London, sebuah tempat yang menyisakan kenangan termanis dalam hidup Orion Brox. Dalam satu hari di musim panas, ia menghabiskan waktu bersama gadis cantik yang tak ia ketahui namanya. Namun, rupa dan tutur sapanya melekat kuat dalam ingatan Orion, menjelma rindu yang tak luntur dalam beberapa tahun berlalu.
Akan tetapi, dunia seakan mengajak bercanda. Jalan dan langkah yang digariskan takdir mempertemukan mereka dalam titik yang berseberangan. Taraliza Morvion, gadis musim panas yang menjadi tambatan hati Orion, hadir kembali sebagai sosok yang nyaris tak bisa dimiliki.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gresya Salsabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
One Day In London 32
Sampai dini hari, Tara belum bisa memejam. Meski tubuhnya sudah berbaring nyaman di ranjang, tetapi pikiran terus bertumpu pada kebersamannya dengan Olliver, beberapa jam yang lalu. Kalimat yang diucapkan Olliver terus terngiang, menyisakan tanda tanya besar yang tak bisa dipecahkan.
Sebenarnya apa maksud Olliver mengatakan hal itu?
Berulang kali batin Tara mengulang pertanyaan yang sama. Namun, sedikit pun ia tak bisa merangkai jawaban yang masuk akal.
"Ah, besok jadwal padat. Fitting baju, foto prewed. Harusnya aku bisa istirahat lebih awal, bukan malah terjaga sampai pagi begini. Kalau besok kusut gimana."
Usai menggerutu, Tara berdecak kesal. Lantas kembali miring ke kanan ke kiri mencari posisi yang nyaman. Sialnya, gagal. Perasaan masih tidak karuan. Kantuk pun tak kunjung datang meski berulang kali mencoba menutup mata.
"Udah jam dua, Tara, please ayo tidur," ucap Tara pada dirinya sendiri, seraya mengusap wajah dengan kasar.
Tara sangat kesal dan hampir habis kesabaran. Bisa-bisanya mata dan pikiran kompak membangkang, tak ada yang mau berkompromi. Benar-benar sial.
Entah sampai berapa lama Tara hanya guling-guling di ranjang, sampai sprei kusut dan berantakan karena gerakan yang kacau. Tara pun lupa jam berapa ia berhasil memejam. Terakhir kali melihat jam sudah pukul 04.00.
Tiba-tiba saja sekarang Tara terganggu oleh dering ponsel yang ada di atas meja, samping ranjang. Meski tidak nyaring, tetapi suaranya terus berulang dan enggan diam. Mau tidak mau, Tara pun bangkit dan meraih benda tersebut.
'Olliver', satu nama yang terpampang di layar.
Dengan mata yang masih sepat, Tara menerima panggilan tersebut.
"Sayang, apa kamu masih tidur?" Suara Olliver terdengar nyaring dari seberang.
"Udah bangun kok, tapi belum mandi," jawab atara dengan suara seraknya.
"Kalau gitu kamu mandi dulu gih, aku tunggu di meja makan. Sarapanmu udah kusiapkan. Nanti setelah itu kita langsung fitting baju dan foto-foto."
"Iya, tunggu sebentar, ya."
Tak lama kemudian, sambungan telepon berakhir. Tara kembali memegangi kepala dan memijit pelipisnya, terasa pening dan berat, pasti karena semalam tidurnya kurang.
Setelah pening di kepala sedikit berkurang, Tara menyalakan lagi ponselnya. Tepat pada saat itu mata Tara langsung melotot. Ia terkejut melihat angka yang menjadi penunjuk waktu—08:50. Sepuluh menit lagi sudah pas jam sembilan. Ia sudah telat satu jam dari waktu yang telah direncanakan.
"Sialan! Gara-gara semalam nggak bisa tidur, sekarang kesiangan," gerutu Tara dalam hatinya.
Persetan dengan mata sepat, punggung nyeri, atau kepala pening. Tara langsung meloncat turun dari ranjang dan berlari menuju kamar mandi. Ia keluarkan jurus mandi kilat yang kurang dari lima menit. Ganti bajunya pun tidak memakan waktu lama. Hanya sepuluh menit, sudah termasuk menyisir rambut dan merias wajah dengan make up tipis.
Dengan langkah yang tergesa-gesa, Tara keluar kamar dan langsung menuju meja makan. Olliver sudah menunggu di sana, duduk tenang sambil menikmati secangkir kopi.
"Maaf, aku bangunnya telat. Semalam sempat haus terus ambil minum, jadinya susah mau tidur lagi," ujar Tara sambil duduk di hadapan Olliver.
"Nggak apa-apa, santai aja. Baru jam sembilan kok, masih ada banyak waktu."
Ya, sisi baik mana lagi yang kurang dari seorang Olliver. Dia paling bisa mengerti Tara, tak sekali pun menyalahkan. Bahkan, senyum manis itu juga tak pernah hilang dari bibirnya.
Ahh, Olliver, beruntung sekali Tara mendapatkan lelaki sepertimu.
__________
Sesuai dengan rencana, seharian itu Tara dan Olliver disibukkan dengan persiapan pernikahan. Mulai dari fitting baju sampai foto prewedding.
Untungnya mereka sepakat pengambilan foto menggunakan tema indoor, dan hanya dua kali ganti pakaian. Jadi, bisa mempersingkat waktu. Namun, itu pun kelarnya sampai petang.
Kini, lelah dan letih merayapi tubuh keduanya. Sambil melihat hasil yang ditunjukkan fotografer, Tara dan Olliver kompak meneguk minuman, seakan tak sabar membasahi tenggorokan yang sejak tadi serasa kering.
"Sayang, menurutmu gimana? Udah oke, belum?" tanya Olliver.
Tara pun mengangguk-angguk. Hasil foto mereka memang bagus. Meski tidak glamour, tetapi terlihat elegan. Kesan romantisnya pula tampak jelas. Jadi, tidak perlu dipermasalahkan lagi.
Setelah Tara menyatakan kepua-sannya atas hasil barusan, sang fotografer pun berbincang dengan Olliver. Membahas tentang kisaran waktu untuk mencetak foto-foto tersebut.
Selagi menunggu mereka mengobrol serius, Tara mengambil ponsel dari dalam tasnya. Maksud hati hanya ingin melihat pesan dari Vavaco, mungkin saja ada hal penting seputar pekerjaan. Namun, yang ia dapati justru pesan dari nomor yang tak ada dalam daftar kontaknya.
"Ini ...." Tara membatin tanpa mengalihkan tatapannya dari layar. Sebaris kalimat yang tertera di sana, sukses membuatnya terkejut sampai hampir tak bisa berpikir jernih.
Bersambung....
semoga happy ending
Tapi semua nya terserah tangan author nya , author yng punya kuasa 🤭🤭😍😍
Apa ya yng di minta Orion
lanjut thor 🙏
Dan Tara prilaku mu mencerminkan hati yng sdng galau , kenapa juga harus mengingkari hati yng sebenarnya Tara