Caca dan Kiano memutuskan untuk bercerai setelah satu tahun menikah, yaitu di hari kelulusan sekolah. Karena sejak pertama, pernikahan mereka terjadi karena perjodohan orang tua, tidak ada cinta di antara mereka. Bahkan satu tahun bersama tak mengubah segalanya.
Lalu bagaimana ceritanya jika Caca dinyatakan hamil setelah mereka bercerai? Bagaimana nasib Caca selanjutnya? Mampukah ia menjalani kehamilannya tanpa seorang suami? Dan bagaimana reaksi Kiano saat tahu mantan istrinya tengah mengandung anaknya? Akankah ia bertanggung jawab atau justru sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon desih nurani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 32
Bugh!
Sebuah tinjuan mendarat di wajah Kiano sampai pemuda itu terhuyung kebelakang. Tentu saja Ferry lah pelakunya karena merasa tak terima Kiano berada di apartemen putrinya setelah apa yang pemuda itu lakukan.
Tias dan Bik Nur yang menyaksikan kejadian tak terduga itu pun kaget bukan main.
"Brengsek! Ngapain lagi kamu di sini?" Semburnya seraya menarik baju Kiano dan hendak melayangkan tinjuan kedua. Beruntung Caca muncul lebih dulu.
"Papa stop!" Teriaknya yang berhasil menghentikan pergerakkan sang Papa.
Ferry menatap Kiano penuh permusuhan, lalu mendorongnya dengan kasar sampai Kiano terjatuh ke lantai. Caca pun langsung membantu Kiano bangun.
"Mas." Tias mengelus lengan suaminya. "Jangan emosian gitu dong, kasian Kiano."
"Dia pantas dapatin itu, setelah apa yang dia perbuat masih punya muka datangin anak kita? Lelaki macam apa dia?" Kesal Ferry dengan napas memburu. Mungkin ia tak akan samarah ini jika saja Caca tak dibuat hamil oleh pemuda itu.
Caca berbalik, lalu ditatapnya sang Papa lekat. "Pa...."
"Ca, kita ngobrolnya sambil duduk ya?" Ajak Mama memotong ucapan Caca karena tahu Caca akan mendebat Papanya. Alhasil Caca pun mengangguk patuh.
Saat ini mereka sudah berada di ruang tamu. Caca tampak sedang mengobati Kiano yang disaksikan kedua orang tuanya. Dan sejak tadi Ferry menatap keduanya tak senang. Sedangkan Bik Nur diminta istirahat di kamar.
"Jelasin, kenapa dia ada di apartemen kamu malam-malam Caca?" Tanya Ferry dengan nada dingin.
Caca menoleh. "Caca pengen masakan Kiano, Pa." Sahutnya lalu setelah itu ia kembali mengobati sudut mata Kiano yang sudah membiru. Pemuda itu meringis kesakitan saat Caca mengoleskan salep.
"Sorry." Ucap Caca tulus. Ia benar-benar tak menyangka hal seperti ini akan terjadi.
"Masakan?" Tanya Ferry bingung.
Caca pun menoleh lagi. "Cuma makanan yang Kiano buat yang bisa masuk ke mulut Caca, Pa, Ma. Yang lain pasti dimuntahin lagi, Caca gak bohong. Kiano ke sini karena permintaan Caca."
Kiano langsung menatap Caca kaget. Untuk apa dia berbohong dan malah membelanya?
Kiano hendak bicara, tetapi Caca langsung menyentuh lengannya. Spontan ia pun mengurungkan niatnya itu.
Ferry mengalihkan pandangannya pada Kiano. "Kamu harus tahu batasan, Kiano. Jangan karena hal ini kamu mencuri kesempatan."
Kiano cuma bisa menunduk, ia tahu dirinya pantas dibenci orang tua Caca setelah apa yang terjadi pada anak mereka.
Tias pun kini ikut menimpali. "Kiano, Mama harap kamu ngerti. Kalian udah mutusin buat pisah, tolong jangan buat Caca bingung lagi. Mama tahu mungkin kamu mau bertanggung jawab atas anak itu. Mama sama Papa gak larang. Tapi Mama juga gak rela kalau Caca disakiti lagi."
Kiano menatap Tias dan Ferry bergantian. "Gak ada sedikit pun niat dihati Kiano buat nyakitin Caca, Ma, Pa."
"Jangan panggil saya Papa, kamu bukan menantuku lagi." Sinis Ferry.
"Pa." Caca memperingati.
"Papa ngomong apa adanya Caca, dia gak punya hak manggil Papa lagi." Ferry menatap Kiano sengit. Caca menghela napas berat seraya melihat ke arah Kiano. Kiano menggeleng, meminta Caca untuk tidak menyahut.
Tias menatap putrinya lekat, "ikut Mama sebentar, Ca." Ajaknya yang kemudian bangkit dan berjalan menuju kamar Caca.
Caca pun ikut bangkit dan menyusul sang Mama, sebelum itu ia sempat melihat ke belakang karena takut sang Papa menghajar Kiano lagi. Namun Kiano memberikan kode agar dirinya pergi. Alhasil Caca pun bergegas masuk ke kamarnya.
"Duduk." Perintah Mama Tias yang sudah duduk di tepian ranjang. Caca pun menurut dan duduk di sebelah Mamanya.
"Kamu masih cinta sama Kiano kan?" Tanya Tias tanpa basa-basi. Spontan Caca kaget dan langsung melihat ke arahnya. Tias menatap Caca lekat, menunggu jawaban darinya.
Caca menunduk lalu mengangguk kecil. "Caca gak bisa lupain Kiano, Ma." Lirihnya.
Tias menghela napas lalu membawa Caca dalam dekapan. "Maafin Caca, Ma." Ucapnya mendekap sang Mama erat.
"Kamu gak salah, Sayang. Gak perlu minta maaf. Mama ngerti kok perasaan kamu, gak mudah lupain seseorang yang udah duduk dihati kita. Mama paham." Dikecupnya kening Caca lembut.
"Tapi Papa kayaknya udah benci banget sama Kiano setelah tahu kamu hamil. Hampir setiap hari Papa ngutuk anak itu." Imbuh Tias.
Caca mendongak. "Ma, Kiano gak sepenuhnya salah. Sebenarnya, malam itu...."
Beberapa bulan lalu, waktu itu seluruh siswa kelas dua belas hadir di sebuah hotel berbintang untuk merayakan ulang tahun salah satu siswa, katakan saja ia selebgram. Tentu saja Caca dan Kiano juga hadir di sana. Hanya saja mereka datang masing-masing.
"Gila! Lo cantik banget Ca." Seru Gladis saat melihat penampilan Caca malam itu yang terlihat anggun dengan dress vintage yang membalut tubuh rampingnya. Juga membiarkan rambut panjangnya tergerai indah.
"Apaan sih? Lo juga catik kok." Sahut Caca tersenyum kecil, lalu tampak melihat sekeliling. Sampai pandangannya tak sengaja bertemu dengan Kiano. Pemuda itu berdiri di dekat podium bersama Anya yang terus bergelayut manja di lengannya.
Caca memutuskan pandangan lebih dulu lalu mengajak Gladis menuju area resto.
"Randy tadi nyariin elo. Tapi gak tahu deh sekarang dia ke mana. Lo beneran gak pacaran kan sama dia?" Tanya Gladis menoleh ke arah Caca yang tengah memilih makanan.
Caca menggeleng. "Gue sama dia cuma temenan."
Gladis mengangguk paham. "Tapi kayakya dia suka deh sama lo, Ca."
Caca tertawa kecil. "Gak mungkin lah, orang dia yang bilang sendiri udah punya gebetan."
Giliran Gladis yang tertawa sekarang. "Bisa jadi lo orangnya, Ca. Gak peka banget sih. Btw, lo tahu kabar baru gak?"
"Apaan?" Tanya Caca penasaran.
"Gue udah jadian sama Sakka." Ungkap Gladis begitu semangat.
"Hah? Serius?" Kaget Caca. Bagaimana tidak, semua orang tahu Sakka itu cowok paling dingin di sekolah mereka.
Gladis mengangguk. "Yah, walaupun gue sih yang nembak dia. Secara lo kan tahu gue dari lama suka sama dia." Oceh Gladis terkekeh sendiri.
"Gila lo." Caca menggeleng karena tak percaya. "Untung dia terima, kalau enggak gue jamin lo malu."
"Gue malu? Urat malu gue udah putus kali." Celetuk gadis itu kembali terkekeh lucu. Lalu keduanya pun duduk disalah satu meja yang masih kosong.
"Terus dia gak datang sekarang?" Tanya Caca seraya melahap makanannya.
"Datang kok, tapi agak telat katanya." Sahut Gladis sambil celingukan. "Si Randy mana ya?"
Caca pun ikut melihat sekeliling, dan lagi-lagi pandangannya bertemu dengan pandangan Kiano.
Tu anak kenapa liatin gue terus sih dari tadi? Bikin salah tingkah aja. Batin Caca pura-pura melihat ke arah lain sambil sesekali mencuri pandang. Dan ternyata Kiano pun masih memandangnya penuh arti.
"Ah, kalian di sini rupanya." Ucap Randy yang berhasil mencuri atensi kedua gadis itu. Lalu pemuda itu ikut bergabung di sana. Caca pun tersenyum padanya.
"Dari mana lo?" Sembur Gladis menatap Randy curiga.
"Toilet." Jawab Randy seraya menatap Caca yang tengah menatapnya.
"Ketemu gebetan kali." Ledek Caca tersenyum geli.
Randy tersenyum. "Kenapa? Lo cemburu?"
"Dih, kepedean lo." Caca pun lanjut makan. Lalu melihat ke arah di mana Kiano berada. Sayangnya pemuda itu sudah tidak ada di sana. Tak ingin ambil pusing, Caca pun lanjut makan.
Acara pun berlangsung begitu meriah karena memang sengaja dibuat untuk bersenang-senang. Tak jarang juga yang naik ke atas podium untuk bernyanyi dan menari. Bahkan ada beberapa anak muda yang mabuk. Termasuk Gladis dan Randy tentunya.
"Ca, cobain deh. Dikit aja." Gladis menawarkan segelas wisky pada Caca.
"Gak ah, gue gak berani." Tolak Caca.
"Ck, dikit aja." Paksa Gladis yang sudah mabuk. Beruntung Sakka ada di sana dan menahannya yang ingin minum lagi. Karena itu ia malah memaksa Caca.
"Gue ke toilet bentar." Caca pun bangkit dari sana guna menghindari Gladis. Lalu berjalan pasti menuju toilet yang lumayan jauh.
Sekembalinya dari sana, langkah Caca terhenti saat mendengar obrolan seseorang yang berasal dari sudut yang penerangan temaran. Awalnya Caca tak ingin tahu, tetapi ia kaget saat mendengar nama Kiano disebut. Perlahan ia pun mendekat dan bersembunyi dibalik tirai.
"Gue udah taruh obat ke minuman Kiano sesuai yang lo minta. Jangan lupa bayarannya." Kata seorang lelaki yang tak Caca kenali tengah mengobrol dengan seorang wanita. Namun Caca tak bisa melihatnya dengan jelas karena posisi wanita itu membelakanginya. Penerangan yang minim pun membuatnya tak bisa melihat secara pasti siapa itu.
"Lo gak perlu cemas soal bayaran, asalkan rencanya berhasil. Bayaran lo bakal gue kasih dua kali lipat. Malam ini gue harus dapatin Kiano seutuhnya, dengan cara ini dia gak mungkin bisa lepas dari gue."
"Lo emang gila, Anya. Sampe sejauh ini lo nekad jebak anak orang. Licik banget lo."
Caca kaget saat medengar nama Anya di sebut. "Anya?"
tetap semangat ya kak upnya 💪💪💪
semoga terus berlanjut dan lancar hingga ending nya nanti 👍👍🤗🤗🤗