'Kegagalan adalah sukses yang tertunda.'
'Kegagalan bisa jadi pelajaran dan cambuk untuk terus maju menuju sukses.'
Dan masih banyak kalimat motivasi ditujukan kepada seseorang yang gagal, agar bisa bertahan dan terus berjuang.
Apakah kalimat motivasi itu berlaku dalam dunia asmara?
Nathania gagal menuju pertunangan setelah setahun pacaran serius penuh cinta. Dan Raymond gagal mempertahankan mahligai rumah tangga setelah tiga tahun menikah.
Mereka membuktikan, gagal bukan berarti akhir dari kisah. Melainkan kesempatan untuk melakukan sesuatu yang baru, lebih bernilai. Lahir dari karakter kuat, mandiri dan berani, setelah alami kegagalan.
Ikuti kisahnya di Novel ini: "Ketika Hati Menyatu"
Karya ini didedikasikan untuk yang selalu mendukungku berkarya. Tetaplah sehat dan bahagia di mana pun berada. ❤️ U. 🤗
Selamat Membaca
❤️🙏🏻💚
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sopaatta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20. KHM
...~•Happy Reading•~...
《Sebelumnya
Raymond sangat emosi melihat sikap Belvaria yang tidak bisa membedakan apa yang harus diutamakan sebagai istrinya. Ketentraman yang diharapkan Raymond di pagi hari, hanya berupa angan.
"Kau mengancamku, Raymond?" Ucap Belvaria setelah menemukan rasa percaya diri sebagai artis terkenal yang disanjung dan dipuja banyak orang.
Raymond yang sudah melangkah jadi berbalik. "Aku ingatkan. Tapi kalau kau mengagapnya ancaman, teruskan." Ucap Raymond, lalu kembali berjalan menuju garasi.
Belvaria yang ingin teriak, jadi membanting kaki dan berbalik kepada Titin. "Kau sudah berani melawan saya? Tunggu saja. Bersihkan kamar mandi." Perintah Belvaria dan langsung menuju kamar tanpa menunggu jawaban Titin. Hatinya seperti tempat pembakaran dengan arang yang masih menyala.
"Iya, Bu." Titin menjawab pelan, agar tidak dibilang tukang melawan dan kurang ajar. Tapi hatinya bergerindil. 'Mentang-mentang suami baik, jadi suka-suka dan ngelunjak. Kalau bukan Pak Ray, aku sudah pergi ngga pake pamit.' Titin berjalan mengikuti Belvaria sambil mengomel dalam hati.
"Kerjakan yang saya minta. Cepat. Saya mau mandi." Perintah Belvaria sambil menunjuk kamar mandi. "Iya, Bu." Titin menuju kamar mandi.
Belvaria yang masih mau mengomel, harus menahan diri. Dia mengambil ponsel, agar tidak makin emosi melihat Titin bolak-balik di dalam kamar. Dia menelpon asistennya untuk mengalihkan emosi.
"Poket, siap-siap jemput aku." Ucap Belvaria kepada asistennya.
"Belva, kenapa emosi pagi-pagi? Kau ketahuan?" Asistennya kaget mendengar nada suara Belvaria.
"Ada yang bikin kesal." Belvaria sengaja ketus, karena melihat Titin keluar dari kamar mandi.
"Kau ketahuan Pak Ray minum-minum?"
"Iya. Tapi bukan itu. Jemput saja. Aku lagi malas bawa mobil."
"Bukannya nanti siang baru lunch? Mengapa mau keluar sekarang? Apa Pak Ray ngga kerja." Asistennya tanya beruntun. Dia mengira Belvaria menghindari Raymond yang tidak masuk kerja.
"Pergi kerja. Tapi lagi malas di rumah. Aku pingin ke salon."
"Ya, udah. Aku siap-siap. Kau juga. Jangan sampe aku sudah di situ, kau malah molor."
"Kau juga mau mengaturku?"
"Emang itu kerjaanku."
"Sudah. Cepatan." Belvaria langsung mematikan telpon, karena hatinya masih panas.
Dia meletakan telpon, saat melihat Titin sudah tidak bolak balik, lalu menuju kamar mandi untuk memeriksa. Dia tidak mandi, tapi malah kesal melihat kamar mandi sudah rapi.
Dia keluar kamar menuju dapur. "Titin. Kau sudah selesai bersihin, mengapa tidak kasih tahu saya?"
Titin yang sedang berada di ruang laundry, langsung lari keluar. "Tadi saya mau bilang, tapi ibu sedang telpon."
"Kau tidak punya tangan buat kasih tahu?" Belvaria bertanya dengan wajah galak. Titin jadi diam dan bingung.
Hatinya bergolak, ingin bilang. 'Memangnya saya teman ibu? Apa sopan pelayan seperti saya memberikan isyarat dengan tangan kepada nyonya rumah?' Tapi itu hanya diutarakan dalam hati.
"Sudah. Sana bersihin pakaiannya." Belvaria menggerakan tangan dan meninggalkan Titin yang bengong. 'Sayang cantik, jadi masih sedap dilihat. Kalau kelakuan saya seperti itu, bisa dimasukan ke lumbung buat tumbuk padi.' Titin membatin sambil kembali ke ruang laundry.
~*
Beberapa waktu kemudian, Belvaria sudah berada di dalam mobil bersama asistennya. "Belva, Pak Ray marah basar?"
"Mau besar, atau kecil, sama saja. Marah." Ucap Belvaria, kesal. "Tapi aku lebih kesal sama pelayan itu. Dia sekarang ngelunjak. Mentang-mentang Ray suka belain."
"Mungkin bukan Pak Ray belain. Tapi menjaga supaya jangan dia kabur. Secara sekarang susah cari ART yang benar-benar baik dan bisa dipercaya."
Belvaria melihat asistennya. "Jadi kau membelanya juga?"
"Sudahlah, serba salah kalau alkohol belum menguap." Poket mengibaskan jari besar nan lentik. Hanya asisten Belvaria yang bisa bicara sesukanya, tanpa takut dipecat.
"Kau menyindirku?"
"Loh, kau masih tahu kalau disindir? Fokus, Belva. Fokus. Jangan sampai ini kebawa sampai siang. Bisa raib kesempatan main lagi." Poket mengingatkan tentang pertemuan dengan pihak produser dan sutradara film.
"Makanya ini mau ke salon, biar saraf-sarafku ngga tegang."
"Bagus. Dikendorin. Semoga kau ngga bikin Pak Ray emosi jiwa." Asistennya berkata sambil menyetir.
"Memang kenapa?" Belvaria jadi serius melihat asistennya.
"Kau ngga tahu? Mangkanya, sesekali lihat sosmed. Baca kolom gosip. Secara hidupmu sering berputar di situ."
"Sudaaaa. Ada apa?" Belvaria penasaran.
"Aku dengar selentingan yang beredar di ruang gosip, para model senior mau turun gunung. Salah satu model yang mereka incar, Pak Ray."
"Ah, Ray sudah ngga berminat di dunia model. Aku kira selentingan apa." Belvaria mengibaskan tangan.
"Eh, jangan kepedean. Kalau kau bikin emosi dengan kegiatanmu sama teman-teman model tadi malam, bukan tidak mungkin Pak Ray akan turun gunung. Secara postur tubuh dan penampilan Pak Ray, masih 100++."
"Kau perhatikan Ray?"
"Astaga, Belva. Kau lupa aku asistenmu? Aku pernah bertemu suamimu, jadi bisa membandingkan dengan para model yang berseliweran di tempat pemotretan."
"Para model junior itu bentuk tubuhnya belum matang. Beda sama Pak Ray. Sayang Pak Ray ngga mau punya asisten.
"Kau mau apa? Mau pindah?"
"Mau gosok asisten Pak Ray, supaya jadiin Pak Ray bintang iklan lagi."
"Kau makin ngelantur."
"Eh, tapi yang aku bilang para senior mau turun gunung itu, serius, loh. Kau ngga tahu kalau brand internasional yang pernah pake Pak Ray dulu sedang ngelobi dengan pemegang brand di sini?"
"Tapi Ray ngga bilang apa-apa." Ucapan Belvaria jadi samar dan ragu.
Tanpa diketahuinya, berbagai pihak yang berkecimpung di dunia model sedang berbicara serius untuk mengajak Raymond kembali ke dunia model.
Beberapa brand internasional yang pernah bekerja sama dengan Raymond dan Belvaria merencanakan untuk memakai Raymond kembali untuk memperagakan busana pria dewasa, para eksekutif muda yang menjamur di Indonesia dan royal.
Mereka lebih memilih Raymond dan tidak memilih Belvaria karena sudah terlalu banyak wara wiri di dunia sinema. Hal itu tidak diketahui oleh Belvaria yang sedang mabuk oleh ketenaran sebagai artis.
"Itu masih selentingan, Belva. Aku bilang ini, supaya kau hati-hati dan ngga kaget." Poket tidak melanjutkan lagi, karena suasana hati Belvaria makin buruk.
~*
Beberapa waktu kemudian, menjelang sore, mobil Raymond masuk ke garasi. Titin yang mendengar suara garasi dibuka, langsung belari ke ruang tengah. "Selamat sore, Pak Ray. Mau minum apa?"
"Titin, saya kira kau mau bilang selamat sore, Pak Ray. Tumben sudah pulang." Ucapan Raymond membuat Titin tersenyum.
"Saya mau istirahat. Buatkan soup apa saja buat nanti malam." Ucap Raymond sambil jalan ke kamar tamu. "Baik, Pak."
Raymond yang merasa pening dan tidak bisa konsentrasi kerja, memutuskan pulang lebih awal untuk istirahat.
Sebelum berbaring, dia mengambil kalender kecil perusahaannya yang terletak di meja. Setelah memijit pelipisnya, dia mencoret tanggal dan hari dengan pensil.
'Ini hari Rabu. Baru tiga hari, tapi terasa panjang dan lama, ngalahin tiga tahun.' Raymond ingat pertengkarannya dengan Belvaria pertama kali. Hari Senin malam, saat orang tuanya berkunjung.
...~_~...
...~▪︎○♡○▪︎~...
seneng bgt liat cara ngomong nya Rey, dia sopan sama org, kecuali sama belva