NovelToon NovelToon
"Blade Of Ashenlight"

"Blade Of Ashenlight"

Status: tamat
Genre:Dunia Lain / Tamat
Popularitas:6.3k
Nilai: 5
Nama Author: stells

Di tanah Averland, sebuah kerajaan tua yang digerogoti perang saudara, legenda kuno tentang Blade of Ashenlight kembali mengguncang dunia. Pedang itu diyakini ditempa dari api bintang dan hanya bisa diangkat oleh mereka yang berani menanggung beban kebenaran.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon stells, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

~Rahasia Vornek~

Malam kembali tenang setelah pertempuran di gerbang. Namun, di ruang bawah tanah Ironford, udara terasa tegang. Edrick, Darius, Selene, dan Mira berkumpul di depan sel tempat Vornek ditahan. Api obor berkerlip di dinding batu, menciptakan bayangan yang menari-nari.

Vornek duduk bersandar di dinding, kakinya masih dibalut kain kotor. Meski terluka, tatapannya tetap tajam. Ia menyeringai ketika melihat Edrick masuk. “Kau pikir pedang itu akan menyelamatkanmu selamanya?”

Darius melangkah maju. “Kau hampir kehilangan seluruh pasukanmu tadi malam. Jangan bertindak seolah-olah kau masih memegang kendali.”

Vornek terkekeh. “Kalian menang satu pertempuran kecil. Tapi perang ini jauh dari selesai. Bahkan sekarang, pasukan yang lebih besar sedang bergerak.”

Mira menyela, suaranya dingin. “Kami tidak butuh ancaman kosong. Kami butuh informasi. Ceritakan apa yang kau tahu tentang Ashenlight.”

Vornek menoleh ke Edrick. “Pedang itu bukan sekadar senjata. Itu kunci. Tapi kunci untuk apa… itu tergantung siapa yang memegangnya.”

Edrick mengangkat alis. “Kunci untuk menghentikan perang? Atau untuk menghancurkan Averland sepenuhnya?”

Vornek tersenyum samar. “Kau akan tahu ketika waktunya tiba. Tapi aku bisa memberimu petunjuk… di pegunungan Ashenpeak, ada reruntuhan kuno. Di sanalah jawaban tentang pedang itu disembunyikan.”

Selene memperhatikan setiap kata. “Mengapa kami harus mempercayaimu?”

Vornek menghela napas. “Karena kalau tidak, pemberontak lain akan menemukan rahasianya lebih dulu. Dan ketika itu terjadi, tidak ada benteng, tidak ada pasukan, dan tidak ada pedang yang bisa menyelamatkan kalian.”

Edrick menatap Darius, lalu kembali ke Vornek. “Jika kau berbohong, aku sendiri yang akan memastikan kau tak pernah bicara lagi.”

Vornek hanya tertawa pelan. “Kalau begitu, semoga kau cepat-cepat pergi. Waktu tidak ada di pihakmu.”

Mira menoleh ke Darius. “Kita tak bisa mengabaikan ini. Tapi meninggalkan Ironford sekarang… itu berbahaya.”

Darius menatap peta di dinding, matanya penuh pertimbangan. “Kita tidak punya pilihan. Jika kebenaran tentang pedang ini bisa mengubah perang, kita harus bergerak sebelum musuh.”

Selene menggenggam busurnya erat-erat. “Aku ikut. Kita tidak tahu apa yang menunggu di Ashenpeak.”

Edrick menunduk sebentar, memandang Ashenlight. “Baik. Kita berangkat saat fajar. Ini mungkin satu-satunya kesempatan kita untuk menyelamatkan Averland.”

Fajar belum sepenuhnya pecah ketika Edrick berdiri di tembok Ironford, memandang cakrawala yang tertutup kabut. Udara dingin menyusup ke tulang, namun pikirannya lebih berat dari udara pagi. Di belakangnya, langkah kaki mendekat. Darius muncul membawa gulungan peta yang kini kusut.

“Pasukan pemberontak yang tersisa masih jauh,” kata Darius. “Tapi jika Vornek berkata benar, Ashenpeak tidak akan kosong.”

Edrick menyilangkan tangan. “Dia bisa saja membohongi kita. Tapi… rasanya berbeda. Cara dia bicara bukan sekadar ancaman.”

“Vornek bukan tipe yang berbohong tanpa tujuan,” jawab Darius. “Dia lebih suka memutarbalikkan setengah kebenaran. Itu yang membuatnya berbahaya.”

Mira mendekat, mengenakan jubah perjalanan dan membawa kantong ramuan. “Aku sudah menyiapkan bekal obat. Tapi perjalanan ke Ashenpeak akan memakan waktu tiga hari jika kita bergerak cepat. Jalan setapak di sana jarang dilalui sejak perang dimulai.”

Selene memeriksa tali busurnya, wajahnya serius. “Dan ada kabar tentang kawanan bandit yang berkeliaran di sepanjang jalur pegunungan. Mereka mungkin bekerja untuk pemberontak.”

Edrick menarik napas dalam. “Kita tidak bisa membawa terlalu banyak orang. Terlalu mencolok. Hanya kita berempat.”

“Risiko besar,” gumam Darius. “Tapi lebih aman ketimbang menarik perhatian musuh.”

Di halaman benteng, kuda-kuda sudah disiapkan. Udara terasa hening, seolah seluruh benteng tahu bahwa misi ini berbeda. Beberapa prajurit memberi hormat ketika mereka lewat.

Kapten Ralden, salah satu komandan setia Ironford, mendekati Edrick. “Tuan, apakah bijak meninggalkan benteng dalam kondisi seperti ini?”

“Kita tidak punya pilihan,” jawab Edrick singkat. “Jaga Ironford. Jika kita gagal… Averland mungkin tak akan punya benteng untuk dipertahankan.”

Ralden mengangguk berat, lalu mundur.

---

Mereka meninggalkan Ironford saat matahari mulai naik. Jalanan berbatu menuju pegunungan terasa panjang dan berliku. Di sisi kiri, hutan pinus yang gelap berdesir pelan; di sisi kanan, jurang curam menganga.

Selene memimpin di depan, matanya tajam mengamati sekitar. “Ada jejak kuda segar. Tidak lebih dari sehari.”

Darius menatap tanah. “Mungkin pasukan pengintai pemberontak.”

Mira menghela napas, menatap Ashenlight yang tergantung di pinggang Edrick. “Aku tidak suka ini. Rasanya kita sedang dipancing.”

“Kalau ini jebakan,” balas Edrick, “maka kita pastikan mereka yang menyesal.”

Perjalanan berlanjut tanpa banyak kata. Angin gunung semakin menusuk, dan awan tebal menggantung rendah. Ketika mereka mencapai sebuah tebing sempit, Darius mengangkat tangan, memberi tanda berhenti.

“Ada sesuatu,” bisiknya.

Suara langkah-langkah berat terdengar dari balik tikungan jalan sempit. Tak lama kemudian, tiga orang bertudung muncul, membawa tombak kasar. Di belakang mereka, empat lagi mengikuti. Bandit.

Pemimpin bandit maju dengan senyum licik. “Lihat siapa yang kita temukan. Para pahlawan kecil Averland, berjalan tanpa pengawalan.”

Selene mengangkat busurnya. “Minggir. Ini bukan urusan kalian.”

Bandit itu tertawa kasar. “Semuanya urusan kami. Pedang di pinggang temanmu itu… kelihatannya mahal. Serahkan, dan mungkin kami biarkan kalian hidup.”

Edrick maju selangkah, wajahnya dingin. “Cobalah ambil.”

Tanpa menunggu jawaban, Selene melepas anak panah pertamanya. Anak panah itu menancap di bahu salah satu bandit, membuatnya jatuh. Pertempuran pecah dalam sekejap.

Darius menerjang ke depan, pedangnya memantulkan cahaya pucat. Ia menangkis serangan tombak, memutar tubuh, dan menebas lawannya dalam satu gerakan. Mira melemparkan bubuk berasap ke tanah, menciptakan kabut tipis yang membuat musuh kebingungan.

Edrick menarik Ashenlight. Pedang itu menyala samar, bukan dengan cahaya magis, tetapi dengan ketajaman yang mematikan. Dua bandit mencoba menyerangnya dari sisi kanan, namun ia memutar tubuh, menebas satu, lalu menendang yang lain ke jurang.

Hanya beberapa menit, dan bandit-bandit itu tersisa satu. Pemimpin mereka berlari mundur, mencoba melarikan diri.

“Tidak kali ini,” geram Darius. Ia melempar belati kecil yang menancap di punggung bandit itu. Bandit itu jatuh, menggelepar sebelum akhirnya diam.

Mira menarik napas lega. “Mereka bukan lawan sepadan. Tapi pasti ada alasan mengapa mereka menunggu di sini.”

Selene memeriksa salah satu mayat. “Lihat ini.” Ia mengangkat sehelai kain dengan lambang pemberontak. “Mereka bekerja untuk seseorang. Vornek mungkin sudah mengirim kabar.”

Edrick menyarungkan pedangnya. “Kita harus bergerak lebih cepat. Ashenpeak mungkin tidak akan menunggu lama.”

Mereka melanjutkan perjalanan dengan kecepatan lebih tinggi. Matahari kini hanya tampak redup di balik awan tebal, dan udara semakin menusuk. Jalur pegunungan makin sempit, memaksa mereka berjalan satu per satu.

Darius menoleh pada Edrick. “Aku tak suka caranya ini berkembang. Terlalu banyak kebetulan—bandit yang tahu kita lewat sini, dan peringatan Vornek yang datang tepat waktu.”

Edrick menatap lurus ke depan. “Vornek tahu sesuatu yang belum kita ketahui. Dia bukan orang yang bermain-main dengan nyawanya sendiri. Jika dia memperingatkan kita, pasti ada hal besar di baliknya.”

Selene, yang berjalan di depan, mengangkat tangan tiba-tiba. “Diam.”

Semua berhenti. Dari kejauhan, suara logam beradu samar terdengar—kemudian hilang, tertelan oleh angin.

Mira menatap sekeliling. “Itu bukan suara batu atau ranting patah.”

Selene bergerak cepat, memanjat batu kecil untuk mendapat pandangan lebih baik. Ia kembali turun dengan wajah serius. “Ada kamp. Sekitar lima puluh meter ke utara. Tenda-tenda, mungkin sepuluh orang. Tapi aku melihat bendera kecil pemberontak.”

Edrick mengencangkan genggaman pada pedangnya. “Kita tak bisa membuang waktu menghadapi mereka semua. Kita harus menghindar.”

Darius memandang peta lusuh di tangannya. “Jika kita memotong ke sisi timur, kita bisa mengelilingi mereka, tapi jalurnya berbahaya. Jurangnya curam.”

“Lebih baik itu daripada melawan pasukan utuh,” jawab Selene.

Mereka bergerak diam-diam ke arah timur, menapaki jalur yang hampir tak terlihat. Setiap langkah membawa risiko, batu-batu kecil meluncur ke bawah tebing setiap kali kaki mereka menyentuh tanah longgar.

Beberapa jam kemudian, mereka tiba di sebuah celah sempit di antara dua tebing. Kabut tebal menyelimuti jalan, dan angin dingin menghempas wajah. Di sini, suara mereka terasa bergema aneh.

Mira berhenti dan berbisik. “Tempat ini tidak enak. Rasanya seperti ada yang mengawasi.”

Tiba-tiba, suara berat terdengar dari kabut. “Kalian berjalan terlalu jauh ke wilayah yang tidak kalian pahami.”

Empat sosok muncul dari kabut. Mereka mengenakan baju besi ringan, wajah mereka tertutup kain hitam. Senjata-senjata mereka—pedang melengkung dan tombak pendek—terlihat terawat dengan baik.

Edrick maju. “Kami tidak mencari masalah. Hanya lewat.”

Salah satu dari mereka tertawa pendek. “Tidak ada yang hanya lewat Ashenpeak. Siapa pun yang datang ke sini, datang untuk mati.”

Selene sudah mengangkat busurnya, tapi Darius menahan lengannya. “Kita harus tahu siapa mereka.”

Pemimpin kelompok itu berjalan lebih dekat. “Kami penjaga bayangan Ashenpeak. Dan pedang yang kau bawa—” matanya menatap Ashenlight di pinggang Edrick— “adalah alasan kenapa tanah ini berdarah.”

Edrick mengerutkan kening. “Apa maksudmu?”

Pria itu tidak menjawab, hanya mengangkat tangannya. Dalam sekejap, dua anak panah melesat dari kabut. Selene menangkis satu dengan busurnya, Darius memblokir yang lain dengan pedangnya.

Pertarungan meledak.

Edrick menghunus Ashenlight dan menangkis tebasan pedang musuh pertama, lalu mendorongnya ke belakang dengan bahu. Darius bertarung melawan dua orang sekaligus, bergerak cepat dan efisien, pedangnya berputar seperti perpanjangan dari tubuhnya. Mira, tanpa ragu, melemparkan bubuk silau ke arah dua musuh lain, membuat mereka terhuyung.

Selene melepaskan tiga anak panah berturut-turut, dua di antaranya mengenai sasaran. Tapi pemimpin kelompok itu lebih tangguh dari yang lain. Ia bertarung melawan Edrick dengan gerakan yang tajam dan terlatih, memaksa Edrick mundur selangkah demi selangkah.

“Ashenlight bukan milikmu!” teriaknya.

Edrick menggeram. “Kalau begitu datanglah dan ambil!”

Ia menebas cepat ke bawah, lalu memutar pedang ke samping, memaksa lawan membuka celah. Dalam sekejap, Darius datang dari sisi kanan, menebas lawan itu di pinggang. Pemimpin penjaga bayangan itu terhuyung, jatuh, dan darahnya membasahi bebatuan.

Kabut menjadi hening.

Mira menghela napas panjang. “Mereka bukan bandit biasa.”

Selene memeriksa salah satu mayat. “Lihat lambang di balik jubah mereka. Ini bukan simbol pemberontak.”

Darius menatap Edrick. “Mereka melindungi sesuatu di Ashenpeak. Mungkin Vornek benar. Ada rahasia yang lebih besar daripada perang saudara ini.”

Edrick menatap pedangnya, lalu ke arah puncak gunung yang tersembunyi di balik kabut. “Apapun itu, kita akan mengetahuinya. Kita tidak bisa mundur sekarang.”

1
Siti Khalimah
👍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!