Langit senja berwarna jingga keemasan, perlahan memudar menjadi ungu lembut. Burung-burung kembali ke sarang, sementara kabut tipis turun dari gunung di kejauhan, menyelimuti desa kecil bernama Qinghe. Di ujung jalan berdebu, seorang anak laki-laki berusia dua belas tahun berjalan tertatih, memanggul seikat kayu bakar yang nyaris dua kali lebih besar dari tubuhnya.
Bajunya lusuh penuh tambalan, rambut hitamnya kusut, dan wajahnya dipenuhi keringat. Namun, di balik penampilan sederhananya, sepasang mata hitam berkilau seolah menyimpan sesuatu yang lebih besar daripada tubuh kurusnya.
“Xiao Feng! Jangan lamban, nanti api dapur padam!” teriak seorang wanita tua dari rumah reyot di pinggir desa. Suaranya serak tapi penuh kasih. Dialah Nenek Lan, satu-satunya keluarga yang tersisa bagi bocah itu.
Xiao Feng menyeringai meski peluh bercucuran.
“Ya, Nenek! Sedikit lagi! Kayu ini lebih keras kepala dari banteng gunung, tapi aku akan menaklukkannya!”
Nenek Lan hanya mendengus.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sang_Imajinasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8 – Bisikan Rahasia di Desa Qinghe
Desa Qinghe terlihat damai seperti biasa. Anak-anak berlarian mengejar layang-layang dari daun kering, para petani menyiangi sawah, dan suara ayam jantan bercampur dengan teriakan pedagang yang menawarkan barang dagangan. Namun, di balik keseharian itu, sebuah bisikan baru mulai menyebar di antara penduduk.
“Katanya si bocah yatim, Xiao Feng, bisa melawan empat orang dewasa sendirian.”
“Mana mungkin? Dia itu anak miskin, selalu jadi bahan ejekan Li Shen.”
“Tapi aku lihat dengan mata kepala sendiri, tubuhnya penuh luka… dan matanya, astaga, seperti menyala api!”
Bisikan itu beredar dari mulut ke mulut, berubah-ubah bentuknya, namun satu hal pasti: nama Xiao Feng tidak lagi sekadar anak miskin tak berdaya.
Xiao Feng berjalan melewati jalan desa dengan tubuh yang masih terasa sakit akibat luka malam itu. Pandangan orang-orang menusuknya, sebagian penuh rasa ingin tahu, sebagian lagi ragu, bahkan ada yang tampak takut.
Ia menggertakkan gigi.
“Dulu mereka menatapku dengan jijik. Sekarang… mereka menatapku dengan ketakutan. Apakah aku berubah, ataukah hanya pandangan mereka yang berubah?”
Ada perasaan campur aduk di dadanya: bangga karena akhirnya dipandang, tapi juga kesepian, karena jarak antara dirinya dan desa semakin terasa.
Seorang wanita tua mendekat, menatapnya penuh rasa ingin tahu. “Xiao Feng, apakah benar kau sudah jadi kultivator?”
Xiao Feng terdiam sesaat, lalu mengangguk pelan.
“Sedikit… Aku hanya baru mulai belajar.”
Wanita itu bergumam sambil berlalu, namun Xiao Feng bisa melihat sorot matanya berubah: kagum sekaligus waspada.
Di rumah besar keluarga Li, Li Shen mendengar bisikan itu dengan wajah merah padam. Tangannya menghantam meja hingga retak.
“Bocah itu! Bagaimana mungkin semua orang sekarang membicarakan dia, bukan aku?!”
Ayahnya, Li Kang, tetap tenang, menyeruput tehnya. “Shen’er, sabar. Bocah itu memang menunjukkan sesuatu, tapi jangan lupa: ia masih seorang anak. Kita memiliki sumber daya, harta, dan dukungan sekte kecil. Sementara dia hanya punya seorang pengelana tua.”
Li Shen mengepalkan tinju. “Tapi ayah… jika rumor ini terus menyebar, wibawa kita runtuh! Aku ingin segera menghancurkan dia, sekarang juga!”
Li Kang menatap anaknya dengan dingin. “Belum saatnya. Ingat, naga tidak akan bergerak hanya untuk seekor tikus. Namun… jika tikus itu mulai tumbuh taring, barulah kita patahkan kepalanya.”
Di sisi lain, Wu Zhen duduk bersila di pondoknya, matanya terpejam. Di hadapannya, Xiao Feng berlatih mengalirkan Qi, wajahnya penuh konsentrasi meski peluh menetes deras.
Wu Zhen menghela napas.
“Anak ini… dalam usianya yang masih belia sudah bisa menyalakan api kehidupan dan bahkan memasuki ruang pusaka leluhur. Tak diragukan lagi, takdir besar menantinya. Tapi… apakah ia siap menghadapi badai yang akan datang?”
Ia tahu rumor di desa hanyalah permulaan. Sekte-sekte kecil selalu mencari bakat baru. Dunia kultivasi bukan tempat damai; ia penuh kelicikan, pengkhianatan, dan perebutan sumber daya.
“Xiao Feng,” ucap Wu Zhen dengan suara dalam, “kau harus ingat sesuatu. Saat semua orang mulai menatapmu, itu bukan hanya tanda keberhasilan, tapi juga undangan bagi bencana.”
Xiao Feng membuka matanya, napasnya terengah. Wajahnya pucat, tapi matanya bersinar penuh tekad.
“Aku tahu, Guru. Aku tidak ingin hidupku hanya dipermainkan orang lain lagi. Jika bencana datang… biarlah. Aku akan menantangnya.”
Wu Zhen menatap muridnya lama, lalu tersenyum samar. “Kau benar-benar mirip dengan seseorang yang kukenal… dan itu menakutkan sekaligus membanggakan.”
Beberapa hari berlalu. Bisikan tentang Xiao Feng bukan hanya terdengar di Desa Qinghe. Seorang pedagang yang singgah di desa membawa kabar itu ke kota terdekat. Dari sana, cerita berkembang:
“Seorang anak yatim membangkitkan api dari tubuhnya.”
“Warisan kuno mungkin muncul di Desa Qinghe.”
“Bisa jadi, bakat besar yang belum pernah terlihat selama puluhan tahun lahir di sana.”
Desas-desus itu akhirnya sampai ke telinga para anggota sekte kecil di wilayah sekitar. Beberapa di antaranya tertarik, sebagian lagi waspada. Dunia kultivasi memang kejam; talenta baru adalah peluang sekaligus ancaman.
Xiao Feng berdiri di tepi sungai desa pada malam hari. Bulan penuh memantulkan bayangannya di air. Ia menggenggam batu giok erat-erat, merasakan denyut samar dari dalamnya.
“Warisan ini… leluhurku… apakah ini alasan mengapa aku masih hidup sampai sekarang? Ataukah ini kutukan yang akan menyeretku ke dalam jurang?”
Dadanya terasa berat. Ada rasa takut yang ia sembunyikan: ketakutan akan kehilangan lagi, ketakutan tidak cukup kuat untuk melindungi dirinya sendiri. Tapi ia menepisnya dengan keras.
“Aku tidak boleh takut. Jika aku menyerah, semua orang yang pernah meremehkanku benar. Aku… harus maju. Apapun yang terjadi.”
Air mata nyaris jatuh dari matanya, namun ia tersenyum getir.
“Lihatlah aku, Ayah, Ibu. Anakmu yang dulu tak berdaya kini akan berjalan di jalan para dewa.”
Keesokan harinya, Wu Zhen memanggilnya. “Xiao Feng, aku sudah memutuskan. Sudah waktunya kau meninggalkan desa ini untuk sementara. Dunia di luar jauh lebih luas, dan jika kau ingin tumbuh, kau harus berani melangkah keluar.”
Xiao Feng menatap gurunya dengan mata terbelalak.
“Meninggalkan desa? Tapi… semua yang kukenal ada di sini.”
Wu Zhen mengangguk. “Justru karena itu. Jika kau tetap tinggal, permusuhan dengan keluarga Li akan menghancurkanmu. Jika kau keluar, kau akan menemukan sekutu, musuh, dan mungkin jawaban tentang warisanmu. Dunia ini tidak akan menunggumu, Xiao Feng.”
Xiao Feng terdiam lama. Angin pagi bertiup lembut, seakan menguji hatinya. Akhirnya ia mengangguk, matanya bersinar penuh tekad.
“Baik, Guru. Aku akan berangkat. Aku akan melihat dunia luar… dan kembali suatu hari dengan kekuatan yang cukup untuk menantang langit.”
Wu Zhen tersenyum samar. “Itulah jawaban yang kuinginkan.”