“Jika aku berhasil menaiki takhta ... kau adalah orang pertama yang akan ku buat binasa!”
Dijual sebagai budak. Diangkat menjadi selir. Hidup Esma berubah seketika tatkala pesonanya menjerat hati Padishah Bey Murad, penguasa yang ditakuti sekaligus dipuja.
Namun, di balik kemewahan harem, Esma justru terjerat dalam pergulatan kuasa yang kejam. Iri hati dan dendam siap mengancam nyawanya. Intrik, fitnah, hingga ilmu hitam dikerahkan untuk menjatuhkannya.
Budak asal Ruthenia itu pun berambisi menguasai takhta demi keselamatannya, serta demi menuntaskan tujuannya. Akankah Esma mampu bertahan di tengah perebutan kekuasaan yang mengancam hidupnya, ataukah ia akan menjadi korban selanjutnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ASS13
7 bulan silam.
“Aylin, pergilah ke pasar. Temui Abdullah, pedagang kain dari Ruthenia. Titipkan surat ini padanya. Katakan, bahwa surat ini sangat penting dan harus sampai ke tangan Esma secepat mungkin. Sekarang ... Esma pasti cemas menunggu berita tentang kelahiran pangeran.”
Setelah melewati masa nifasnya, Khadijah baru memiliki tenaga untuk kembali melakukan rutinitasnya. Ia merindukan saat-saat ketika tangannya lincah menenun jubah indah untuk Bey Murad, atau ketika ia bisa dengan leluasa mengirimi surat untuk saudarinya, Esma, yang berada jauh di Ruthenia. Kelahiran pangeran membawa kebahagiaan besar, namun juga membatasi geraknya untuk sementara waktu. Kini, dengan pulihnya kesehatan, ia ingin segera berbagi kabar baik ini dengan orang-orang terdekatnya.
Aylin menerima surat itu sambil menunduk sopan. “Baik, Khadijah Hatun. Apakah ada pesan lain?”
Khadijah menggeleng seraya tersenyum lembut. “Tidak ada. Berhati-hatilah di jalan, Aylin.”
Aylin pun segera meninggalkan ruangan, dan berganti pula dengan kehadiran Mansur Ağa.
“MashaAllah ...,” ucapnya dengan kagum. “Bahkan setelah melahirkan seorang pangeran, kecantikan Khadijah Hatun tidak berkurang sedikit pun.”
Khadijah tersenyum tipis. “Terima kasih, Mansur. Ucapanmu menenangkan hati ini. Tapi, apa gerangan yang membawamu kemari? Adakah sesuatu yang mendesak?”
Bibir Mansur Ağa perlahan-lahan tersenyum lebar. “Saya diutus Baginda untuk menyampaikan pesan. Malam ini, beliau menunggu Anda di kamarnya.”
Seketika rona merah menyapu pipi Khadijah. “Benarkah?” tanyanya pelan, seperti tak percaya.
Mansur menahan tawa kecil. “Sepertinya Baginda sangat merindukan Anda, Khadijah Hatun.” Ia menunduk hormat sebelum berbalik pergi, meninggalkan Khadijah yang kini menunduk malu—antara bahagia dan gugup menghadapi malam yang akan datang.
.
.
“Apa katamu? Malam ini Baginda memanggil budak rendahan itu lagi ke kamarnya?!” seru Yasmin dengan raut murka.
Safiye segera menunduk, tak memiliki keberanian menatap mata wanita dengan sorot mata mematikan.
“Benar, Hatun. Berita itu datang langsung dari Mansur Ağa,” ujar Safiye hati-hati. “Orang kita yang berjaga di depan kamar budak itu, mendengar sendiri perintah tersebut ... lalu segera mengabarkannya padaku.”
Rahang Yasmin mengeras. Jemarinya mencengkeram kuat kain sutra di pangkuannya.
“Sialan! Mau sampai kapan Baginda mengabaikan diri ini?! Tak cukup kah ia mendapatkan satu pangeran saja dari perempuan rendahan itu?!” Yasmin mendengus.
Dadanya naik-turun, panas sekali hatinya membayangkan suaminya akan memeluk Khadijah malam ini — sementara tubuhnya sendiri telah berbulan-bulan tak tersentuh oleh Bey Murad.
Namun, semua itu bukan tanpa sebab. Baginda memang sengaja menjauh darinya, hukuman atas sikap Yasmin yang kerap melanggar tata krama istana.
Bangun kesiangan, malas-malasan memberi salam kepada keluarga kerajaan, mengecap keras saat makan, menyahut ketika dinasihati, dan yang paling fatal—memperlakukan para selir lain dengan semena-mena, terutama Khadijah.
Dan sore itu, Yasmin benar-benar tak tahan lagi.
Sejak pagi amarahnya belum juga reda. Kini bara itu makin menyala ketika ia melangkah ke kamar Ibu Suri, berniat mencari simpati—namun yang didapat justru pemandangan yang membuat dadanya sesak, wanita tua itu tengah menimang Pangeran Ahmad, dikelilingi adik-adik Baginda yang tertawa bahagia.
Yasmin tertegun di ambang pintu. Senyum palsu yang tadi ia siapkan untuk Ibu Suri langsung lenyap, digantikan seringai sinis.
‘Sialan! Bukankah mereka sangat keterlaluan? Bersuka cita di atas penderitaanku,’ geramnya dalam hati, matanya memicing ke arah Khadijah yang berdiri anggun di dekat jendela. ‘Tapi, lihat saja, bersenang-senanglah kalian sepuasnya hari ini ... karena esok, hidup kalian akan terasa seperti di neraka!’
Dan malam itu, ketika Khadijah bermalam di kamar Bey Murad, Yasmin pun menjalankan niat keji yang sejak siang ia pendam rapat-rapat.
Ia menunggu dengan sabar, hingga Aylin keluar kamar untuk memanggil ibu susu yang akan menyusui Pangeran Ahmad. Begitu langkah pelayan itu menghilang di tikungan lorong, Yasmin segera memberi isyarat pada dua penjaga pintu yang tak lain adalah orang-orangnya sendiri—untuk membiarkannya masuk.
“Buka pintunya,” titahnya.
Begitu Yasmin masuk ke ruangan, pintu kamar pun segera ditutup. Tak ingin membuang waktu, Yasmin melangkah cepat ke arah ranjang pangeran.
Di bawah cahaya temaram, wajah mungil Pangeran Ahmad tampak begitu tenang—tertidur lelap di hadapan iblis berwujud manusia yang siap mengincar nyawanya.
“Wajahmu teramat sangat mirip dengan ibumu, Pangeran.” Yasmin menyeringai, sudut bibirnya bergerak-gerak. “Maafkan aku, Ahmad ... jangan terlalu membenciku, ya, hihihi ... selamat tidur pangeran kecil.”
Ia mengambil bantal di sisi ranjang, menutup wajah Pangeran Ahmad, kemudian menekannya tanpa ragu. Tak ada suara selain napasnya sendiri yang memburu—hingga akhirnya, segalanya benar-benar sunyi.
...***...
Kepergian Pangeran Ahmad meninggalkan duka yang mendalam bagi keluarga kerajaan, terutama Khadijah. Hari-harinya menjadi kelam. Ia tak banyak bicara, lebih sering duduk di dekat jendela sambil memandangi taman istana yang sepi dengan sudut mata yang tak pernah mengering.
Meskipun tiga minggu telah berlalu, namun luka itu belum juga kering—terlebih saat kabar datang bahwa Baginda Bey Murad harus berangkat ke medan perang.
“Tabahlah, Hatun,” ujar Aylin lembut sambil mengusap punggung tuannya. “Pangeran pasti tak ingin melihatmu bersedih terus.”
Khadijah menatap Aylin dengan mata sendu, namun sedikit senyum mulai muncul di bibirnya. “Andai aku sekuat yang kau kira, Aylin ....”
Hari berganti minggu, dan minggu pun berganti bulan, perlahan-lahan kesedihan itu mulai berangsur reda. Kehadiran Ibu Suri dan adik-adik Baginda yang kerap datang menghibur, membuat hati Khadijah sedikit lebih tenang.
Hingga suatu pagi, dua tabib perempuan yang ditugaskan memeriksa para selir setiap bulan—saling pandang dengan senyum lebar.
“Hatun ....” Salah satu tabib menunduk dengan hormat, nada suaranya sarat akan kebahagiaan, “kami punya kabar baik. Sepertinya, Allah kembali menitipkan kehidupan di dalam rahimmu.”
Khadijah tertegun, kedua tangannya refleks menutup mulut. “Apa ... aku mengandung?”
“Ya, Hatun,” jawab tabib satunya lagi penuh suka cita. “Usianya masih sangat muda, tapi, tanda-tandanya jelas. Selamat.”
Air mata Khadijah langsung menetes. Namun kali ini, bukan lagi air mata akibat duka—melainkan karena haru bahagia yang membuncah.
Khadijah menatap ke langit-langit, ia berbisik lirih, “Alhamdulillah ... Terima kasih, Ya Rabb ... yang maha pemberi.”
Namun, kabar bahagia itu tak butuh waktu lama untuk sampai ke telinga yang salah. Salah satu pelayan yang berjaga di depan kamar Khadijah diam-diam menyelinap pergi, membawa berita itu kepada Safiye.
Dan begitu Safiye menyampaikannya pada Yasmin, wajah wanita itu memucat sebelum akhirnya memerah oleh amarah.
“Apa kau bilang? Khadijah ... hamil lagi?!” suaranya meninggi. Ia bangkit dari kursinya, menggertakkan giginya hingga rahangnya menegang. “Tidak! Ini tidak mungkin!”
Yasmin mencengkram erat sandaran kursi, matanya berkilat marah. “Setelah bersusah payah aku menyingkirkan putranya dari dunia ini, dan dia dengan mudahnya mengandung lagi?! Apa sundal itu gila?! Apa dia menantang ku?!”
Safiye mengangkat alisnya. “Sepertinya, Khadijah memang menantang Anda, Hatun.”
Wajah Yasmin bergetar menahan amarah yang merambat dari dada hingga ke kepala. “Berani sekali ... seorang budak ....”
Yasmin tak melanjutkan kata-katanya. Ia hanya melangkah ke meja rias, mengambil secarik kertas dan menulis sesuatu untuk ayahnya—Rustum Pasha. Setiap goresan penanya seolah menyalurkan amarahnya yang membara. Kata-kata yang ia rangkai adalah permintaan mendesak, permohonan bantuan yang tak bisa ditolak. Ia membutuhkan tangan-tangan kuat dan setia, orang-orang yang tak akan ragu melakukan apa pun demi dirinya.
Setelah selesai, ia melipat surat itu dengan rapi dan menyerahkannya pada Safiye. “Pastikan surat ini sampai ke tangan ayahku sendiri.”
Safiye mengangguk patuh dan segera bergegas menuju kediaman Perdana Menteri. Membawa surat yang berisi permintaan mendesak Yasmin kepada ayahnya, yakni untuk segera mengirimkan dua prajurit kepercayaan. Orang-orang terlatih, setia, dan mampu menjaga rahasia. Mereka akan menjadi tangan kanannya dalam rencana yang sedang ia susun. Rencana untuk memastikan bahwa Khadijah dan bayi yang dikandungnya tidak akan pernah menjadi ancaman baginya.
“Khadijah ... Khadijah ... tak lama lagi, kau pun akan segera menyusul putramu ke neraka, hahaha!”
*
*
*