Hara, gadis perfeksionis yang lebih mengedepankan logika daripada perasaan itu baru saja mengalami putus cinta dan memutuskan bahwa dirinya tidak akan menjalin hubungan lagi, karena menurutnya itu melelahkan.
Kama, lelaki yang menganggap bahwa komitmen dalam sebuah hubungan hanya dilakukan oleh orang-orang bodoh, membuatnya selalu menerapkan friendzone dengan banyak gadis. Dan bertekad tidak akan menjalin hubungan yang serius.
Mereka bertemu dan merasa saling cocok hingga memutuskan bersama dalam ikatan (boy)friendzone. Namun semuanya berubah saat Nael, mantan kekasih Hara memintanya kembali bersama.
Apakah Hara akan tetap dalam (boy)friendzone-nya dengan Kama atau memutuskan kembali pada Nael? Akankah Kama merubah prinsip yang selama ini dia pegang dan memutuskan menjalin hubungan yang serius dengan Hara?Bisakah mereka sama-sama menemukan cinta atau malah berakhir jatuh cinta bersama?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rizca Yulianah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertemanan
Hara telah menyusun jadwal hari minggunya dengan sedemikian rupa guna untuk mengalihkan fokusnya agar tidak memikirkan Nael.
Sebenarnya Hara bisa saja membawa pulang laporan-laporan yang harus dia cek ulang, tapi jika itu dia lakukan, maka besok pada jam kerja dia akan bingung sendiri mencari kegiatan.
Jadi dia memutuskan hari minggu ini dia akan membersihkan seluruh isi kamarnya dan melakukan declutter.
Tak banyak yang harus di bersihkan dari kamar sederhana milik Hara, barang-barang Hara sedikit dan sudah tersisa yang penting-penting saja karena Hara selalu melakukan declutter minimal seminggu sekali.
Hara menyetel timer di ponselnya, mengatur waktu untuk bersih-bersih dapat menjadikan kegiatan bersih-bersih sangat efektif dan terorganisir.
Hara mulai dari tempat tidurnya, dia mengganti sprei, sarung bantal, dan sarung bedcover miliknya. Setelah semua selesai dia melipat dan memasukkan sarung bantal yang lama ke dalam plastik besar untuk kemudian nantinya akan di jemput oleh tukang laundry langganannya.
Setelahnya dia beralih ke area nakas di samping tempat tidurnya. Meja kecil yang hanya berisikan lampu tidur di atasnya, serta tiga laci kecil di bagian bawah yang dia gunakan untuk menyimpan stok skincare serta kebutuhan pribadinya itu tidak perlu di bersihkan. Karena praktis isinya barang-barang yang akan di perlukan.
Hara beralih ke meja tempatnya menyimpan kebutuhan makanan, dia memeriksa satu persatu bahan yang tersedia, mengecek masa kadaluarsanya, dan semuanya aman.
Setelahnya dia beralih ke lemari. Rapi dan tidak terlalu penuh.
Hara menghela napas. Dia mengambil ponselnya. Timer yang semula dia set tiga jam, namun baru berjalan selama satu jam dan dia sudah menyelesaikan seluruh kegiatan bersih-bersihnya.
Sebulan putus dari Nael yang dia lakukan hanya bersih-bersih kamar, hingga tidak tersisa lagi barang-barang yang tidak terpakai.
Hara merebahkan diri di atas kasurnya. Mencoba mencari kesibukan dengan menscroll media sosialnya.
Namun sebuah pesan masuk dari nomor yang tak di kenal mengusiknya.
Mbak Hara hari minggunya ngapain?
Oh rupanya Nisa, dan Hara belum menyimpan nomornya. Segera dia mengetikkan nama Nisa yang di imbuhi dengan keterangan tempat Nisa berkerja. Namun setelah di pikir-pikir, tempat Nisa berkerja terasa sulit di ucapkan dan di ingat.
Akhirnya demi menjaga ingatannya yang serasa sudah overload, dia memutuskan untuk menamai Nisa sesuai dengan yang dia ingat.
Nisa-nya Kama.
Kalau begini setiap kali Nisa mengirim pesan atau menghubunginya, maka Hara bisa langsung ingat bahwa dia adalah Nisa anak buah Kama.
Ok save!
Nisa-nya Kama kembali mengirim pesan.
Mbak Hara boleh nggak aku jadi temen mbak Hara
Hara menautkan alisnya. Akhir-akhir ini dia laris sekali, banyak penawaran pertemanan masuk kepadanya, pertama Kama dengan tawaran friendzone ala american style-nya, dan sekarang Nisa juga.
Hara meletakkan ponselnya di samping tempatnya berbaring, memikirkan tawaran pertemanan yang di ajukan oleh Nisa.
Apa sih teman? Lalu apa yang harus dia lakukan agar bisa menjadi teman yang baik?
Jika menjadi teman adalah seperti hubungannya dengan Sinta, maka rasanya Hara sulit mewujudkan hal itu kepada Nisa.
Pasalnya Hara dan Sinta saja butuh waktu bertahun-tahun untuk menjadi lebih terbuka kepada masing-masing, tapi tidak lantas menjadikan Sinta tau seluk beluk tentang Hara dan sebaliknya.
Hara menimbang-nimbang lagi. Perusahaan tempatnya berkerja memiliki banyak sekali karyawan, dan banyak dari karyawan itu mengenalinya, dan dia juga, mungkin beberapa, tapi tidak lantas menjadikan mereka sebagai teman.
Hanya saling tau rupa dan nama masing-masing, serta beberapa kali bertegur sapa dan saling bertukar pesan urusan pekerjaan tak lantas membuat status hubungan mereka adalah teman, apalagi sahabat, terlalu jauh untuk naik tingkat.
Sinta yang bisa dia katakan hampir tiga puluh persen mengenalinya saja jarang bertukar pesan di waktu luang mereka, apalagi yang hanya sebatas kenal.
Hara sendiri tidak tau bagaimana rasanya memiliki teman, jadi dia tidak tau apa yang harus di lakukan untuk menjadi seorang teman.
"Mikirin definisi teman aja udah bikin gue kelaperan" Gumamnya dan kemudian bangkit dari posisi tidurnya.
Dengan ogah-ogahan dia membuka kulkas mini yang ada di kamar, memeriksa sisa bahan makanan apa saja yang bisa di olahnya menjadi sarapan yang simple.
Setelah memutuskan bahwa dia hanya akan membuat sandwich roti dengan isian telur orak-arik, dia kemudian segera memasak.
Duduk bersila di lantai dengan meja lipat yang sudah dia persiapkan sebagai meja makan, serta sepiring sarapan dan sebotol air mineral, dan tak ketinggalan laptop yang menayangkan drama dengan aktor favoritnya, si rubah merah berekor sembilan, telah membuat paginya terasa begitu indah.
Kebahagian sederhana yang membuatnya merasa nyaman dan tenang.
Hara bukanlah wanita munafik yang tidak mengagumi paras tampan laki-laki, buktinya dia tergila-gila pada the grim reaper tersebut.
Wajahnya, kulitnya, matanya, hidungnya, ah semua bagian dari si pemilik toko senjata itu membuatnya tergila-gila. Membuatnya mendapatkan predikat fans berat.
Rupanya hari minggu paginya tidak terlalu buruk. Dia tidak merasa kesepian dan memikirkan Nael.
...****************...
Selamat pagi pak Nael
Pesan yang muncul di ponsel Nael itu dengan cepat dia geser keluar, tak berniat untuk membalasnya.
Dia kembali khusyuk mendengarkan khotbah dari bapa di atas mimbar.
"Jangan sampai kalian salah dalam pergaulan dan memilih teman, karena bisa menjadikan kalian orang-orang yang fasik dan merusak kebiasaan baik" Suara Bapa yang menggema ke seluruh penjuru gereja itu di sambut khidmat oleh para jemaatnya.
Nael yang duduk di bangku belakang dengan para pemuda gereja lainnya juga terdiam mendengarkan.
"Jadi ikut ngajar sekolah minggu?" Bisik Andreas yang duduk di bangku yang sama dengan Nael.
"Iya" Balas Nael berbisik.
"Tumben, biasanya setiap minggu lo sibuk, nggak pernah mau kalau di suruh jadi relawan sekolah minggu" Tanya Andreas di tengah khusyuknya para jemaah yang lain.
"Ntar aja lah bahasnya" Pungkas Nael menyudahi bisik-bisik di antara mereka.
Pukul sembilan dan seluruh rangkaian kegiatan ibadah minggu yang di lakukan Nael telah selesai, kini dia hanya perlu menunggu waktu sekolah minggu tiba.
Biasanya sekolah minggu akan di mulai pukul sepuluh, dan di bagi menjadi beberapa kelompok. Anak-anak, remaja, dan pemuda.
Kali ini Nael menjadi relawan untuk mengajari pemuda, yang berusia sekitar delapan belas tahun ke atas. Setingkat mahasiswa perkuliahan.
"Nongkrong dulu yuk" Ajak Andreas ke beberapa teman gerejanya yang sedang berkumpul di depan.
"Masih kurang sejam lagi juga" Lanjut Andreas sembari melihat jam tangannya.
Ajakannya di sambut oleh empat orang lainnya yang sedang berkumpul. Ada Nael, Michael, Gabriel, si kembar Thomas dan Theo serta Andreas itu sendiri.
"Yang deket-deket aja lah" Michael membuka suara, "Males jalannya kalau jauh"
"Tenang aja, di depan situ ada warkop baru buka, punya temen gue" Andreas menunjuk ke arah seberang jalan.
Mereka semua kompak menoleh ke arah yang di tuju. Dan memang benar, di sana terdapat warkop yang cukup besar dan terbuka. Hanya ada atap dan tanpa dinding yang mengelilingi, membuat siapa saja pengunjungnya bisa terlihat oleh orang yang lalu lalang.
"Ok deh" Yang lain setuju-setuju saja dan kemudian mereka pergi bersama-sama.
Disana ada sekitar sepuluh meja dan bangku panjang yang saling berhadap-hadapan, serta satu meja lainnya di ujung yang di gunakan sebagai bar untuk memesan.
"Mam kopi lima ya" Teriak Andreas melambaikan tangan kepada orang yang berada di balik bar, Imam. Yang tengah sibuk meracik beberapa minuman.
"Hitam apa susu nih bro?" Teriaknya membalas tapi tak menoleh ke arah Andreas, fokus dengan kegiatannya mengaduk kopi.
"Kalian apa? Atau mau pesen sendiri kesana?" Tawar Andreas.
"Item ajalah, ngantuk semalam begadang" Gabriel angkat suara, lalu di sambut dengan anggukan setuju dari si kembar.
"Kalau lo El, Mike?" Andreas mengangkat dagunya menunjuk ke arah Nael dan Michael.
"Gue yang susu aja deh, lambung gue nggak bisa di kasih kopi kalau belum sarapan, bisa mencret gue" Jelas Mike seraya mengusap perutnya.
"Lo El?" Hanya tinggal Nael yang belum memutuskan akan memesan apa.
"Gue item aja deh" Akhirnya Nael memutuskan, dirinya butuh kafein yang kuat untuk mengusir ngantuknya akibat begadang semalam.
"Empat item satu susu" Teriak Andreas lagi menyebutkan pesanannya pada Imam yang di sambut dengan
"Siap"
"Si Theo kenapa tuh?" Mike menunjuk Theo dengan dagunya, yang di tunjuk sedang fokus menatap layar ponsel dengan tersenyum-senyum malu.
"Lagi punya pacar baru dia" Thomas selaku kembaran Theo memberi tahu. "Kenal di stasiun MRT" Lanjutnya.
"Cantik nggak?" Seru Andreas penasaran.
"Cantik pake banget lah coy!" Theo yang tau dirinya menjadi bahan perbincangan itu telah selesai dengan ponselnya. "Lo tau kan standart gue" Dia menepuk dadanya pongah.
"Mana coba lihat fotonya?" Tuntut Mike tak percaya. "No bukti no trust" Tantangnya.
"Yeee" Theo menggebrak meja, "nggak percaya gue nih bocah" Dia mengambil ponselnya dan mengutak atiknya, lalu beberapa saat kemudian dia sudah menunjukkan layarnya kepada teman-temannya.
"Anjir gila!" Andreas memekik.
"Sinting lo!" Kali ini Mike yang memekik
Sedangkan Nael dan Gabriel hanya bolak balik memandangi foto yang ada di ponsel Theo dan Theo itu sendiri.
"Gak salah nih" Akhirnya Gabriel menyuarakan pendapatnya dengan wajah yang sedikit tak nyaman.
Gadis dalam foto tersebut sangat ayu dan terlihat sholehah. Iya sholehah, dia adalah gadis berjilbab dengan senyum mempesona yang anggun.
Theo dan Thomas tergelak bersama, membuat ke empat yang lainnya saling bertukar pandang.
"Memangnya kenapa?" Tanya Theo setelah tawanya mereda.
"Ya mata lo buta kali" Sergah Gabriel cepat, sedikit meninggikan suaranya.
"Memang apa salahnya pacaran doang?" Theo mengangkat bahunya, seolah dia tidak memiliki salah apapun.
"Ya memangnya lo nggak serius gitu?" Tuntut Gabriel masih tak percaya dengan tindakan sembrono Theo.
"Gue serius lah" Theo membela diri.
"Terus bakal lo kawinin?" Kejar Gabriel lagi.
Theo malah semakin tergelak mendengar penuturan Gabriel. Membuat yang lainnya yang sedari tadi hanya menyimak menjadi bingung, kecuali Thomas kembarannya.
"Ya nggak sampai sana lah, gila aja, mana berani gue ngelawan Tuhan" Jawabnya dengan serius.
"Itu sama aja artinya lo main-mainin perasaan orang lain" Tuduh Gabriel kesal.
"Gue tulus beneran sayang sama nih cewek" Theo membela dirinya, dengan serius. "Tapi gue belum segila itu buat ngelawan Tuhan" Lanjutnya mengangkat tangan seakan menyerah.
"Terus dia tau lo sama dia beda?" Tanya Mike penasaran.
"Ya nggak lah, gila aja, kalau tau udah dari pertama gue di tolak, bapaknya imam masjid coy" Theo bergidik seolah ingin membuang bayangan tentang ayah dari sang pacar.
Nael yang sedari tadi hanya menjadi pendengar setia itu tidak berkomentar apapun.
Kenapa Theo bisa semudah itu akan melepaskan kekasihnya kalau dia memang tulus, sedangkan dirinya? Dilema antara Tuhan dan Cinta.
Tungkling...
Suara pesan masuk ke ponsel Nael, dia mengambil ponsel dari saku celananya.
Sekretaris Nisa : Happy weekend and have fun pak Nael 😗
Nael membacanya dan lagi-lagi mengabaikannya. Dia tidak ingin GR dengan pesan-pesan yang di kirimkan oleh Nisa yang terkadang di bubuhi dengan berbagai emoticon ambigu yang bisa mengundang kesalahpahaman.
Dia tau Nisa adalah karyawan baru, dan terlebih dia adalah anak yang ramah kepada siapapun. Tipe anak yang ceria dan supel yang mudah bergaul dengan siapapun. Mungkin dia sedang berusaha menjalin pertemanan dengan sesama karyawan.
Maka dari itu demi kenyamanan bersama, Nael tidak pernah menanggapi pesan-pesan yang di kirim oleh Nisa di luar konteks pekerjaan.
Nael menyimpan kembali ponsel di sakunya. Dia kembali ikut dalam obrolan teman-temannya yang kini sudah berganti topik menjadi pertandingan sepak bola semalam.
...****************...
Kama membuka matanya dan meraba-raba mencari ponselnya. Setelah menemukannya dia melihat jam di layarnya. Pukul sebelas siang.
Pantas saja tubuhnya terasa segar, dia tidur lebih dari enam jam.
Kama bangun dari posisi tidurnya, sembari mengumpulkan kesadarannya dia bersandar di kepala ranjang.
Memeriksa kembali ponselnya, mengecek notifikasi-notifikasi yang masuk.
Banyak darinya hanyalah notifikasi media sosial yang tidak menarik minatnya. Dia beralih ke aplikasi pesannya. Banyak pesan yang belum terbaca, tapi dia tau isinya mungkin hanya guyonan dan kelakaran-kelakaran jorok khas para cowok di grup.
Selebihnya grup resmi berisi pemberitahuan tentang kesatuannya, tetapi isinya tidak ada yang menyangkut dirinya.
Dia membuka pesannya untuk Hara, masih saja centang dua berwarna abu, yang artinya pesannya belum di baca.
Bagaimana bisa ada seseorang seperti Hara yang bisa mengabaikan pesan begitu lama, padahal semalam juga mereka bertemu.
Kama mengetikkan sesuatu di ponselnya.
Morning bae... Wanna see you
Dia mengklik tombol send dengan mantap. Centang dua.
Semenit, dua menit, lima menit tidak ada tanda-tanda pesannya akan di baca.
Kama berdecak kesal, kemudian melemparkan begitu saja ponselnya. Dia beranjak dari tempat tidurnya, ingin mandi air dingin untuk menidurkan kembali little K yang juga ikut terbangun, dan semakin siaga kala dia mengingat Hara.
Air dingin yang keluar dari shower ternyata memang ampuh menidurkan kembali inti tubuhnya dan menyegarkan pikirannya yang terus saja terbayang penampilan Hara semalam.
Damn!!
Kama mendesis kesal, baru sekelebat bayangan Hara muncul, versi mini dirinya itu sudah kembali terbangun, dan kali ini menjadi lebih kokoh, yang menandakan air dingin saja tidak akan bisa membuatnya luluh.
"Coba kalau ada wangi Hara disini, mungkin bakalan sempurna pagi kita" Ucapnya menyeringai nakal sembari menunduk, menatap adik kecilnya.
Setelah selesai mandi dan menyelesaikan sedikit bussiness-nya di bawah sana, Kama keluar dari kamar mandi hanya berbalutkan sehelai handuk yang menutupi tubuh bagian bawahnya.
Dengan rambut basah yang masih meneteskan air dia membuka gorden kamarnya, membiarkan sinar matahari siang menyilaukan mata masuk ke dalam kamarnya.
Ponselnya yang ada di atas kasur dering, dengan malas Kama berjalan menuju kasur untuk meraihnya.
Rio calling...
Sahabatnya itu memang selalu punya acara untuk mengganggunya.
"Hm" Kama menjawab singkat.
"Gue di basement apartemen lo nih" Rio mengabarkan kedatangannya dan kemudian mematikan teleponnya.
Kama keluar dari kamar dan menuju ke dapur, mengambil sebotol air mineral dingin, lalu menyobek plastik segelnya, membuangnya begitu saja, kemudian memutar tutup botolnya dan menenggak separuh isinya.
Tak lama suara bel pintu berbunyi, dia berjalan menuju pintu untuk membukanya.
"Ough!" Rio memejamkan matanya demi melihat penampilan Kama yang menyambutnya dengan separuh telanjang.
"Pagi-pagi mata gue udah ternodai" Lanjutnya merangsek masuk dengan mata yang tetap terpejam.
"Halah bilang aja lo terpesona kan?" Kama yang sudah menutup pintu di belakangnya kemudian bersandar miring di sisi kusen pintu, bergaya seolah-olah dia sedang memikat lawan jenisnya.
"Najis!" Rio bergidik jijik melihat tingkah Kama. "Udah makan lo?" Lanjutnya sembari melepas sepatunya dan masuk begitu saja, langsung menuju dapur.
"Aduh" Rio terhuyung saat kakinya tersandung kardus kosong bekas minuman berlogo jangkar hijau yang isinya telah berpindah ke dalam kulkas.
"Buset deh Kam, rumah lo" Protesnya sembari memungut kardus kosong tersebut dan meletakkannya di dekat tempat sampah yang ada di dapur.
"Minimal bersihin sendiri kan bisa" Omel Rio layaknya ibu-ibu kompleks yang melihat anaknya berantakan.
"Lo kesini cuma buat ngomel?" Kama berjalan menuju sofanya dan merebahkan diri di atasnya. Bersandar dengan kepala menengadah dan mata terpejam.
"Pake baju napa Kam, geli tau nggak gue lihatnya" Rio yang sudah datang membawa dua buah piring dan dua buah bungkusan itu pun ikut mendudukkan diri di sebelah Kama.
Kama menatap Rio jahil, "enak gini, adem" lanjutnya dengan senyum nakal dan menunjuk adik kecilnya dengan dagu.
"Bikin gue ilang nafsu aja lo" Rio memilih mengabaikan Kama dan membuka makanannya.
Sebungkus nasi padang lengkap dengan rendang dan gulai singkong serta sambal ijo itu terlihat sangat menggiurkan.
"Pagi-pagi sarapan berat" Decih Kama kembali menyandarkan kepalanya.
"Pagi-pagi mata lo suek, noh lihat udah jam berapa, udah waktunya makan siang" Seloroh Rio sambil menyuapkan nasi padang ke mulutnya.
Kama tiba-tiba saja tergelak, membuat Rio yang sedang konsentrasi dengan makanannya pun berjingkat kaget. Dia menoleh ke arah Kama.
"Thanks bro" Kama masih tergelak dan Rio masih saja bingung. "Inilah gunanya sahabat" Kama menepuk pundak Rio dan bangkit dari duduknya, pergi ke kamarnya.
Dia jadi punya alasan untuk kembali mengirimi Hara pesan, meralat ucapan morning-nya menjadi afternoon or miss you?
Whatever
Yang penting ada alasan untuk di sampaikan.
kasih kesempatan sama Kama dong,buat taklukkin Hara😁😁
menjaga pujaan hati jangan sampai di bawa lari cowok lain🤣🤣🤣
Nggak kuat aku lihat Kama tersiksa sama Hara🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣
aku bakalan nungguin kamu yang bucin duluan sama Hara😁😁😁
tiba-tiba banget Pak Polici kirim buket bunga pagi' 😁😁😁😁😁
tapi kenapa tiba-tiba Hara telp ya????