NovelToon NovelToon
Bersamamu Menjadi Takdirku

Bersamamu Menjadi Takdirku

Status: sedang berlangsung
Genre:nikahmuda
Popularitas:87.4k
Nilai: 4.8
Nama Author: Windersone

YAKIN GAK MAU MAMPIR?
***
Berkaca dari kehidupan rumah tangganya yang hancur, ibu mengambil ancangan dari jauh hari. Setelah umurku dua tahun, ibu mengangkat seorang anak laki-laki usia enam tahun. Untuk apa? Ibu tidak ingin aku merasakan kehancuran yang dirasakannya. Dia ingin aku menikah bersama kak Radek, anak angkatnya itu yang dididik sebaik mungkin agar pria itu tidak melakukan kesalahan yang sama seperti yang dilakukan oleh suaminya, ayahku, padanya. Namun, ibu lupa, setiap manusia bukan binatang peliharaan yang bisa dilatih dan disuruh sesuka hati.

Meskipun aku hidup berumah tangga bersama kak Radek, nyatanya rasa sakit itu masih ada dan aku sadari membuat kami saling tersakiti. Dia mencintai wanita lain, dan menikah denganku hanya keterpaksaan karena merasa berhutang budi kepada ibu.

Rasa sakit itu semakin dalam aku rasakan setelah ibu meninggal, dua minggu usai kami menikah. Entah seperti apa masa depan kami. Menurut kalian?

Mari baca kisahnya!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Windersone, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Seharian Membantuku

🦋🦋🦋

Sepasang suami-istri ini, Maya yang ternyata istri Raga, membawa kami menuju rumah mereka yang dibeli menggunakan uang yang mereka kumpulkan sebelum menikah, tidak hanya biaya untuk pernikahan. Cerita mengenai mereka yang tidak aku ketahui selama empat tahun ini sudah diceritakan oleh mereka di kantin rumah sakit tadi. 

Sesekali Raga tampak memperhatikan kami dari cermin yang ada di atasannya dengan tangan mengemudikan mobil dan di sampingnya ada Maya yang tengah memainkan ponsel. 

Senyuman aku tunjukkan, sadar pria yang pernah mengungkapkan perasaannya padaku itu masih tidak percaya aku kembali. 

“Hati-hati mata,” sindir Maya dengan mata menatap layar ponsel. 

“Lihat, kebiasaannya  tidak berubah sejak dulu Galuh. Malahan, cerewetnya itu lebih parah sekarang, apalagi semenjak hamil,” adu Raga kepada. 

“Kebiasaannya juga tidak berubah, dia selalu mengadu hal yang tidak penting,” balas Maya, membuatku ingat akan mereka yang lebih sering bertengkar masa kuliah dulu. 

“Sudah … kalian sama saja,” ucapku, tertawa ringan. 

Sekitar lima menit setelah perdebatan itu, kami sampai di sebuah rumah yang lumayan bagus, tidak besar dan tidak kecil. Maya menuntun kami memasuki rumah ikut dengan Raga kembali membawa mobilnya keluar dari pekarangan rumah, kembali ke perusahaan tempatnya bekerja. 

Tadi Raga ke rumah sakit hanya menjemput Maya pemeriksaan ke rumah sakit.

Setelah memasuki rumah itu, aku melihat beberapa foto pernikahan Raga dan Maya. Sedih sekali aku tidak hadir di sana. Bagaimana bisa hadir? Melarikan diri dari ayah saja sulit.

“Duduk. Aku akan siapkan minuman untuk kalian,” kata Maya dan berjalan ke dapur. 

Selagi wanita itu membuat minuman di dapur, aku menghampiri, dan memperhatikan foto-foto di atas meja dan di dinding ruang tamu rumah itu. Di salah satu foto pernikahan mereka terselip sosok Kitty, adik kak Karina.

“Ini. Minum dulu,” kata Maya, datang dengan cepat membawakan minuman di atas nampan dan disajikan di atas meja.

“Kitty juga hadir di pernikahanmu?” tanyaku. 

“Iya. Saat itu dia kembali ke sini hanya untuk hadir di acara pernikahanku. Hmm … ngomong-ngomong, kamu akan tinggal di mana jika tidak di rumah Om Zidan?” tanya Maya sambil duduk di samping Riza, membelai rambut anak itu. 

Aku kembali duduk. 

“Kamu dan Raga bisa mencari kontrakan murah di sekitar sini? Untuk sementara aku ngontrak dulu dan akan buka usaha kecil-kecilan nanti. Kamu bisa membantuku, kan?” 

“Tinggal di sini saja,” kata Maya. 

“Tidak mungkin. Untuk satu hati bahkan satu minggu, mungkin bisa, tapi tidak mungkin untuk selamanya, kan?” tanyaku sambil tersenyum dan menaikkan kedua alisku beberapa kali. 

“Nanti aku hubungi Raga,” setuju Maya. 

***

Raga dan Maya  bisa diandalkan. Setelah mereka membantuku menemukan kontrakan dengan cepat, mereka juga membantuku mendirikan usaha kecil-kecilan yang sudah aku pikirkan sejak dulu. Dalam satu hari, semuanya kelar dan tugasku tinggal menjualnya. 

Semalam kami cari kontrakan, akhirnya aku tidak perlu menginap di rumah mereka. Pagi ini, Maya menemaniku membeli gerobak dan bahan-bahan roti yang akan aku dagangkan mulai sore ini. Selain itu, aku juga akan menjual minuman. Melelahkan, tetapi aku tidak kalah semangat demi Riza dan masa depanku. 

Modalnya cukup besar karena aku harus membeli alat dapur dan alat masak. Untungnya Maya mau meminjamkan aku uang untuk modal itu. Kini, di kontrakan, aku menyiapkan barang daganganku. Apa yang aku jual? Sejenis roti dan kue dengan berbagai rasa yang akan dimodifikasi dengan mode dan rasa kekinian. Selain itu, aku juga menjual minuman dingin berbagai rasa. Semua dimulai dari kecil-kecilan. 

Setelah beres menyiapkan barang daganganku, Maya membantuku mengantar semua barang-barang itu ke gerobak yang ditaruh di tepi jalan di mana banyak penjual lain yang menjajakan dagangannya di sana. Selain itu, ada poster yang aku siapkan dan aku pampangan di samping gerobak itu. 

"Selamat bekerja," ucap Maya dengan tangan menunjukkan tangan yang dikepal, memberikan semangat. "Kalau begitu, aku kembali ke rumah, mau istirahat. Ini, kamu bisa gunakan untuk menjualnya secara online juga," kata Maya sambil menyodorkan sebuah plastik, di mana di dalamnya ada kotak ponsel. "Kamu bisa pasang, kan?"

"Maya ... kamu sudah banyak membantuku," kataku, terharu. 

"Tidak apa-apa. Aku yakin kamu bisa sukses. Nanti baru bayar. Kita belanja segala keperluan hari ini, tapi lupa membeli ponsel. Jadi, aku tadi beli secara sembunyi-sembunyi, anggap saja ini hadiah," kata Maya, begitu baiknya.

Aku memeluk Maya erat. 

"Jangan begitu erat, kasian anakku, aku juga sudah sedikit lelah," canda Maya. "Kalau begitu, aku pulang. Bye-bye!" Maya berjalan menuju mobilnya, memasuki, dan mengemudikannya. 

***

Kini hari sudah menunjukkan pukul delapan malam. Jika dihitung, sudah empat jam aku menjajakan jualanku dan lumayan, sudah separuh daganganku yang habis. Kebanyakan yang membelinya anak remaja dan anak kuliahan Mendengar pendapat mereka, sepertinya mereka suka. 

“Beli, Mbak. Yang pakai keju dan coklat,” kata seorang pria yang berdiri di depan gerobak.

Bukannya bergerak mengambil pesanan pria itu, aku kalah diam tercengang. Bibirku tersenyum ringan kepada pria itu yang ternyata adalah Pasha. Pria ini banyak berubah, sudah memakai kacamata seperti orang kutu buku. 

“Pasha,” kataku. 

“Ternyata perkataan Raga benar, kamu di sini,” kata Pasha sambil mendekatiku dan memelukku. 

Riza tertawa ringan, menarik perhatian kami kepada bocah itu yang duduk di bangku yang sebelumnya aku duduki untuk beristirahat. 

“Ini putramu dan Kak Radek?” tanya Pasha, membuatku diam sedikit kaget. 

“Raga menceritakannya kepadaku saat dia berada di kantor polisi. Dia bilang kalau k–,” terpotong. 

Perkataan Pasha sengaja aku potong mendengar pria itu Raga dan kantor polisi. 

“Kantor polisi?” tanyaku dengan raut wajah penasaran.

“Raga pernah masuk penjara beberapa bulan karena kasus narkoba, dia dijebak oleh Nandes dan teman-temannya waktu itu,” cerita Pasha.

Sejenak memoriku berputar ke waktu empat tahun lalu, di mana Raga pernah menghubungiku ketika pria itu berada di bar Matahari. Hal yang aku takutkan ternyata terjadi juga. 

“Sudah! Jangan berpikir banyak. Bagaimana daganganmu?” tanya Pasha sambil mengajakku duduk, sedangkan dirinya berdiri di sampingku. 

“Lumayan,” balasku. 

“Mau itu …! Aria mau roti coklat.” Anak laki-laki yang kemarin memanggil kak Radek ayah menarik tangan seorang pria ke arah daganganku setelah keluar dari mobil yang terparkir tidak jauh di sisi kanan daganganku, sepertinya anak itu belum tahu aku penjualnya. 

“Sabar ….” Pria itu berusaha melepaskan tangan anak itu dan menggandengnya, membawa anak itu menghadap daganganku. 

Sejenak pria yang tampak sebaya dengan kak Radek itu menatapku dengan dahi sedikit mengerut, tampak tercengang dalam langkah pelannya sampai akhirnya berdiri di sampingku dan Pasha. 

“Tante …,” panggil bocah laki-laki itu yang tadi aku dengar anak itu menyebut namanya Aria. 

“Hai …!” sapaku sambil melambaikan tangan. 

Kemudian, aku kembali mengarahkan pandangan pada pria itu yang sudah mengubah ekspresinya, terlihat sedikit senyuman di bibirnya. 

“Ini Tante yang kemarin menolongku.” Bocah laki-laki itu keceplosan dan langsung menutup mulutnya dengan kedua tangan bersama wajah kaget. 

1
Tinny
semoga mereka baik2 sajaa
Mulyana
lanjut
Yan Ika Dewi
Next
Mulyana
lanjut
Tinny
sangat membagongkan😂
dag dig dug dorrrr
Tinny
update teruss thorr biar ga bolak balik lagi kyak setrikaan nengokin noveltoon ga muncul2.. bagua banget ceritanya
Bertalina Bintang
kok belum ada nextnya thor?
Bertalina Bintang
belum post nextnya thor
Tinny
kapan update thor
Bertalina Bintang
weeew... uhuuuiii...
Hafizah Al Gazali
thor buat mereka berdua bahagia yaaa,sdh cukup galuh menderita thor,kasian galuh
Bertalina Bintang
bolak balik nunggu klanjutannya
Hafizah Al Gazali
ceritamu penuh dgn misteri thor,vi aku sukaaaa
Tinny
lanjutt truss thor😍
Arya Bima
ya ampun Galuh..... mau smpe kpan km bertahqn dgn Radek yg lagi n lagi sll percaya hasutan org lain dri pda istri sndiri....
jelas² bnyak yg tak mnginginknmu bersanding dgn Radek.... msa iya Radek g paham².... sll mnuduh tanpa mncari tau kebenarannya....
capek sndiri hidupmu Galuh.... klo harus berjuang sndiri...
Arya Bima
jgn smpe tak terungkap dalang yg sesungguhnya...... sangat tak adil untuk Galuh jga ayahnya.... harus mnanggung smua ksalahn dri org lain...
Tinny
sungguh membagongkan
Bertalina Bintang
jangan2 bpknya radek pelakunya
Mulyana
lanjut
Arya Bima
siapa laki² itu ya.... smoga bukan hal yg akn mnambh beban pikiran galuh ...
tidak cukup kah penderitaan yg di alami Galuh slm ini.....??
tak pantaskah Galuh untuk bahagia n mnjadi perempuan yg jauh dri segala fitnahan jga hinaan dri org lain...
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!