bumi yang indah dan tenang seketika berubah menjadi zona tidak layak huni.
semua bermula dari 200 tahun lalu saat terjadi perang dunia ke II, tempat tersebut sering dijadikan tempat uji coba bom atom, sehingga masih terdapat radiasi yang tersisa.
selain radiasi ternyata itu mengundang mahluk dari luar tata Surya Kita yang tertarik akan radiasi tersebut, karena mahluk tersebut hidup dengan memakan radiasi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LiliPuy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
secerah harapan
Konvoi truk Tentara mengguncang jalanan di Kota Reksa. Debu mengepul dari aspal yang sudah retak. Chris dan Toni berdiri di sudut jalan, matanya terpaku pada kendaraan-kendaraan yang beriringan. Setiap truk berisi sesuatu yang tak biasa.
“Lihat itu!” Chris menunjuk ke arah radar besar di belakang salah satu truk. “Sepertinya mereka membawa alat yang aneh.”
Toni mengerutkan dahi, mengedarkan pandangannya. “Kenapa mereka harus membawa radar itu? Ada yang tidak beres.”
“Bisa jadi itu terkait dengan semua kejadian di Danau Elips. Kita harus mencari tahu lebih jauh.” Chris mengangguk penuh semangat, berusaha menutupi rasa cemas yang menggelitik di perutnya.
“Mari kita ikuti konvoi itu,” ucap Toni, nada suaranya menegaskan keputusan.
Mereka bergerak, menyusuri trotoar mengikuti truk-truk yang berderap berat itu. Jarak antara mereka dan konvoi semakin mendekat. Chris melirik ke kanan, memeriksa jalanan, memastikan tak ada tentara yang mengawasi. Mereka bersembunyi di balik sebuah bangunan tua, menunggu konvoi berhenti.
Truk terakhir tiba-tiba mengerem mendadak. Asap hitam mengepul, dan suara klakson meraung.
“Eh, kita harus cepat,” bisik Chris. “Semoga mereka hanya berhenti sebentar.”
Toni mengintip dari balik dinding, matanya mengawasi gerakan dari para prajurit yang mulai turun dari truk. Seragam hijau mereka kontras dengan debu kota. Perasaan menegangkan muncul, perlahan menyelimuti atmosfer.
“Gimana kalau kita lihat langsung?” Chris menggerakkan tangannya, mengisyaratkan agar Toni mengikuti.
“Kalau kita tertangkap, habislah kita,” jawab Toni, cemas.
“Risikonya harus kita ambil. Kita pun tak bisa tetap diam,” desak Chris.
Akhirnya, Toni menghela napas dalam-dalam dan mengangguk. Mereka berdua merangkak perlahan, menyelinap ke dekat tumpukan kotak-kotak di pinggir truk. Di sana, suara prajurit terdengar jelas.
“Radar ini untuk apa?” tanya salah satu prajurit sembari menyemprotkan air sabun ke bagian logam yang berkilau.
“Baru saja menjalani pemeliharaan. Kita harus memastikan semuanya berfungsi baik,” jawab komandannya, tampak tegas.
Chris dan Toni saling bertukar pandang. Suara mereka dipenuhi rasa curiga.
“Mereka pasti sedang mempersiapkan sesuatu,” bisik Chris.
Toni menatap tajam. “Mungkin mereka mencari tahu tentang radiasi yang muncul dari Danau Elips. Kita perlu memastikan.”
Menyadari waktu terus berjalan, Chris mengambil napi, jantungnya berdebar kencang. “Aku akan mencoba mendengar lebih dekat.”
“Chris, hati-hati…” Toni melirik ke sekeliling, waspada.
Chris mendekat, menyelinap di antara bayang-bayang. Dia dapat mendengar suara prajurit yang mendiskusikan sesuatu yang tidak jelas. Dengan hati-hati, dia berdesakan di balik kotak besar, bisa melihat radar yang bersinar. Seperti menarik ke arah lain, radar mengeluarkan bunyi bising, bergetar.
Beberapa prajurit memperhatikan radar dengan wajah serius. “Apa kau yakin sinyal ini berasal dari luar angkasa?” sebut prajurit itu.
“Sepertinya. Tapi kita tidak tahu pasti. Begitu banyak yang terjadikan di sini,” jawab rekannya. “Pokoknya, kita harus bersiap–”
Chris memfokuskan telinga. Sebuah kode? Dia mencatat dalam benaknya.
Toni yang mengamati dari kejauhan, mulai merasa cemas. “Chris, kita harus pergi. Jika mereka melihatmu…”
“Aku perlu tahu lebih banyak,” teriak Chris berbisik. “Sabar sedikit.”
Dengan resiko yang semakin besar, Chris harus lebih dekat. Suara radar semakin keras, membuatnya sulit konsentrasi. Kedua prajurit mulai membahas rencana dari unit Intelijen yang ingin mengambil alih radar.
“Kita butuh data ini. Jika bisa menemukan titik pusat sinyal, kita mungkin bisa mendapatkan informasi lebih berharga,” kata komandannya.
“Seharusnya Allan ada di sini, dia yang mengerti tentang sinyal ini,” kata prajurit lainnya sambil melirik ke arah radar.
Chris menahan napas. Nama Allan membangkitkan perhatian. Dia memang paham tentang radiasi yang mengelilingi Danau Elips.
“Jika kita menemukan sumber sinyal, kita akan segera melaporkannya ke Jenderal Fury,” ujar komandannya dengan nada tegas.
Chris bergerak mundur, hatinya berdebar. Dia harus memberi tahu Toni tentang ini. Dengan cepat, dia menyelinap keluar dari tempat persembunyiannya dan berlari kembali ke sisi Toni.
“Ada yang mengerikan!” Chris berbisik, suaranya bergetar.
“Semoga bukan latihan militer yang biasa lagi…” jawab Toni, masih menatap ke arah konvoi dengan ragu.
“Mereka sedang mencari sinyal dari luar angkasa. Radar itu bukan sekadar alat biasa. Dan Allan terlibat!”
Toni menarik napas dalam-dalam. “Kita tidak bisa hanya berdiri di sini. Kita harus mencari Allan sebelum mereka melakukannya.”
Chris mengangguk, bersiap untuk bergerak.
“Mari kita menuju markas, kita harus cepat,” kata Toni, penampilan serius tergambar di wajahnya.
Mereka berlari menyusuri gang sempit, menyusuri jalan-jalan Kota Reksa yang sepi.
“Saya tidak tahu, Chris. Sepertinya kita akan melawan seluruh pasukan,” kata Toni sambil mempercepat langkahnya.
“Bukan melawan, tapi menyelamatkan Allan dan mencegah mereka menemukan sumber sinyal itu,” jawab Chris, dengan yakin.
“Jika itu pesawat alien, artinya risiko kita semakin besar,” kata Toni, memicingkan mata melihat ke bagian langit, seolah pesawat alien itu siap meluncur kapan saja.
“Risiko selalu ada, kita tidak punya pilihan,” Chris berusaha menguatkan.
Ketika mereka tiba di depan markas, suasana semakin tegang. Terlihat beberapa tentara menjalani pemeriksaan, berlari ke sana kemari. Dalam hati, dia berharap Allan masih aman di dalam.
“Betul, caranya adalah dengan menyelinap masuk,” ucap Toni hampir berbisik.
Mereka memerhatikan setiap gerakan prajurit, mencoba menemukan celah untuk masuk.
“Lihat itu! Pintu samping!” Chris menunjuk ke arah pintu kecil yang hampir tersembunyi di balik tumpukan barang.
“Cepat, kita harus—”
“Sebentar! Ada prajurit,” Toni merapatkan tubuhnya, menahan Chris.
Mereka melihat seorang prajurit yang lebih tua berdiri di dekat pintu, berbincang dengan rekannya.
“Kita harus menunggu hingga mereka pergi,” Chris menegaskan.
“Berapa lama?”
Chris mengerutkan kening. “Hanya beberapa menit lagi.”
Dia mengamati botol minuman yang tergeletak di dekat kaki prajurit. Dia meraih botol itu, berusaha dengan cepat, lalu melemparnya ke arah yang berlawanan.
“Eh, apa itu?” prajurit itu berteriak, berbalik mengenali suara.
“Tepat saatnya,” Chris berbisik.
Dalam sekejap, mereka berlari cepat, menyelinap dan masuk melalui pintu samping yang terbuka.
Di dalam markas, aroma logam menyengat. Suasana mendekati tegang, suara mesin dan percakapan tentara memenuhi udara.
“Di mana kita bisa menemukan Allan?” tanya Toni, berusaha menenangkan nafsu ketakutannya.
“Ke ruang peta, mungkin,” Chris berasumsi, berjalan cepat menyusuri koridor sempit.
Mereka menemukan ruang peta yang terletak di bagian belakang markas.
“Ayo cepat!” Chris maju perlahan, mengamati sekeliling, mencari tanda-tanda Allan.
“Chris, lihat!” Toni menunjuk ke arah sebuah meja besar yang penuh dengan peta dan diagram. Di atasnya terdapat catatan tentang Danau Elips.
Mereka mendekat.
“Di sini, ada catatan dari Allan!” Chris menunjukkan sebuah dokumen yang tertutup rapat. Saat membacanya, wajahnya berubah tegang.
“Toni, lihat. Ini tidak hanya tentang radiasi. Dia menemukan sesuatu yang lain!”
“Seperti apa?”
“Dia menyebutkan senyawa yang berasal dari… luar tata surya,” jawab Chris, tertegun.
“Tapi ini bisa sangat berbahaya,” kata Toni, mengetuk-ngetukkan jari-jarinya di atas meja. “Kita harus memberi tahu dia.”
“Aku tidak tahu di mana dia sekarang,” keluh Chris, meraih kepalanya yang pening.