementara kau—"
"Aku tidak peduli," potong Aldo tegas. "Aku tidak peduli tentang latar belakangmu, Sea. Yang aku tahu, aku ingin kau tetap di sisiku."
Sea menggigit bibirnya, matanya berkaca-kaca. Sebagian dari dirinya ingin percaya pada kata-kata Aldo, tapi sebagian lagi masih takut.
"Aku butuh waktu," kata Sea akhirnya, suaranya nyaris bergetar.
Aldo mengangguk mengerti. "Aku tidak akan memaksamu, Sea. Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku di sini, menunggumu."
***
Sepanjang perjalanan pulang, Sea tidak bisa berhenti memikirkan kata-kata Aldo. Perasaannya berkecamuk, antara kebahagiaan dan ketakutan.
Setelah sampai di apartemen, Sea langsung masuk ke kamar, mencoba menenangkan diri. Ia duduk di tepi tempat tidur, menatap kosong ke depan.
Apa yang harus kulakukan?
Ia tidak bisa memungkiri bahwa ia juga mulai menyukai Aldo. Perhatian pria itu, cara dia menjaganya, semuanya membuat hatinya bergetar.
Tapi di sisi lain, ia takut. Takut jika semua ini hanya sementara, takut jika akhirnya ia akan terluka.
Sea menghela napas panjang. Mungkin, untuk saat ini, ia hanya perlu mengikuti kata hatinya.
Tanpa sadar, bibirnya melengkung dalam senyuman kecil.
Mungkin, untuk pertama kalinya, ia ingin mencoba percaya.
Sea terbangun di pagi hari dengan perasaan yang campur aduk. Kata-kata Aldo masih terngiang di telinganya—Aku lebih dari sekadar menyukaimu, Sea.
Ia menggigit bibirnya, mencoba menenangkan hatinya yang gelisah. Apakah ini kenyataan? Apakah benar Aldo memiliki perasaan untuknya?
Sea melangkah keluar dari kamar, mendapati apartemen masih sepi. Aldo pasti sudah berangkat ke kantor. Meja makan sudah tertata dengan sarapan yang tertutup rapi, seperti biasanya.
Ia tersenyum kecil. Aldo memang selalu seperti itu—diam-diam peduli, tanpa banyak bicara.
Sea duduk, menikmati sarapannya dengan tenang. Tapi pikirannya masih melayang pada perasaan yang perlahan mulai tumbuh dalam hatinya.
Hari itu, Sea memutuskan untuk keluar sejenak. Ia butuh udara segar untuk menenangkan pikirannya.
Ia berjalan di sekitar taman kota, menikmati angin sepoi-sepoi yang menerpa wajahnya. Saat itulah, sebuah suara familiar menghentikan langkahnya.
"Sea?"
Sea menoleh dan mendapati Riko berdiri di dekatnya.
"Riko?" Sea tersenyum, meski sedikit terkejut.
"Aku tidak menyangka akan bertemu lagi denganmu," ujar Riko, mendekat. "Kau baik-baik saja?"
Sea mengangguk. "Ya, aku hanya ingin berjalan-jalan sebentar."
Riko menatapnya lekat. "Boleh aku menemanimu?"
Sea ragu sejenak, tapi akhirnya mengangguk. "Tentu."
Mereka berjalan berdampingan, berbincang tentang banyak hal. Riko menceritakan pekerjaannya, sementara Sea hanya mendengarkan, sesekali tersenyum.
Namun, di tengah obrolan mereka, ponsel Sea bergetar. Sebuah pesan masuk dari Aldo.
"Dimana kamu?"
Sea menatap pesan itu dengan jantung berdegup. Ia mengetik balasan singkat.
"Sedang berjalan-jalan di taman."
Tak lama kemudian, ponselnya bergetar lagi.
"Dengan siapa?"
Sea menggigit bibirnya. Kenapa Aldo selalu ingin tahu dengan siapa dia pergi?
Ia mengetik jujur. "Dengan teman lama."
Tapi belum sempat ia menutup ponselnya, sebuah suara dalam nada dingin menghentikannya.
"Apa yang kau lakukan di sini?"
Sea menoleh, mendapati Aldo berdiri tak jauh darinya. Tatapan pria itu tajam, penuh ketegangan.
Riko, yang menyadari kehadiran Aldo, ikut menoleh. "Kau... Aldo?"
Aldo tidak menjawab. Tatapannya terfokus pada Sea, seolah meminta penjelasan.
Sea menelan ludah, merasakan ketegangan yang semakin pekat.
"Aldo, aku hanya—"
"Masuk ke mobil." Aldo memotongnya, suaranya dingin dan tegas.
Sea menatap Riko dengan canggung sebelum akhirnya mengangguk pelan dan mengikuti Aldo menuju mobilnya.
Dalam perjalanan pulang, Aldo tidak berkata sepatah kata pun.
Sea bisa merasakan kemarahan pria itu, meskipun wajahnya tetap datar.
"Aldo..." Sea akhirnya membuka suara.
Aldo tetap fokus pada jalan. "Kenapa kau pergi dengan pria lain?"
Sea mengerutkan kening. "Dia hanya teman lama."
Aldo menghela napas, lalu menatapnya sekilas. "Kau tidak mengerti, Sea."
Sea balas menatapnya. "Lalu jelaskan padaku."
Aldo terdiam sejenak, sebelum akhirnya berkata dengan suara rendah.
"Aku tidak suka melihatmu dengan pria lain."
Sea membeku. Kata-kata itu terdengar begitu dalam, begitu jujur.
Ia menatap Aldo, mencoba mencari kepastian di matanya.
"Aldo... apakah kau cemburu?" bisiknya.
Aldo tidak langsung menjawab. Tapi sorot matanya sudah cukup memberi jawaban.
Sea menggigit bibirnya, dadanya berdebar lebih kencang.
Kini, ia tahu bahwa Aldo tidak main-main dengan perasaannya.
Tapi apakah ia sudah siap untuk membalasnya?
Sea duduk diam di dalam mobil, sementara Aldo terus melaju dengan ekspresi datar. Keheningan yang menggantung di antara mereka semakin berat.
Sea menatap tangannya yang saling menggenggam di pangkuannya, hatinya tak menentu.
Aldo sudah mengungkapkan perasaannya. Bahwa ia lebih dari sekadar menyukai Sea. Dan sekarang, ia menunjukkan kecemburuannya secara terang-terangan.
Sea menghela napas, mengumpulkan keberanian sebelum akhirnya berkata, "Aldo... aku tidak bisa menghindari orang-orang dari masa laluku."
Aldo tetap diam, tetapi rahangnya mengeras.
"Riko bukan siapa-siapa," lanjut Sea pelan. "Kami hanya berteman."
Aldo akhirnya menoleh sekilas. "Tapi dia menyukaimu."
Sea terkejut. "Apa?"
Aldo menyeringai tipis. "Dari cara dia menatapmu, aku tahu dia punya perasaan padamu."
Sea menggeleng pelan. "Itu tidak berarti aku memiliki perasaan yang sama."
Aldo mengerem mobilnya di depan apartemen, lalu berbalik menatapnya. "Lalu, bagaimana dengan aku?"
Jantung Sea mencelos. Ia menatap Aldo, tetapi kata-kata seolah tersangkut di tenggorokannya.
"Apa aku juga hanya sekadar seseorang yang tak berarti bagimu?" suara Aldo lebih lembut sekarang, tapi tetap menusuk.
Sea menelan ludah. "Aku... tidak tahu."
Aldo mendekat sedikit, tatapannya dalam menelusuri wajah Sea. "Jawaban itu tidak cukup, Sea."
Sea merasakan detak jantungnya semakin tak beraturan. "Aku butuh waktu."
Aldo menarik napas panjang, lalu mengangguk. "Baiklah. Aku akan memberimu waktu. Tapi jangan terlalu lama."
Sea hanya bisa mengangguk pelan sebelum membuka pintu dan keluar dari mobil.
Di balik pintu apartemen, ia menekan dadanya yang terasa sesak.
Apa yang sebenarnya ia rasakan?
Malam itu, Sea tidak bisa tidur.
Pikirannya terus melayang pada Aldo. Pada perasaannya sendiri.
Ia tidak bisa menyangkal bahwa Aldo telah menjadi bagian besar dalam hidupnya. Pria itu selalu ada, meski dengan caranya yang terkadang dingin dan sulit ditebak.
Tapi, apakah itu cinta?
Sea bangkit dari ranjang, berjalan ke balkon. Ia menatap langit malam yang gelap, mencoba mencari jawaban di antara bintang-bintang.
Tiba-tiba, suara pintu apartemen terbuka.
Sea menoleh dan melihat Aldo masuk dengan langkah tenang.
"Kau belum tidur?" tanya Aldo, suaranya serak.
Sea menggeleng. "Aku tidak bisa tidur."
Aldo mengangguk pelan, lalu berjalan ke dapur. "Mau teh?"
Sea tersenyum tipis. "Ya."
Mereka duduk berdua di ruang tamu, masing-masing dengan cangkir teh di tangan.
"Apa yang membuatmu tidak bisa tidur?" tanya Aldo akhirnya.
Sea menatap cangkirnya. "Banyak hal."
Aldo mengangkat alis. "Seperti?"
Sea menatapnya ragu-ragu, lalu menghela napas. "Seperti... bagaimana masa depanku."
Aldo terdiam, lalu berkata, "Aku ingin kau tetap di sisiku."
Sea menegang. Ia menatap Aldo, mencari kepastian di matanya.
"Sebagai istri?" bisik Sea.
Aldo menatapnya dalam. "Sebagai seseorang yang lebih dari itu."
Jantung Sea berdetak lebih kencang.
"Aku tidak hanya ingin kau tinggal di sini karena pernikahan kontrak kita, Sea," lanjut Aldo. "Aku ingin kau tinggal karena kau juga menginginkannya."
Sea terdiam, hatinya berkecamuk.
Apakah ia benar-benar menginginkannya?
Atau ini hanya kebiasaan yang membuatnya nyaman?
Ia butuh jawaban.
Dan hanya hatinya yang bisa memberikannya.