Seorang wanita mendatangi klinik bersalin di tengah malam buta. Wanita itu meringis menahan rasa sakit. Sepertinya dia ingin melahirkan.
Setelah mendapatkan pertolongan dari Bidan, kini wanita itu menunggu jalan lahir terbuka sempurna. Namun, siapa sangka ia akan di pertemukan oleh lelaki yang sengaja ia hindari selama ini.
"Lepas, Dok! Aku tidak butuh rasa kasihan darimu, tolong jangan pernah menyakiti hatiku lagi. Sekarang aku tak butuh pria pengecut sepertimu!" sentak wanita itu dengan mata memerah menahan agar air mata tak jatuh dihadapannya.
"Alia, aku mohon tolong maafkan aku," lirih lelaki yang berprofesi sebagai seorang Dokter di sebuah klinik bersalin tempat Alia melahirkan. Lelaki itu menatap dengan penuh harap. Namun, sepertinya hati wanita itu telah mati rasa sehingga tak terusik sedikitpun oleh kata-kata menghibanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Risnawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Usaha Evi
Evi memasuki kamarnya dengan hati kesal sembari menghempaskan botol minum itu di atas meja.
"Kamu kenapa?" tanya Bimo pada istrinya sembari meraih botol minum itu, lalu membuka tutupnya.
"Mau apa kamu?" ucap Evi merebut botol minum itu.
"Aku mau minum, emangnya kenapa?"
"Minum ini." Evi menyerahkan botol minum yang satunya lagi.
Bimo menatap tak mengerti. "Jangan bilang bahwa itu mengandung racun," ucapnya memastikan.
"Ya, aku sudah memasukkan racun pada minum ini. Sepertinya wanita gila itu selalu saja mempunyai firasat saat kita ingin mencelakainya. Apakah benar dia mempunyai malaikat pelindung? Dan apakah Papa ingat bubur yang dia makan waktu itu? Lihatlah, sampai sekarang dia sehat tak berdampak apapun," ucap Evi kesal.
"Aku rasa seperti itu. Apakah kita perlu menyuruh seseorang untuk menyingkirkannya?" tanya Bimo meminta pendapat sang istri.
"Tunggu dulu, Pa, aku akan membuktikan sendiri. Akan aku pastikan wanita itu memakannya di hadapanku," ucap wanita baya itu masih belum percaya.
Sementara itu, Alia masih menikmati potongan buah mangga yang ada di hadapannya. Hanan masih fokus menyajikan dua gelas jus mangga.
Alia beranjak dari tempat duduknya. Ia menuju kompor, lalu menghidupkannya. Alia memasak air.
"Mau ngapain, Dek?" tanya Hanan saat melihat sang istri seperti sedang mencari sesuatu di dalam lemari gantung.
"Aku, aku ingin masak mie instan," jawab Alia sedikit takut.
"Kamu lapar?"
Alia hanya menjawab dengan anggukan. Hanan memintanya untuk duduk.
"Ayo kamu duduklah, aku akan memasak sesuatu untukmu. Kamu tidak boleh makan mie instan, itu tidak baik untuk kesehatan," ucap Hanan melarang.
"Tapi, aku hanya ingin mie instan. Yasudah, kalau begitu aku tidur saja," ucap Alia tampak murung.
"Ah baiklah, ayo kamu duduk. Biar aku saja yang memasaknya." Hanan tak sampai hati.
"Tidak, aku bisa memasaknya sendiri. Tolong jangan terlalu mengkhawatirkan aku, Dok. Bukankah kamu sendiri yang mengatakan bahwa aku sudah sembuh?" ucap Alia yang mendapat tatapan dalam dari Hanan.
"Tapi, Alia?"
"Tapi kenapa? Apakah aku masih gila?"
"B-bukan, bukan begitu maksud aku..."
"Sudahlah, Dok. Aku sudah bisa mengurus diriku sendiri. Bahkan aku juga bisa mengurusi dirimu," ucap Alia dengan senyum lembut.
Hanan menjadi salah tingkah, jantungnya berdegup kencang saat melihat senyum itu lagi. Senyum yang telah lama hilang.
"Ya, baiklah. Kalau begitu aku juga mau dibuatkan olehmu," ucap Hanan sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Alia kembali meneruskan pekerjaan. Hanan hanya bisa memperhatikan sang istri sembari menikmati jus buatannya sendiri.
Terlihat wanita itu begitu fokus. Hanan tersenyum bahagia. Ia benar-benar bersyukur karena Alia sudah sembuh. "Aku berjanji Alia, setelah ini tidak akan ada lagi air mata yang jatuh di pipimu. Aku akan menukarnya dengan kebahagiaan dan senyum manis yang selalu menghiasi bibirmu," gumam Hanan dalam hati sembari mengamati aktivitas sang istri.
Alia menyajikan dua mangkuk mie instan. Sepertinya ia sudah rindu dengan makanan sederhana yang dapat menunda lapar itu.
"Wah, sepertinya enak nih," seru Hanan yang bersiap untuk menyantapnya.
Alia hanya tersenyum tipis sembari duduk berhadapan dengan lelaki itu. Pasangan itu makan dengan tenang.
"Apakah terlalu asin?" tanya Alia sedikit tidak yakin dengan selera sang suami.
"Tidak, ini sudah cukup enak," jawab Hanan jujur. "Selain pandai masak mie instan, kamu pasti juga bisa masak yang lainnya 'kan?" tanya Hanan.
"Ya, sedikit-sedikit," jawab Alia apa adanya.
Tak ada lagi percakapan, mereka menghabiskan makanan masing-masing. Setelah itu kembali ke kamar untuk melanjutkan tidur.
Pagi-pagi sekali Resha dan Hendra sudah tiba di kediaman Hanan. Resha sengaja datang lebih awal sebelum Hanan berangkat. Ia tidak percaya dengan orang rumah itu selain Hanan yang memang tulus menyayangi Alia.
Seperti biasanya, Hanan menitipkan Alia pada Resha, dan meminta Resha untuk mengingatkan Alia meminum obatnya tepat waktu. Sebelum beranjak Hendra kembali mewanti-wanti sang istri.
"Sayang, ingat selalu pesan aku. Jangan makan apapun sebelum mengetahui siapa pelakunya," ucap Hendra sedikit berbisik.
"Yaelah, pengantin baru udah panggil sayang-sayangan aja," ejek Hanan sembari menyenggol bahu Hendra.
"Iyalah, kamu nggak boleh angek. Teruslah berjuang hingga kebahagiaan datang menghampiri," jawab Hendra tak kalah membuat Hanan lebih angek.
Setelah duo dokter itu berangkat, Resha dan Alia masih ngobrol di balkon. Resha melihat Alia sudah jauh lebih baik. Alia merespon segala pertanyaan Resha.
"Res, Kemaren boneka kamu ketinggalan," ucap Alia.
"Boneka?" tanya Resha tak paham.
"Iya, kata Dokter, itu boneka kamu ketinggalan."
"Oh ya ya, aku lupa. Nanti akan aku bawa pulang."
"Oya, Alia, apakah kamu mengingat segala pesan dariku?" tanya Resha.
"Pesan apa? apakah tentang makan dan minuman?"
" Ya benar, kamu tidak memakan apapun selain buatan dari Hanan 'kan?"
"Ya, aku masih ingat. Emang ada apa Resha? kenapa aku tidak boleh makan dari yang lainnya?" tanya Alia sangat penasaran.
"Nanti kamu akan tahu sendiri, Alia, yang penting sekarang kamu harus mengikuti kata-kataku."
Saat mereka sedang asyik ngobrol, terdengar suara ketukan pintu dari luar. Resha segera membukakan pintu kamar itu.
"Hai, Tan," sapa Resha tetap ramah.
"Hai, mana Alia?" tanya Evi sembari melongok kedalam mencari keberadaan Alia.
"Alia di balkon. Ada apa, Tan? Aku sedang membawa Alia ngobrol," ucap Resha memberi tahu.
"Oh, nanti saja ngobrolnya disambung kembali. Tante ingin bicara penting dengan Alia sebentar," ucap Evi yang membuat hati Resha tidak tenang.
"Iya, t-tapi, Tan?"
"Kenapa, Resha? apakah ada yang salah bila Tante ingin bicara dengan anak menantu Tante? Tante sangat senang melihat Alia sudah mulai sembuh," potong Evi yang segera masuk menuju balkon.
"Alia!" panggilnya menghampiri wanita itu yang sedang duduk santai.
"Bu," jawab Alia sedikit terkejut dengan kehadiran wanita baya yang biasanya tak pernah membawanya bicara.
"Apakah kamu punya waktu untuk bicara sebentar dengan Mama?" tanya Evi sembari tersenyum manis.
"Ya, tentu saja. Silahkan duduk Bu." Alia tampak begitu sungkan.
"Oh tidak disini. Kita bicara di taman belakang saja yuk. Sekalian Mama ingin minta pendapat kamu tentang makanan yang Mama pesan dari salah satu aplikasi. Kita akan coba bersama-sama. Apakah kamu mau?" tanya Evi yang membuat Alia tak mampu menolak.
"Baiklah, Bu." Alia mengangguk sembari mengikuti langkah Evi.
Resha tampak begitu cemas melihat Alia mengiyakan permintaan wanita baya itu. Resha tak akan membiarkan Alia memakannya. Resha semakin kuat menaruh curiga dengan pasangan baya itu yang memang berniat ingin mencelakai Alia.
"Ayo duduk Alia," ucap Evi tersenyum manis mempersilahkan Alia untuk duduk.
"Bik! Bibik!" panggil Evi pada Art.
"Ya Nyonya!"
"Bawa kemari makanan yang saya pesan tadi!" titah.
"Oya, sekalian jus mangga yang saya buat tadi ya, Bik!"
"Baik, Nyonya." Bibik Segera membawakan permintaan wanita itu.
"Nah, ini dia Alia. Mama juga baru kali ini mau cobain, kira-kira enak nggak ya. Kalau lihat iklannya kayaknya enak banget," ucap Evi sembari unboxing.
Alia hanya mengangguk dengan senyum ramah menanggapi ucapan Mama mertuanya sembari mengamati aktivitas wanita baya itu.
"Oya, Alia, ini jus kesukaan kamu. Ini sengaja Mama yang membuatkan untuk kamu. Tapi sebelum itu mari kita coba dulu aneka cemilan ini," ucap Evi menyerahkan segelas jus jeruk pada Alia.
Alia hanya bisa mengangguk, ia kembali mengingat ucapan Resha, namun, rasanya tidak mungkin bila Mama mertuanya ada niatan buruk padanya. Lagipula ia tidak mungkin menolaknya.
"Bagaimana Alia, apakah enak?" tanya Evi.
"Ya, enak, Bu," jawab Alia dengan jujur. Makanan itu terasa gurih dan renyah, ditambah ada rasa pedasnya sedikit.
"Ayo minum jusnya Alia, mumpung segar."
"Jangan Alia!" ucap Resha menahan gelas yang ada di tangan Alia.
Bersambung....
Happy reading 🥰