“Fiona, maaf, tapi pembayaran ujian semester ini belum masuk. Tanpa itu, kamu tidak bisa mengikuti ujian minggu depan.”
“Tapi Pak… saya… saya sedang menunggu kiriman uang dari ayah saya. Pasti akan segera sampai.”
“Maaf, aturan sudah jelas. Tidak ada toleransi. Kalau belum dibayar, ya tidak bisa ikut ujian. Saya tidak bisa membuat pengecualian.”
‐‐‐---------
Fiona Aldya Vasha, biasa dipanggil Fio, mahasiswa biasa yang sedang berjuang menabung untuk kuliahnya, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah karena satu kecelakaan—dan satu perjodohan yang tak diinginkan.
Terdesak untuk membayar kuliah, Fio terpaksa menerima tawaran menikah dengan CEO duda yang dingin. Hatinya tak boleh berharap… tapi apakah hati sang CEO juga akan tetap beku?
"Jangan berharap cinta dari saya."
"Maaf, Tuan Duda. Saya tidak mau mengharapkan cinta dari kamu. Masih ada Zhang Ling He yang bersemayam di hati saya."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ijah hodijah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5
Farhan yang memang satu tingkat di atas mereka hanya menggeleng sambil tersenyum tipis. “Udah biasa, Lin… kalau Fio nggak ngelucu sehari, dunia terasa aneh.”
Kevin, yang berdiri di samping Farhan, mengangkat alis. “Kamu kemana aja, Fio? Semua orang panik, tahu nggak.”
Fio mendengus pelan, lalu menjawab dengan nada santai khasnya. “Biasalah, Babang tampan… gue keserempet mobil. Dan kaki gue, aduh… sakit banget. Bukan lecet lagi keknya. Tapi lebih ke memar yang luar biasa.”
“Lo tuh… nggak hati-hati banget sih!” sahut Kevin sambil melangkah mendekat dan memperhatikan kaki Fio dengan khawatir.
“Udah jalannya, Bang Kev…” jawab Fio santai sambil nyengir. “Jalanan emang lagi jahat sama gue.”
Farhan memutar bola matanya. “Lo tuh… selalu bikin deg-degan. Untung nggak parah, Fio.”
Linda menghela napas panjang, lalu menatap Fio dengan mata berkaca-kaca. “Gue serius, Fio… jangan membuat kita khawatir kayak gini lagi, ya.”
Fio yang tadinya bercanda jadi terdiam sejenak. Ada kehangatan yang menyelinap dalam dadanya. Ia menatap ketiga sahabatnya satu per satu dan tersenyum tulus.
“Iya… Terima kasih ya. Gue bersyukur banget punya kalian.”
Mereka bertiga kini duduk melingkar di lantai kontrakan Fio yang mungil. Tikar tipis digelar, aroma minyak angin samar tercium dari kaki Fio yang masih dibalut perban elastis. Suasana mulai tenang, namun ada kesedihan yang perlahan menyelinap di antara canda mereka tadi.
Linda bersandar di dinding, menatap Fio penuh cemas.
“Jadi… lo serius, Fio? Mau cuti kuliah?”
Fio menarik napas panjang, menatap kosong ke arah lantai. “Mau bagaimana lagi… Gue terpaksa. Gue mau kerja dulu,” ucapnya lirih.
Kata-kata itu mengalir begitu saja, meski hatinya sendiri terasa mencelos. Ia masih sangat ingin lanjut kuliah—itu janji ke mendiang ibunya. Tapi realita menampar terlalu keras.
“Fio, jangan gila!” Linda langsung duduk tegak. “Kalau lo cuti sekarang, lo harus ngulang tahun depan! Lo lupa dosen galak yang nggak pernah kasih dispensasi?”
Farhan ikut bicara, nada suaranya tenang tapi tegas. “Linda benar, Fio. Cuti bukan solusi gampang. Lo udah tinggal sedikit lagi menuju semester akhir. Tiga semester lagi coba. Sayang banget kalau berhenti sekarang.”
“Gue tahu…” Fio memejamkan mata sesaat. “Tapi semua butuh uang, Han. Uang! Gue nggak punya siapa-siapa. Ayah juga—ya lo tahu sendiri, kan?”
Mereka terdiam sejenak. Hanya suara kipas angin kecil yang berderit pelan.
Tiba-tiba Linda berseru, “Bagaimana kalau kita… urunan aja?”
Mata Linda berbinar penuh semangat, seolah ide itu penyelamat.
Farhan dan Kevin saling pandang dengan ekspresi sulit. Farhan menunduk pelan. “Lin… lo tahu sendiri kondisi gue. Kiriman dari orang tua aja pas-pasan. Dan gue nggak boleh bekerja. Gue bisa bantu kalau gue hemat banget, tapi… itu pun nggak cukup buat uang ujian Fio.”
Kevin menggaruk tengkuknya, wajahnya sedikit malu. “Gue… lebih nggak bisa lagi, Lin. Setelah kejadian ribut di kampus itu, ortu gue cabut semua fasilitas. Sekarang gue ngontrak bareng Farhan aja udah untung. Gue lagi benerin hidup, Fi. Maaf ya…”
Nada suaranya tulus, tidak bercanda seperti biasanya.
Linda menggigit bibir. “Gue paling cuma bisa bantu… lima ratus ribu, Fi. Tapi itu pun… ya tetep nggak nutup, kan?”
Fio tersenyum tipis, berusaha terlihat kuat padahal hatinya remuk. “Kalian nggak salah apa-apa. Gue malah terharu banget kalian mau mikirin gue sampai segitunya.”
“Tapi—” Linda belum sempat melanjutkan, Fio menggeleng cepat.
“Nggak usah, Lin. Gue nggak mau nyusahin kalian juga. Kontrakan aja udah harus gue bayar dari setengah gaji gue paling tersisa seratus. Sekarang gue juga udah… nggak punya kerjaan lagi.”
Suara Fio bergetar di akhir kalimatnya. Ia menunduk dalam, menahan air mata agar tidak tumpah.
Farhan menghela napas panjang, lalu meraih bahu Fio dengan lembut. “Kita nggak akan tinggal diam, Fio. Kita cari jalan bareng, ya? Jangan nyerah sekarang.”
Fio mengangguk pelan, meski matanya sudah berkaca-kaca. Dalam hati kecilnya, ia bertanya lirih—apa benar masih ada jalan untuk mimpiku?
Ketiga sahabatnya itu bukan tidak mau membantu lebih lagi selain kadang membantu untyk makan, tapi mereka juga banyak kegiatan di kampus. Mereka ikut organisasi.
***
Malam harinya, kontrakan kecil Fio sunyi. Lampu belajar di meja belajarnya satu-satunya sumber cahaya, menyorot tumpukan buku, map kampus, dan segelas air putih yang sudah dingin sejak sore. Di luar, suara jangkrik bersahutan pelan, sesekali diselingi suara kendaraan lewat jauh di jalan besar.
Fio duduk sendirian, mengenakan baju tidur pendek kesayangannya. Rambutnya digerai seadanya, wajahnya terlihat lelah tapi matanya penuh keraguan. Di depannya, layar laptop menyala menampilkan halaman kosong dokumen kampus—surat permohonan cuti kuliah.
Tangannya sempat menggantung di atas keyboard. Ia menarik napas panjang, lalu mulai mengetik perlahan.
“Kepada Yth. Bapak/Ibu Dekan Fakultas… Dengan hormat, saya Fiona Aldya Vasha, mahasiswa semester lima, bermaksud mengajukan cuti kuliah…”
Kata demi kata muncul di layar, tapi setiap kalimat terasa berat, seperti menuliskan akhir dari mimpi yang sudah ia perjuangkan bertahun-tahun.
Fio berhenti mengetik. Matanya mulai berkaca-kaca.
“Bu… maaf ya…” bisiknya lirih.
Ia teringat pesan ibunya sebelum meninggal:
"Kalaupun nanti ibu nggak ada, Fio harus tetap lanjutk kuliah ya. Ibu percaya kamu bisa."
Air matanya jatuh begitu saja. Ia buru-buru menyeka, tapi tangisnya tak bisa dibendung.
“Aku sudah berusaha, Bu… Tapi semuanya susah banget sekarang…”
Fio bangkit perlahan dari kursi, berjalan ke arah jendela kecil kontrakan dan menatap langit malam.
“Kalau aku berhenti sekarang… semua perjuangan ini sia-sia.”
Tapi suara realita berbisik pelan di telinganya — "Tapi kamu juga butuh uang, Fio."
Ia kembali duduk. Kursor di layar laptop berkedip-kedip, seolah mengejek kebimbangannya.
Fio menutup wajahnya dengan kedua tangan. Dalam hati kecilnya, ada jeritan tak terdengar ... Aku tidak mau menyerah... Tapi aku juga tidak tahu harus mulai dari mana lagi."
Setelah lama terdiam, ia akhirnya menyimpan draf surat itu tanpa mengirim.
“Mungkin besok… aku akan pikirkan lagi,” gumamnya lirih.
Malam ini, Fio tertidur dengan kepala bersandar di meja, di samping laptop yang layarnya perlahan meredup. Surat cuti kuliah itu tersimpan… tapi belum tentu dikirim.
***
Sore harinya, Fio baru saja sampai di kontrakan setelah pulang kuliah. Dia tetap pergi kuliah walaupun tidak ada harapan untuk ikut ujian.
Fio baru saja duduk ketika terdengar suara mobil berhenti di depan kontrakannya. Ia berjalan terpincang ke pintu, membuka sedikit tirai, dan terkejut begitu melihat sosok Bu Rania berdiri sambil menenteng tas belanja besar.
“Bu Rania…?” gumam Fio pelan.
“Fio sayang, kebetulan saya lewat sekalian mampir. Kemarin kan saya cuma antar kamu pulang sampai depan aja,” sapa Bu Rania dengan senyum hangat khas ibu-ibu yang pandai mengambil hati.
Fio buru-buru merapikan rambutnya lalu membuka pintu lebar.
“Iya, Bu… ayo masuk.”
Bu Rania masuk sambil melirik sekeliling kontrakan mungil itu. Ia memang sudah tahu tempat tinggal Fio, hanya saja waktu itu belum sempat mampir karena hari sudah malam.
“Wah, lumayan rapi ya. Saya pikir anak muda seperti kamu bakalan berantakan,” ujar Bu Rania terkekeh kecil.
“Hehe... Tetap aja kalau lagi sibuk berantakan, Bu,” sahut Fio. Dia tidak ingin dilihat terlalu rapi karena takutnya ada saatnya rumahnya sedang berantakan. Tapi sebenarnya dia memang tidak bisa berantakan sedikit, ibunya selalu mengingatkan. Perempuan itu harus rapi. Takutnya nanti kamu kerja di orang gak bisa rapi. Kalau belajar dari sekarang kamu bisa kepake sama orang yang mau menerima pekerjaan kamu.
"Iya sih... Saya juga begitu. Walaupun ada bibi kadang kala ada berantakannya." Jawabnya. "Oh iya. Motor kamu sudah diantar sama bengkel ya?" ia teringat dengan motor Fio yang dibawa orangnya ke bengkel saat kejaduan juga.
"Iya bu. Sudah dari kemarin. Terima kasih banyak..."
"Sudah. Gak usah berterima kasih. Saya yang salah."
Bu Rania kemudian menatap Fio dengan sorot mata seolah sedang memikirkan sesuatu.
“Fio, besok kamu kosong, gak? Saya mau minta tolong kamu datang ke rumah saya, bantu masak-masak sedikit. Kita makan-makan.”
Fio terdiam sejenak.
“Bantu masak, Bu?” tanyanya memastikan.
Bersambung