Peringatan!
Mengandung konflik 21+
Terlahir di tengah keluarga yang tidak harmonis. Membuat Gendis tumbuh menjadi gadis yang mandiri dan tegar.
Perjalanan hidup yang jauh dari kata mudah. Tidak lantas membuatnya pasrah pada keadaan. Gendis bekerja keras membagi waktu dan tenaganya agar bisa bertahan hidup, kuliah dan membiayai sekolah adik semata wayangnya.
Pekerjaan sebagai Terapis atau tukang pijat Shiatsu pun tidak ragu dia lakukan. Selama halal dan masih di jalan yang benar.
Penilaian orang yang menganggapnya perempuan tidak benar, tidak membuatnya gamang. Gendis memilih untuk tidak peduli. Sekedar dianggap baik tidak membuatnya kenyang.
Pertemuannya dengan dua orang pria penikmat sentuhan tangannya, membawa Gendis ke dalam masalah percintaan dan hidup yang lebih rumit.
Bagaimana bisa hidupnya lebih rumit, padahal uang sudah bisa didapatkan dengan mudah? Mengapa bisa dua orang pria jatuh cinta pada seorang Gendis? Siapakah dua pria itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Devi21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pernikahan sederhana
"Aku sudah memenuhi semua permintaanmu, Oz. Selanjutnya terserah aku. Jika kamu tidak terima, silahkan lakukan apapun yang ingin kamu lakukan. Sudah aku katakan sebelumnya. Persiapkan pernikahanmu sebaik mungkin, atau kamu hanya akan mempersiapkan pernikahan orang lain," jawab Eser, dengan senyum liciknya.
"Kamu licik, Es! Sekalipun kamu membenciku, tetap darah yang mengalir pada tubuh kita sama. Sekalipun aku hanya terlahir dari perempuan j4l4ng, nyatanya kita sama-sama keturunan Sevket. Kalau kamu membenciku, bunuh aku, Es. Lepaskan Gendis. Jangan main-main dengan pernikahan." Ozge mengakhiri ucapannya dengan satu pukulan keras ke pipi Eser.
Kakak tirinya itu hanya tersenyum sinis sembari memegang rahang pipi kanannya.
"Terimakasih kadonya, Oz. Semakin kamu membuatku babak belur, malah semakin bagus. Aku menyuruh wartawan stand by di luar. Agar mereka tidak kehilangan berita tentang kita hari ini. Kita akan malu bersama, biarlah seluruh dunia tahu kita memperebutkan gadis pemijat. Dan Jia akan semakin menjadi."
Eser, seperti dengan sengaja memasang badannya, agar Ozge kembali terpancing emosi.
"Kamu sama gilanya dengan Jia, Es. Kalian berdua sama." Ozge meninggalkan kamar Eser dengan penuh kekesalan.
Melewati kamar Gendis, Ozge menghentikan langkahnya. Dia berdiri tepat di depan pintunya.
"Sakit bukan rasanya? begitulah yang aku rasakan, Oz. Tapi lebih sakit Aku pastinya. Karena Aku, kehilangan anak kita juga. Sekarang saatnya kamu mempertanggungjawabkan semuanya." Jia tiba-tiba muncul di belakang Ozge.
Pria itu membalik badannya. "Kenapa kamu di sini?"
"Aku selalu berada di mana pun kamu berada, Oz. Karena aku bisa jadi malaikat pelindungmu sekaligus malaikat pembawa maut buatmu." Jia menatap Ozge dengan seringai liciknya.
"Kita pergi dari sini. Urusanku sudah selesai di sini. Sekarang mari kita bicara baik-baik!" Ozge menarik tengan Jia dengan paksa.
Perempuan itu tersenyum penuh kemenangan. Dia pun mengikuti langkah lebar Ozge dengan senang hati.
.
.
Gendis menatap pantulan wajahnya yang sudah dirias oleh MUA di depan cermin. Tidak dapat dipungkiri, dia memang sangat cantik. Tapi tidak ada sedikitpun aura kebahagiaan pengantin di sana.
Wajahnya sedingin balokan es, dan ekspresinya datar seperti tidak sedang merasakan apa-apa.
Surti dan Damar yang juga sudah berada di sana hanya diam, mereka tidak berani berkomentar apapun. Otak mereka tidak sanggup menduga-duga apa yang terjadi sebenarnya.
Saat Gendis mengatakan pernikahannya dengan Ozge batal, keduanya sudah dibuat kaget. Tapi lebih kaget lagi saat mendengar bahwa Gendis akan menikah dengan Eser.
Gendis memejamkan matanya, mengambil sikap berdoa dengan menyatukan kedua tangan dengan cara menyelipkan jemari tangan kanan dengan tangan kiri.
"Tuhan, apapun takdir yang Engkau gariskan padaku saat ini. Aku akan tetap menjalaninya sebaik yang aku bisap. Jadilah padaku sesuai kehendakMu. Tapi rangkul aku dan jangan tinggalkan Aku benar-benar sendirian," doa Gendis, meski lirih Surti dan Damar bisa mendengarnya dengan jelas. Dalam diam keduanya mengaminkan doa Gendis dalam hati.
"Sudah siap, Mbak? acara sudah mau dimulai. Tinggal menunggu mbak Gendis," ucap Damar yang baru menerima pesan dari Eser.
"Ya sudah, kita turun." Gendis mengatakan dengan pasrah. Tapi raut wajahnya benar-benar terlihat dingin.
.
.
Gendis berjalan beriringan dengan Damar yang mengamit lengannya. Langkah kakinya pelan namun pasti. Veil atau tudung pengantin yang dikenakannya sedikit menyamarkan wajah dingin dan tatapan matanya yang kosong.
Ballroom yang begitu besar benar-benar terasa lengang dan sunyi. Bangku-bangku 95% kosong. Tidak seperti Ozge yang tadinya ingin semua orang terdekatnya tahu kalau hari ini adalah hari istimewa baginya. Eser hanya menghadirkan orang-orang yang dekat dengannya.
Hanya dua deretan bangku depan yang terisi penuh. Tidak ada Mutia di sana. Tapi Sevket hadir untuk memberi restu. Eser tidak mengadakan resepsi, yang terpenting pernikahannya sah di depan negara dan Tuhan.
Damar menghentikan langkahnya, begitu Gendis dan dirinya sudah sampai di depan Altar. Setelah itu, dia pun memundurkan langkah dan mengambil duduk di sebelah Surti.
Eser dan Gendis, diperintahkan oleh Pastor untuk saling berhadapan dengan bergenggaman tangan. Keduanya pun melakukan apa yang diperintahkan dengan ekspresi yang berbeda. Senyum Eser tidak berhenti mengembang, sedangkan Gendis masih bertahan dengan wajah dinginnya.
Pastor menutupkan kain putih atau stola pada tangan keduanya dan meletakkan injil di atasnya, lalu pastor pun memulai rangkaian acara.
"Apakah saudara Eser Sevket, bersedia meresmikan perkawinan ini dengan sungguh ikhlas hati?"
"Ya, sungguh."
"Bersediakah saudara mengkasihi dan menghormati istri saudara sepanjang hidup?"
"Ya, Saya bersedia."
"Bersediakah saudara menjadi bapa yang baik bagi anak-anak yang akan dipercayakan Tuhan kepada saudara, dan mendidik mereka menjadi orang katolik yang setia?"
"Ya, saya bersedia."
Suara Eser sangat tegas, jelas dan tulus saat menjawab semua pertanyaan pastor. Berbeda dengan Eser, Gendis menjawab dengan dingin dan datar. Meski suaranya jelas, ketidaktulusan Gendis sangat terasa.
Pastor membuka membuka Stola, lalu menyuruh Eser memasangkan cincin pada jemari Gendis sembari mengucapkan janji pernikahan.
"Dihadapan Tuhan, Imam, Orangtua dan Para saksi. Maka Saya Eser Sevket, dengan nit yang suci dan ikhlas hati telah memilihmu Gendis Antika Larasati menjadi istri Saya. Demikian janji Saya demi Allah dan Injil suci ini, semoga Tuhan selalu menolong saya."
Eser menarik nafas lega begitu selesai mengucapkan janji pernikahannya. Gendis pun melakukan hal yang sama. Jika Eser seperti mengucapkannya dari dalam hati, Gendis mengucapkannnya seperti sedang hafalan di depan kelas. Cara memasukkan cincin pun berbeda. Eser yang kelihatan angkuh malah sangat lembut, sedangkan Gendis begitu kasar.
"Apa yang sudah dipersatukan oleh Tuhan tidak bisa dipisahkan oleh Manusia. Sekarang kalian sudah menjadi suami istri."
Setelah mendengar doa dari Pastor, Eser tidak bisa menutupi raut wajah bahagia dan binar kemenangannya. Dia pun melangkah maju selangkah agar lebih dekat dengan perempuan yang kini bisa disebut istri olehnya. Eser membuka tudung pengantin yang sedari tadi menutupi wajah Gendis. Untuk kali pertamanya, Eser mengecup kening Gendis dengan lembut. Dia sengaja membiarkan kecupan itu sedikit lebih lama.
Gendis hanya diam bergeming. Tangannya mengepal, hingga buku-buku jarinya memucat.
Setelah seluruh rangkaian pernikahan selesai dan Pastor meninggalkan tempat. Eser menggenggam erat tangan Gendis. Dia menuntun istrinya melangkah menuju papinya. Sevket memberikan pelukan hangat pada Eser dan Gendis bergantian.
"Jagalah anakku, lahirkan cucu-cucu yang banyak dan lucu untukku. Aku tidak peduli siapa kamu sebelumnya, tapi kini kamu adalah bagian dari keluarga Sevket. Jadi, jaga nama baik itu dengan benar," pesan Sevket pada menantunya itu. Gendis sedikit memaksakan senyumnya, lalu mengangguk tanpa mengucap apapun.
Eser lalu mengajak Gendis menyalami beberapa tamu lain. Tidak sampai lima belas orang. Surti dan Damar saling melempar pandang. Mereka tahu apa yang dirasakan Gendis saat ini, tapi mereka yakin Gendis bisa melaluinya dengan baik. Terlebih lagi, Damar masih berkeyakinan kalau Eser adalah pria yang baik.
"Ingat apa kata pastor tadi, Nyonya Eser. Apa yang dipersatukan Tuhan tidak bisa dipisahkan oleh manusia, jadi bersiaplah seumur hidup kamu akan hidup bersamaku. Bersikap manislah pada suamimu ini." Eser berbisik tepat di daun telinga Gendis.
"Terimakasih, Tuan Eser. Anda baik sekali sudah mengingatkan saya." Gendis menatap Eser tajam.
'Kita lihat berapa lama kamu akan bertahan dengan sikapmu itu,' batin Eser.