Adaptasi dari kisah nyata sorang wanita yang begitu mencintai pasangannya. Menutupi segala keburukan pasangan dengan kebohongan. Dan tidak mau mendengar nasehat untuk kebaikan dirinya. Hingga cinta itu membuatnya buta. Menjerumuskan diri dan ketiga anak-anaknya dalam kehidupan yang menyengsarakan mereka.
Bersumber, dari salah satu sahabat yang memberi ijin dan menceritakan masalah kehidupannya sehingga novel ini tercipta untuk pembelajaran hidup bagi kaum wanita.
Simak kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaQuin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17. Gagal Lamaran
Bab 17. Gagal Lamaran
POV Airin
Tiba juga acara lamaran Lola hari ini. Sedari pagi aku, Umi, Tante Ayu, Tante Neneng dan beberapa keluarga Lola lainnya sibuk masak di dapur. Dan sekarang hari mulai menjelang sore, kami sedang menunggu kedatangan keluarga Jemin yang katanya akan datang jam 4 sore ini.
Semua sudah rapi dan siap. Sampai jam 5 sore ternyata mereka belum datang juga.
"La, jadi datang apa nggak? Sudah kamu konfirmasi belum?" Tanya Tante Neneng.
"Tadi pagi sudah tahu kok, sudah teleponan sama Jemin."
"Tapi kok belum datang juga?" Tanyaku.
"Aku juga nggak tahu. Dari tadi aku coba telepon nggak di angkat. Pesan ku juga nggak di baca."
Jelas Lola yang sama seperti kami, terlihat gelisah.
"Jangan ke Jemin nya aja. Coba telepon ke Mamanya atau adiknya."
Kataku setengah kesal. Benar-benar nggak ada inisiatifnya si Lola.
"Halo Suly?"
"Loudspeaker." Ujar ku dengar kode berbisik.
Lola pun menuruti perintahku. Beberapa yang dekat dengan kami pun bisa mendengar pembicaraan Lola dengan adiknya Jemin.
"Suly, kalian belum siap kah?"
"Siap apa kak?"
Loh, kok gitu? Kok dia malah balik tanya? Aku pun mulai curiga.
"Datang kesini." Kata Lola ragu-ragu.
"Kemana Kak?"
Nah loh?!
"Ngelamar Kakak. Jemin nggak ada bilang ya?"
"Nggak ada Kak. Ko Jemin masih tidur belum bangun. Tadi dia pulang pagi jam delapan. Terus langsung tidur dan belum bangun sampai sekarang. Kayaknya tadi malam dia begadang."
Astagfirullah... Bener-bener!
Lola terdiam. Ada genangan air di pelupuk matanya. Pasti lah dia sedih hari ini bisa di pastikan acara lamaran akan batal! Dari pada bersedih seperti Lola, justru aku malu mendengarnya. Kelakuan si Jemin emang luar biasa!
Dari sini harusnya kamu bisa lihat La, lelaki yang sangat kamu cintai itu seperti apa.
"Tolong bangun dia Suly. Dan Kakak mau bicara sama Mama boleh?" Ujar Lola menahan tangisnya.
"Bentar aku kasih ke Mama dulu hapenya."
Terdengar derap langkah Suly mencari keberadaan Mamanya.
"Ma, Kak Lola mau ngomong."
"Lola? Tumben nelpon kamu. Halo La, ada apa?"
"Ma, harusnya tadi jam 4 Jemin dan keluarga datang ke rumah Lola buat melamar."
"Hah melamar?! Serius La?"
Suara Mamanya Jemin terdengar terkejut.
"Keluarga Lola udah kumpul disini nungguin Mama dan keluarga datang."
"Kok Jemin nggak ngasi tahu sih? Dia kemarin sih memang ada bilang mau melamar kamu. Tapi dia nggak bilang kapan. Mama kira dia asal bicara aja."
"Hari ini harusnya Ma, jam 4 sore."
"Anak itu bener-bener selalu menyepelekan urusan! Ngomong nggak jelas lagi. Maaf ya La. Kalau boleh Mama minta waktu ,lusa ya La. Mama juga perlu ngasi tahu keluarga Mama yang lain untuk mendampingi ke rumah kamu, bertemu keluarga mu."
Lola menatapku meminta jawaban. Sedangkan aku menaikkan bahuku, karena bukan ranah ku untuk menjawab. Ada Om Rino dan tetua lainnya yang berhak untuk memutuskan.
"Tanya Om mu." Ucapku datar dengan berbisik di depannya, menahan sabar.
Pastinya nggak hanya aku yang kecewa dan marah dengan kelakuan Jemin disini. Pasti yang lainnya juga sama. Apalagi kami sejak kemarin sudah sibuk merapikan rumah. Subuh berbelanja dan langsung masak di pagi hari untuk menyambut kedatangan yang ternyata nggak datang-datang. Sudah tubuh lelah, di taburi kekecewaan pula dan harus menunggu lagi esok lusa.
Lola pun beralih memandang Om Rino yang kebetulan juga mendengar pembicaraan di telepon itu. Wajahnya terlihat takut dan Om Rino pun terlihat membuang napas kasar.
" Mau gimana lagi. Ya sudah." Jawab Om Rino pelan agar nggak terdengar orang tua Jemin.
"Baik Ma. Kalau bisa kabari Lola ya Ma. Jangan lewat Jemin deh, takut jadi seperti ini lagi."
"Iya. Sekali lagi, Mama mohon maaf sama keluarga mu dan juga kamu ya La."
"Iya Ma."
"Kalau begitu teleponnya Mama tutup. Mama mau ceramahin si Jemin itu!"
"Iya Ma."
Panggilan pun berakhir begitu saja tanpa salam karena memang Jemin dan keluarganya berbeda kepercayaan dengan kami.
Kasak kusuk pun terjadi. Lola pun di ceramahi Om Rinonya.
"La, kamu jangan sepenuhnya memercayakan segala sesuatunya kepada calon suami mu itu. Hari ini, pembelajaran buat kamu. Karena besok, bulan depan, atau tahun berikutnya, kamu nggak tahu apa yang mungkin terjadi jika melihat kecerobohan calon suami mu ini nanti. Komunikasi itu penting La. Bukannya antara kamu dan Jemin saja, tapi jika bersangkutan dengan hal yang besar, libatkan juga keluarga. Kabari kami atau Mamanya Jemin. Tanya pendapat kami para orang tua. Kira bicarakan ini untuk kebaikan kamu." Jelas Om Rino panjang lebar.
"Biasanya nggak gini kok Om. Jemin itu baik sebenarnya. Mungkin dia kecapek'an, Om. Lagian juga Mamanya tadi bilang lusa kesini kan Om. Jadi bukan berarti dia nggak tanggung jawab mau lamaran."
Astaga Lola! Masih aja berusaha membela si Jemin itu! Capek?? Udah mau jadi calon Bapak masih begadang sampai pagi dan menyepelekan urusan lamaran hari ini. Kamu bilang dia capek La?! Kerja lembur dapat duit boleh kamu bela! Ini cuma begadang ngumpul tanpa ada hasil masih aja kamu bela?! Nggak habis pikir aku!
Aku hanya bisa menjerit dalam hati. Dongkol, kesal tingkat dewa! Bahkan Om Rino pun lagi-lagi membuang napas panjang dan menoleh ke lain. Harusnya Lola itu peka. Di nasehati malah belain yang salah. Bener-bener keras kepalanya itu nggak ada obatnya. Masih dibutakan rasa cinta bodohnya yang sudah mengakar sampai dasar.
Dimana rasa tanggung jawab yang baru saja kamu sebut itu La?! Si Jemin itu, Emaknya aja nggak di kasih tahu mau lamaran. Usulan mau datang lamar lusa kan ide Emaknya si Jemin bukan si Jemin pe'ak itu!
Sia-sia aku dan yang lain sibuk dari subuh. Lola sih enak main hape dari sejak bangun tidur. Terus lusa harus sibuk lagi seperti hari ini. Awas aja kalau batal lagi!
Akhirnya hidangan yang kami siapkan pun di santap kami semua beramai-ramai. Sisanya di panaskan untuk sarapan besok paginya.
Aku dan Umi berserta Abang dan anak-anak pun pulang ke rumah kami. Membawa yang nggak ada hasilnya.
Sesampai di rumah, aku dan Umi membahas lagi kelakuan si Jemin. Dan ternyata, sedari di sana tadi Umi menahan kekesalannya dan baru menumpahkannya setelah bercerita dengan ku di rumah ini.
"Besok-besok jangan di biasakan meminjamkan lagi duit sama dia. Biar dia berusaha untuk cukup dengan gaji yang dia terima tiap bulan."
"Mana cukup gajinya kecil Bang." Kataku bukan membela tapi kata Lola ya begitu, gajinya kecil.
"Kalau boros ya nggak cukup lah. Kalau tiap mau makan, jajan."
Benar juga. Apalagi kalau Lola selalu membayarkan makanan si Jemin itu. Sudah pasti gajinya nggak akan cukup.
"Abang bilang begini, biar dia bisa berubah. Bisa ngatur keuangan dengan baik. Sebentar lagi dia mau jadi Ibu dan cowoknya itu jadi Bapak. Pasti pengeluaran mereka akan lebih lagi dari sebelum menjadi orang tua." Jelas Abang.
Benar kata Abang. Aku sendiri sudah merasakan besarnya biaya pengeluaran setelah memiliki keluarga. Kalau nggak bisa ngatur, memilah dan memilih mana yang baik, sudah pasti aku menjerit kesulitan.
Bersambung...
Jangan lupa dukung Author dengan like dan komen ya, terima kasih 🙏😊
mayan buat iklan biar gk sepaneng kebawa pikiran yg lg ruwet🤭🤣