Ini tentang gadis ambigu yang berhasil merayakan kehilangannya dengan sendu. Ditemani pilu yang tak pernah usai menyapanya dalam satu waktu.
Jadi, biarkan ia merayakannya cukup lama dan menikmatinya. Walau kebanyakan yang ia terima adalah duka, bukan bahagia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Raft, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Luka milik Angkasa - 14
...Apa ada alasan untuk melindungi seseorang dengan cara menyakitinya? ...
...Pilihannya hanya dua. Kamu ini ingin melindungi, atau menyakiti? ...
***
Rai belum mau pulang, ketika tau jika Ibunya akan kembali ke Bandung sekarang. Rasanya ia ingin menghentikan waktu sebentar, untuk sekedar melihat Ibunya lebih lama dalam ingatan.
Sore ini Ibunya akan kembali ke dalam dekapan keluarga besar, untuk mendapat perhatian yang lebih besar pula, agar penyakitnya bisa tersingkirkan.
Pelukan hangat yang ia terima dari sang Ibu membuat hatinya sedikit terluka.
Kenapa pelukan sehangat ini harus sebagai tanda perpisahan? Ia takut merindu nantinya.
"Jaga diri baik-baik ya, Rai. Sekolah yang bener, biar bisa lulus dengan nilai yang memuaskan, sesuai yang kamu inginkan." Ucap Ibunya di dalam pelukan yang mereka ciptakan.
"Yang Rai pengen sekarang, cuman kesehatan Mamah aja."
Mamah melonggarkan pelukannya, dan mengusap pipi Rai penuh sayang. "Mamah bakal berusaha buat itu. Do'ain, ya?"
Rai mengangguk. "Itu pasti."
Mamah tersenyum, dan mulai melangkah ke arah Dikta juga Ananta yang akan menemani Rai selama dirinya tidak ada.
"Jangan jahil, ya? Bikin Rai betah tinggal sama kalian."
Dikta mengangguk mengiyakan, dan tersenyum cukup lebar, menampilkan gigi putihnya yang bertengger rapi di dalamnya. "Cepet sembuh ya, Tan!"
"Iya, Dikta. Terimakasih."
Dirasa sudah cukup, Gita-Ibu Rai mulai melangkah untuk masuk ke dalam mobil yang sudah dipanaskan oleh Sang Adik, Dilla.
"Hati-hati, ya!" Ucap Rai dan kedua sepupunya bersamaan.
Lambaian tangan mereka mengudara, mengantarkan mereka yang akan pergi meninggalkan, menjadi ikon perpisahan yang sering dilakukan.
Mobil putih ber-plat nomor Bandung itu mulai meninggalkan mereka. Membelah jalanan Ibu Kota untuk kembali pulang ke tujuannya.
Mata Rai masih betah merekam jalanan yang dilalui mobil yang ditumpangi Ibunya. Walau mobil itu sudah tidak terlihat oleh pandangannya.
Ketika ekor matanya tak sengaja melihat Rey yang berdiri di sebrang, membuat ia mengalihkan pandangan. Ia melihat Rey yang sedang melambaikan tangan ke arahnya, juga senyum yang Rey berikan kepadanya.
Rai membalas lambaian tangan, juga senyuman yang Rey berikan. Lalu setelah Rey mengangguk seolah mengatakan jika semuanya pasti baik-baik saja, senyumnya bertambah lebar.
"Masuk, yuk? Kita makan mie instan! Aku yang masakin." Ucap Ananta yang membuat perhatiannya teralihkan.
"Aku mending masak sendiri aja, ah! Dipasakin kamu rasanya selalu keasinan." Balas Dikta sembari menarik tangan Rai untuk masuk ke dalam.
"Cie, Nanta kepengen nikah, ya?"
Rai bermaksud menggoda, dan Ananta benar-benar merona.
Kentara sekali jika perempuan bersurai hitam itu sedang jatuh cinta.
"Mending aku aja deh yang masak. Ananta mah kalau masak selalu keasinan."
Rai mengangguk, menyetujui ucapan Dikta.
Karena pada nyatanya, Dikta lebih pandai mencipta rasa di dalam makanan daripada Ananta. Rai percaya karena ia pernah mencobanya.
Mereka kembali masuk ke dalam, sembari mengobrolkan hal random yang tiba-tiba terlintas di kepala. Mengubah pandangan Rai terhadap mereka, jika sepupunya tidak segila yang ia kira.
***
Angkasa Adiwarna.
Angkasa adalah bagian semesta yang paling Ibunya suka. Dan ketika ia ingin mengingat Sang Ibu dalam kepala, cukup ingat saja namanya. Karena kata Ibu, beliau selalu berada di angkasa, menjadi temannya kala sepi menyapa.
Semenjak Ibu tiada, Angkasa tidak pernah suka dengan hidupnya.
Terlebih ketika tau Ayahnya yang menurut Angkasa itu bajingan, tiba-tiba datang membawa keluarga barunya. Pasalnya, Ayahnya itu menikah ketika masih terikat dengan Sang Ibu yang masih ada, dan tanpa ijin darinya juga.
Padahal waktu itu Sang Ibu sedang berjuang melawan penyakitnya. Tapi Ayahnya sama sekali tidak mau peduli, dan malah sibuk mencari perempuan lain untuk ia nikahi.
Hal yang paling ia benci adalah ketika Ayahnya kembali datang dengan keluarga barunya, dan memaksa agar bisa tinggal bersama di rumah yang Ibunya berikan pada Angkasa sebelum beliau tiada.
Saat itu, tak ada yang bisa Angkasa lakukan selain mengiyakan. Karena Ayahnya yang kurang ajar itu bilang jika Ibunya lah yang menyuruh Ayah untuk kembali menikah.
"Mau gimana pun juga, dia tetap Ayahmu. Ibu mohon, jangan pernah membencinya."
Perkataan itu jugalah, yang membuatnya terpaksa untuk mengijinkan Sang Ayah untuk tinggal bersamanya, walau hatinya tidak pernah ikhlas untuk menerima itu semua.
Gesekan pintu rumah menjadi suara paling nyaring di telinganya sekarang. Itu membuat ia kehilangan fokus ketika sedang belajar untuk simulasi ujian hari senin nanti.
Tak lama, terdengar suara langkah yang mendekat ke arahnya. Dan ia sudah tau itu milik siapa.
"Tumben lo belajar?" Tanyanya dengan nada merendahkan.
"Biar pinter, lah! Emangnya elo. Ngejabat jadi ketos tapi otaknya cuman setengah."
Rindu berdecak kesal. "Bodo amat! Yang penting gue punya jabatan yang bisa disegani banyak orang."
Rindu adalah saudara tirinya. Anak dari hasil pernikahan kedua Ayahnya.
"Gimana lo aja. Orang gak tau malu emang selalu haus akan kuasa."
Angkasa membereskan bukunya, dan mulai bangkit untuk keluar. Ia akan ke rumah Rey untuk menenangkan hatinya yang selalu berantakan ketika Rindu ada di dekatnya.
"Mau kemana kamu, Sa? Bukannya belajar malah keluyuran." Ucap Ghania-Ibu dari Rindu.
Ini adalah salah satu suara yang paling Angkasa benci di dunia ini. Suara dari istri kedua Ayah. Dan ia tak pernah mau menganggap dia sebagai Ibunya. Ibunya hanya satu, dan akan selalu satu.
"Bukan urusan Anda."
"Lo yang sopan dong kalau ngomong sama Ibu!" Teriak Rindu menggelora.
"Dia bukan Ibu gue." Balas Angkasa yang disusul dengan suara gebrakan pintu setelahnya.
"Gak usah dipikirin ya, Bu? Dia 'kan dari dulu emang kayak gitu."
Ghania mengangguk ringan, dan setelahnya menghela napas panjang. Ia merasa lelah untuk meluluhkan hati Angkasa yang tak pernah mau mendengarkannya. Padahal ada hal yang harus ia bicarakan, tentang pesan yang Ibunya Angkasa titipkan padanya waktu itu.
***
^^^24-Mei-2025^^^