"Aku mencintaimu, Hayeon-ah. Mungkin caraku mencintai salah, kacau, dan penuh racun. Tapi itu nyata." Jin Seung Jo.
PERINGATAN PEMBACA:
Cr. pic: Pinterest / X
⚠️ DISCLAIMER:
· KARYA MURNI SAYA SENDIRI. Cerita, karakter, alur, dan dialog adalah hasil kreasi orisinal saya. DILARANG KERAS mengcopy, menjiplak, atau menyalin seluruh maupun sebagian isi cerita tanpa izin.
· GENRE: Dark Romance, Psychological, Tragedy, Supernatural.
· INI BUKAN BXB (Boy Love). Ini adalah BxOC (Boy x Original Female Character).
· Pembaca diharapkan telah dewasa secara mental dan legal.
©isaalyn
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon isagoingon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kembali ke Sangkar
Malam di penthouse Junho terasa sunyi, hanya cahaya lampu kota yang berkelap-kelip di balik jendela yang terkunci—seolah berusaha menerobos kesunyian yang mencekam.
Hayeon terbaring di kasurnya, matanya terbuka lebar, menatap langit-langit yang seolah tak berujung. Pikiran melayang, kosong—kelelahan mental dan emosional menggerogoti dirinya setelah pertemuan menyakitkan dengan Junho.
Psikopat itu, dengan cara yang kejam, memaksanya mengingat detail-detail paling menyakitkan dari hidupnya, merajut benang-benang penderitaan menjadi permadani yang indah—baginya, tentu saja.
Tiba-tiba, suara keras memecah keheningan. Bukan dari pintu, melainkan dari jendela berlapis kaca tebal yang seharusnya tak bisa dibuka.
BRRAAAK!
Sebuah bata besar, terbungkus kain, menerobos kaca, berhamburan ke lantai marmer. Debu dan serpihan kaca belum sempat mengendap, sosok yang akrab dan berotot melompat masuk—Jin Seung Jo.
Wajahnya dingin, penuh tekad, matanya menyapu ruangan dan langsung tertuju pada Hayeon yang terkejut—jantungnya berdegup kencang.
Dari ruang tamu, tawa Junho menggema. "Wah, Seung Jo-ah! Masuk lewat jendela? Kurang ajar sekali!"
Tapi Seung Jo—dia tak peduli. Langkahnya cepat, penuh tujuan, menuju kamar Hayeon. Dengan satu tendangan, pintu yang terkunci itu terobrak.
Hayeon terjerembab, mundur hingga menempel di dinding.
"Tidak...!"
Seung Jo tak membuang waktu. Tangannya yang besar meraih lengan Hayeon dengan kasar—seperti besi yang mencengkeram.
"Ayo."
"Lepaskan aku!" teriak Hayeon, berontak.
Namun, cengkeramannya begitu kuat, tepat di atas siku, hingga membuatnya kesakitan. Air mata mengalir deras, kali ini lebih karena rasa sakit fisik dan keputusasaan yang mendalam—bukan sekadar ketakutan.
"Aku bilang, ayo!" geram Seung Jo, menariknya paksa dari kasur.
Hayeon tersandung, hampir jatuh, tetapi cengkeramannya menahannya tetap berdiri. Dia diseret keluar dari kamar, melewati ruang tamu di mana Junho berdiri santai, seolah menikmati pertunjukan itu.
"Jangan terlalu kasar, Seung Jo," ujar Junho, suaranya bernada pura-pura khawatir.
"Bonekamu itu rapuh."
Seung Jo melemparkan tatapan tajam padanya.
"Ini belum berakhir, Junho."
"Tentu saja tidak," balas Junho sambil tersenyum, seolah permainan baru saja dimulai.
Tanpa kata lagi, Seung Jo menyeret Hayeon yang terus meronta dan menangis keluar dari penthouse, melalui tangga darurat—meninggalkan Junho dan reruntuhan jendela yang hancur.
Perjalanan pulang ke mansion terasa lebih mencekam dalam keheningan yang menyesakkan. Hayeon terus menangis, memegangi lengannya yang pasti akan membiru. Rasa sakit di lengannya tak ada artinya dibandingkan rasa sakit di hatinya—dicabut dari satu neraka, hanya untuk dilemparkan kembali ke dalam neraka yang sama.
Sesampainya di mansion, Seung Jo tidak membawanya kembali ke ruang bawah tanah. Dia menyeretnya ke sebuah kamar di lantai atas—lebih bersih, berperabotan sederhana, tapi tetap dengan kunci yang kuat di pintu. Hayeon terjatuh di lantai saat Seung Jo mendorongnya masuk.
"Dengarkan baik-baik," katanya, berdiri di ambang pintu, napasnya sedikit tersengal, tapi matanya tajam seperti pisau.
"Kau tidak akan pernah lagi mendekati Junho. Kau tidak akan pernah lagi mencoba melarikan diri. Hidupmu ada di tanganku. Aku yang memutuskan kapan dan bagaimana itu berakhir. Paham?"
Hayeon terdiam. Dia hanya duduk di lantai, tubuhnya terguncang oleh isak tangis yang hebat, memegangi lengannya yang sakit dan hatinya yang remuk. Dia—objek perebutan antara dua monster, dan tak peduli siapa yang menang, dia yang kalah.
Seung Jo menatapnya sejenak, wajahnya tak terbaca, sebelum akhirnya mengunci pintu dan pergi—meninggalkan Hayeon sendirian sekali lagi, dengan rasa sakit yang baru dan keyakinan bahwa tidak akan ada yang menyelamatkannya dari lingkaran neraka ini.