🍁Ketika kesetiaan diragukan, nasib rumah tangga pun mulai dipertaruhkan.
-
-
Bukan pernikahan impian melainkan sebuah perjodohan. Aini harus menikah dengan anak dari sahabat lama Ayahnya atas permintaan sang Ayah yang tengah terbaring lemah dirumah sakit.
Berbeda dengan Aini yang berusaha menerima, Daffa justru sebaliknya. Dinginnya sikap Daffa sudah ditunjukkan sejak awal pernikahan. Meskipun begitu Aini tetap mencoba untuk bertahan, dengan harapan mereka bisa menjadi keluarga yang samawa dan dapat menggapai surga bersama.
Dan ketika cinta itu mulai hadir, masa lalu datang sebagai penghalang. Keutuhan cinta pun mulai dipertanyakan. Mampukah Aini bertahan ditengah cobaan yang terus menguji kesabaran serta mempertahankan keutuhan rumah tangganya?
📝___ Dilarang boom like, menumpuk bab apalagi sampai kasih rating jelek tanpa alasan yang jelas. Silahkan membaca dan mohon tinggalkan jejak. Terimakasih 🙏🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fajar Riyanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32 : Hanya gertakan.
Suasana rumah terasa begitu hangat karena kedatangan kedua mertuanya. Bahkan Devita sengaja mengajak Aini pergi berbelanja ke supermarket supaya suasana hati menantunya sedikit membaik, sementara Arya memilih menunggu di rumah sambil menonton televisi di ruang tengah.
Tadi pagi Dina menelfon dan memberitahukan jika kakak dan kakak iparnya semalam tidur terpisah, jelas saja Devita tidak bisa membiarkan hal itu terjadi lama-lama. Meskipun dia tidak tau dengan pasti duduk permasalahannya dan sengaja juga tidak ingin bertanya karena tidak ingin terlalu ikut campur urusan rumah tangga putranya, tapi Devita bisa menyimpulkan jika ini pasti ada hubungannya dengan kehadiran Celine kembali.
Dan saat ini Aini dan Devita tengah memasak didapur dengan dibantu oleh seorang asisten rumah tangga bernama Bi Inah. Sementara Dina sudah berangkat ke kampus sejak tadi pagi tak lama setelah Daffa pergi.
Aini membawa mangkuk berisi sop iga sapi yang baru dia masak dan meletakkannya di atas meja makan. Ketika akan kembali ke dapur langkahnya tertahan saat mendengar suara mobil memasuki halaman rumah.
Disisi lain, Daffa yang baru saja memarkirkan mobilnya bergegas turun dan masuk ke dalam rumah untuk mencari keberadaan sang istri.
"Daffa." panggil Arya saat melihat putranya itu datang.
Nafasnya tersengal-sengal karena saking paniknya, Daffa mengernyitkan keningnya saat melihat papanya tengah duduk manis di sofa ruang tengah rumahnya.
"Papa? Apa yang Papa lakukan disini?"
"Kamu sendiri ngapain pulang?" bukannya menjawab Arya malah balik bertanya, "Kangen sama istri ya?" godanya.
Sama sekali tidak ingin menanggapi gurauan papanya, Daffa kembali mengedarkan pandangan ke setiap sudut ruangan untuk mencari keberadaan sang istri. "Aini dimana?"
"Ada... Didapur sama mama kamu," jawabnya santai tanpa mengalihkan pandangannya dari layar televisi.
Aini yang mendengar suara suaminya pun bergegas melihat ke ruang tengah, dan benar saja saat ini dia melihat Daffa sudah berdiri disana, "Mas..."
Mendengar suara yang selalu dia rindukan itu menyapanya, Daffa pun menoleh dan melihat Aini yang baru saja keluar dari arah dapur. Segera dia mendekati sang istri.
"Assalamualaikum," ucapnya saat Aini menyalaminya.
"Wa'alaikumsalam Mas, kok tumben pulang jam segini?" meskipun masih marah, Aini tidak ingin menunjukkannya didepan mertuanya yang ada disana, cukup jika sedang berdua saja dia bersikap dingin pada suaminya.
Arya yang mendengar obrolan pasangan suami istri itu pun berdehem, "Ehem... Tadi sama Papa main nyelonong-nyelonong aja, giliran sama istrinya ngucap salam,"
Lagi-lagi Daffa enggan menanggapi celotehan papanya. Melihat wajah sang istri yang tidak menunjukkan ekspresi marah atau kecewa, hatinya pun mulai bertanya-tanya, mungkinkah Aini belum melihat pesan yang dikirimkan oleh Celine?
"Mas kirim pesan sama kamu tapi nggak dibales, jadi Mas pulang karena khawatir," tak sepenuhnya bohong juga, tapi dia memang khawatir, khawatir Aini sudah melihat pesan yang dikirimkan oleh Celine.
Aini nampak berfikir sebentar, "Oh itu, aku nggak sempat pegang handphone Mas, handphone aku ada dikamar. Tadi aku habis ke supermarket sama Mama dan ini lagi masak buat makan siang. Mas mau sekalian makan dirumah?"
Daffa terpaksa mengangguki meskipun sebenarnya dia sudah makan tadi, "Iya, tapi Mas mau ke kamar dulu ya, mau cuci muka,"
Hanya alasan itu yang bisa dia pakai sekarang supaya bisa segera masuk ke kamar dan mengecek handphone istrinya. Sebenarnya Daffa tidak bermaksud ingin berbohong, hanya saja jika Aini melihat foto dan video itu pasti hatinya akan sangat sakit.
Memang semua ini salahnya yang membiarkan foto dan video itu ada. Harusnya malam itu dia langsung saja mendorong tubuh Celine, tidak peduli mau terjungkal atau bagaimana, yang penting dia tidak menyakiti hati dan perasaan Aini.
Namun kini nasi sudah menjadi bubur, dan mungkin malam itupun dia sendiri masih bimbang dengan perasaannya. Tapi saat melihat Aini mengabaikan dan mendiamkannya seperti sekarang, dia sadar jika dia tidak bisa kalau harus tanpa Aini disisinya.
Dan begitu melihat handphone milik istrinya ada di atas meja, Daffa segera mengambil dan mengecek isinya. Sialnya, dia tidak mendapati ada pesan dari Celine disana, hanya ada pesan darinya dan dari Hana yang memang belum sempat dibuka.
"Bagaimana bisa, apa Celine membohongiku jika sebenarnya dia tidak mengirimkan pesan apapun pada Aini?"
Berbagai pertanyaan terus bermunculan di benaknya, sekali lagi dia mengecek tapi memang tidak ada pesan dari Celine disana. Atau mungkin ini hanya gertakan Celine saja, tapi biar bagaimanapun dia tetap harus waspada.
"Kamu lagi ngapain, Mas? Sudah cuci mukanya?"
Suara Aini mengagetkannya, dia memejamkan matanya sebentar sebelum berbalik untuk menatap istrinya. Rasanya dia sudah seperti maling yang sedang kepergok mencuri, tapi sebisa mungkin dia berusaha untuk tetap bersikap tenang supaya Aini tidak curiga. Jujur dia takut jika Aini akan semakin kecewa jika mengetahui tentang video dan foto-foto itu.
"Belum sayang, ini Mas baru mau cuci muka tapi denger handphone kamu bunyi. Kamu cek aja dulu, ada pesan dari Hana, siapa tau penting," jawabnya seraya mengulurkan handphone milik Aini yang ada ditangannya.
Aini tersenyum sembari berjalan mendekat, diraihnya handphone miliknya dan diletakkannya kembali ke atas meja, "Nanti saja Mas, yang lain sudah menunggu di bawah untuk makan siang, ayo kita turun sekarang,"
Jika dilihat dari ekspresi Aini yang terlihat begitu santai, sepertinya memang Celine tidak mengirimkan pesan apapun pada istrinya ini. Untuk bercerita sekarang tentang ancaman Celine juga rasanya tidak mungkin, terlebih sedang ada orang tuanya juga disana. Selain itu, Daffa tidak ingin melihat senyum yang baru saja terbit itu kembali menghilang. Meskipun dia tau jika Aini hanya berpura-pura senang karena sedang ada orang tuanya juga.
Daffa mengusap lembut kepala Aini, sungguh dia selalu merindukan momen seperti ini. Momen dimana dia bisa menatap mata indah itu seperti sekarang ini, saling menatap dengan kehangatan. Berharap waktu akan berhenti di detik ini juga.
"Ya udah, Mas cuci muka sebentar ya,"
Kali ini Daffa benar-benar masuk ke dalam kamar mandi untuk mencuci mukanya. Begitu bayangan suaminya sudah tidak terlihat lagi, Aini menatap pada handphone miliknya yang ada diatas meja. Dia menghela nafas pelan, senyum diwajahnya pun perlahan ikut memudar. Ada perasaan yang sulit untuk diungkapkan, tapi dia tetap mencoba bersikap tenang meskipun dia tau jika saat ini hatinya tidak baik-baik saja.
...💧💧💧...
. tapi aku ragu celine bakal sadar sebelum dapet karma instan🤧🤧