Elzhar Magika Wiratama adalah seorang dokter bedah kecantikan yang sempurna di mata banyak orang—tampan, disiplin, mapan, dan hidup dengan tenang tanpa drama. Ia terbiasa dengan kehidupan yang rapi dan terkendali.
Hingga suatu hari, ketenangannya porak-poranda oleh hadirnya Azela Kiara Putri—gadis sederhana yang ceria, tangguh, namun selalu saja membawa masalah ke mana pun ia pergi. Jauh dari tipe wanita idaman Elzhar, tapi entah kenapa pesonanya perlahan mengusik hati sang dokter.
Ketika sebuah konflik tak terduga memaksa mereka untuk terjerat dalam pernikahan kontrak, kehidupan Elzhar yang tadinya tenang berubah jadi penuh warna, tawa, sekaligus kekacauan.
Mampukah Elzhar mempertahankan prinsip dan dunianya yang rapi? Atau justru Azela, dengan segala kecerobohan dan ketulusannya, yang akan mengubah pandangan Elzhar tentang cinta?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Biqy fitri S, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kejutan
Hari ini terasa begitu spesial untuk Azel. Pacarnya, Divo, sedang berulang tahun. Dengan penuh semangat, Azel menyiapkan kejutan kecil—sebuah kue ulang tahun lengkap dengan lilin, dan sebuah kotak hadiah berisi sepatu yang sudah lama diincar Divo.
Malamnya, ia melangkah cepat menuju café milik Divo. Tangannya sibuk menenteng kue dan hadiah, sementara hatinya penuh degup bahagia membayangkan ekspresi pacarnya nanti.
Divo sedang berada di ruangan khusus di lantai atas café. Begitu Azel masuk, mata Divo langsung berbinar. Senyumnya lebar ketika Azel menyodorkan kue dengan lilin menyala.
“Selamat ulang tahun!” ucap Azel riang.
“Ya ampun, kamu serius bawa beginian ke sini? Malu, tau, kalau sampai karyawan lihat.” ucap Divo sembari berdiri .
Azel cemberut pura-pura kesal. “Apanya yang malu? Pacar ulang tahun masa nggak dikasih kejutan. Nih, tiup lilinnya dulu.”
Divo menghela napas pendek, tapi senyum tak bisa ia sembunyikan. Ia menutup mata sebentar sebelum meniup lilin, lalu bertepuk tangan kecil.
“Makasih, sayang Kamu selalu bisa bikin aku kaget..”
Azel langsung menyodorkan sebuah kotak berbungkus rapi. “ Aku sengaja lembur demi bisa beliin kamu ini. Coba buka deh.”
Dengan penuh rasa penasaran, Divo merobek kertas kado lalu membuka kotaknya. Senyum lebarnya langsung merekah.
“Wah, keren banget! Pas banget sama jaket baru aku. Kamu tahu aja seleraku.”
“Tentu saja,” Azel menyahut manis. “Aku kan pacarmu, jadi harus tahu dong.”
Mereka duduk berdampingan, Azel mendorong kue ke arahnya.
“Ayo makan kuenya bareng. Aku sengaja pilih cokelat, rasa favoritmu.”
Divo mengambil garpu, lalu menatapnya sekilas.
“Hm, kamu memang perhatian banget, sayang. Kadang aku mikir… aku beruntung punya kamu.”
Mata Azel melunak mendengarnya. “Kalau gitu jangan cuma mikir, Div. Buktikan.”
Divo mengernyit. “Buktikan gimana maksudmu?”
Azel menarik napas dalam. Jantungnya berdegup kencang, tapi ia sudah mantap.
“Aku ingin hubungan kita jelas, Div. Aku ingin kita segera menikah.”
Sejenak suasana hening. Senyum Divo menguap begitu saja. Ia menatap Azel, seolah baru mendengar sesuatu yang asing.
“Zel…” ia berdeham canggung, mencoba menutupi kegugupannya. “Kita kan masih muda. Nikah tuh nggak kayak beli sepatu. Nggak bisa langsung dipakai kalau cocok.”
“Aku tahu,” balas Azel pelan tapi tegas. “Tapi aku nggak main-main, Div. Aku capek kalau hubungan kita cuma muter-muter gini tanpa arah.”
Divo bersandar, gelisah, lalu mengusap tengkuknya. “Aku… ke toilet dulu, ya. Kepala aku agak pusing.”
Tanpa menunggu jawaban, ia bangkit dan melangkah pergi, meninggalkan Azel sendiri bersama kue ulang tahun dan hadiah yang baru saja ia berikan.
Azel menatap pintu yang baru saja tertutup, menunggu dengan sabar sambil berharap Divo benar-benar hanya butuh waktu sebentar di toilet. Ia menatap layar ponselnya, lalu jam di dinding. Lima menit berlalu. Sepuluh menit. Lima belas menit.
Perasaannya mulai tak enak. Azel meraih ponselnya, mencoba menghubungi Divo. Nada sambung berulang, tapi tak ada jawaban. Ia menghela napas, mencoba menenangkan diri, lalu mengirim pesan singkat: “Div, kamu di mana? Aku tunggu di atas.”
Namun, tak ada balasan.
Waktu terus berjalan, dan Azel masih duduk di sana, menunggu dengan harapan yang makin lama makin menipis. Café mulai sepi, satu per satu karyawan keluar setelah selesai bekerja, meninggalkan suasana hening yang menyesakkan.
Sudah lebih dari dua jam. Kue di meja kini terlihat menyedihkan, lilin bekas tiupan masih menempel di permukaannya. Kotak sepatu hadiah yang tadi begitu berarti kini terasa hambar.
Azel kembali menekan nomor Divo, berkali-kali, tapi tetap nihil. Tidak ada jawaban.
Akhirnya, dengan perasaan kecewa yang menekan dadanya, ia memutuskan untuk pulang. Langkahnya pelan, berat, seolah setiap langkah membawa beban. Malam yang semestinya menjadi hari spesial justru berubah menjadi luka kecil yang tak ia duga.
\=\=\=\=
Setelah meninggalkan Azel di lantai atas, Divo bukannya benar-benar pergi ke toilet. Lelaki itu justru melangkah cepat ke luar café, menyebrang menuju sebuah bangunan tepat di sampingnya—sebuah klinik kecantikan modern.
Tangannya mengetuk pintu salah satu ruangan dengan tergesa, hampir seperti menggedor. Matanya sempat melirik ke belakang, memastikan tak ada yang memperhatikan gerak-geriknya.
Pintu terbuka, menampakkan sosok pria muda dengan wajah tampan, rapi dengan jas dokternya. Ekspresinya langsung berubah kesal.
“Ada apa sih, Vo? Lo datang-datang gedor pintu sembarangan aja,” ujar dokter itu dengan nada tak sabar. Dialah Elzhar Magika Wiratama—sahabat lama Divo, sekaligus seorang dokter bedah kecantikan yang cukup terkenal.
Divo tanpa basa-basi menerobos masuk, wajahnya panik.
“Tolong gue, EL! Ada cewek gila tiba-tiba ngajak gue nikah. Gue takut.”
Elzhar menghela napas panjang, menutup pintu dengan malas. “Cewek yang mana lagi, Vo?” suaranya dingin, nyaris muak. Ia sudah terlalu sering mendengar drama semacam ini dari mulut sahabatnya.
Divo mengusap wajahnya, lalu menjatuhkan diri ke sofa. “Adalah! Lo tau lah, gue nggak mau tiba-tiba diikat sama janji kayak gitu. Baru setahun pacaran, udah ngajak nikah aja. Gue belum siap.”
Elzhar memandanginya tajam. Ia tahu benar tabiat Divo—hubungan satu tahun dengan seorang perempuan bukan berarti apa-apa baginya, karena di balik itu Divo masih punya banyak nama lain. Dan kali ini, yang dimaksud Divo jelas: Azel.
Elzhar bersandar di meja kerjanya, menyilangkan tangan di dada. Sorot matanya dingin, menusuk ke arah Divo yang masih sibuk mengeluh.
“Lo tuh ya, Vo… jangan kebanyakan drama,” ucapnya datar. “Kalau ada cewek ngajak nikah, itu wajar. Namanya juga serius sama lo. Bukan salah dia kalau lo sendiri yang nggak pernah jelas.”
Divo langsung mengangkat kepala, wajahnya setengah protes. “Lah, tapi gue belum siap, EL! Hidup gue masih panjang. Nikah tuh ribet, banyak aturan. Gue bukan tipe yang bisa langsung kejebak di situasi kayak gitu.”
Elzhar menghela napas, menatapnya seolah malas berdebat. “Kejebak?” ia mengulang kata itu, nadanya penuh sindiran. “Lo sadar nggak, Vo? Yang kejebak itu justru cewek-cewek yang lo mainin. Mereka mikir lo serius, padahal lo sendiri yang nggak pernah niat dari awal.”
Divo terdiam, wajahnya kaku. Tapi hanya sebentar, karena kemudian ia nyengir kecut, berusaha mengalihkan.
“Ya ampun, lo ini kenapa sih jadi ceramah? Gue kan cuma curhat. Lagian, EL, lo tahu sendiri lah gue sayang sama cewe itu… tapi ya nggak sampai harus ke pelaminan juga.”
Elzhar mendengus kecil. “Sayang model apaan? Lo udah jalan sama dia setahun, masih aja lo anggap main-main. Kalau lo bener-bener nggak mau nikah, dari awal jangan kasih harapan. Simple, kan?”
Ruangan itu seketika sunyi, hanya terdengar dengusan napas Divo yang mulai tak nyaman. Elzhar menatap sahabatnya lama, lalu menambahkan, “Saran gue, sebelum lo nyakitin dia lebih parah, mending lo putusin. Jangan bikin dia keburu jatuh terlalu dalam.”