Gunawan, penjual rujak bumbu yang pendiam, dan Dewi, pemilik seblak pedas yang independen, terjebak dalam perjodohan paksa setelah gerobak mereka bertabrakan, menciptakan kekacauan di lapak. Warga, di bawah arahan Pak RT, menghukum mereka dengan pernikahan untuk menjaga reputasi lapak. Awalnya, mereka sepakat untuk menjalani 'kontrak pacaran palsu', penuh kecanggungan dan konflik komedi. Namun, seiring waktu, serangkaian tantangan publik—mulai dari "Love Brigade" yang selalu mengawasi, drama keluarga, hingga sabotase pesaing—memaksa mereka bekerja sama. Tanpa disadari, sandiwara tersebut mulai menumbuhkan perasaan nyata, hingga akhirnya mereka harus memutuskan apakah akan tetap berpegang pada janji palsu atau jujur pada hati mereka, yang berarti menghadapi konsekuensi dari komunitas yang pernah memaksa mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Laila ANT, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terkenal Mendadak
Keesokan harinya, Balai Warga yang megah itu kembali menjadi saksi bisu kekacauan yang lebih besar. Bukan lagi keributan lomba, melainkan badai media. Sejak pagi buta, puluhan wartawan dari berbagai stasiun TV, radio, dan media daring telah mengepung lapak Gunawan dan Dewi, lengkap dengan kamera besar, mikrofon, dan lampu sorot yang menyilaukan. Mereka datang seperti kawanan lebah yang tertarik pada madu, mengincar kisah viral yang baru saja meledak.
“Pak Gunawan! Bu Dewi! Bisa ceritakan bagaimana rasanya menjadi pasangan paling mesra di Jakarta?!” teriak seorang wartawan muda dengan mikrofon berlogo stasiun TV berita nasional.
“Apakah benar kisah cinta kalian dimulai dari gerobak yang bertabrakan? Romantis sekali!” sambung wartawan lain, kameranya menyorot wajah mereka tanpa ampun.
Dewi, yang biasanya garang dan blak-blakan, kini terlihat kaku. Ia mencoba tersenyum, tapi bibirnya terasa beku. Gunawan, si pendiam, tiba-tiba harus menjadi juru bicara. Ia merasakan desakan adrenalin yang aneh, campuran antara ketakutan dan semacam… naluri bertahan hidup.
“Ya… eh… rasanya… campur aduk, Mas,” Gunawan memulai, mencoba menenangkan diri. Ia meraih tangan Dewi, sebuah gerakan spontan yang langsung disorot kamera. Dewi membalas genggaman itu, erat, mencari dukungan.
“Kami nggak nyangka bakal sejauh ini. Ini semua berkat doa dan dukungan warga lapak, dan… ya, berkat anugerah Tuhan juga.”
“Campur aduknya gimana, Bu Dewi?” tanya seorang wartawan wanita dengan suara lembut namun menusuk.
“Apa karena harus beradaptasi dengan popularitas mendadak? Atau ada hal lain?”
Dewi menelan ludah. Ini adalah jebakan. Ia harus berhati-hati.
“Campur aduk karena… kami ini kan orang biasa, jualan di kaki lima. Tiba-tiba jadi sorotan kayak gini, ya… kaget. Tapi kami senang, karena ini artinya rujak dan seblak kami bisa dikenal lebih luas,” jawab Dewi, dengan senyum yang dipaksakan. Ia melirik Gunawan, yang memberinya tatapan ‘bagus’ secara diam-diam.
“Bagaimana dengan resep keharmonisan kalian?” tanya wartawan lain.
“Apa rahasianya, agar rumah tangga selalu hangat dan mesra seperti masakan kalian?”
Gunawan melirik Dewi, senyum tipis terukir di bibirnya. Ini adalah area permainan mereka.
“Resepnya, ya… sama kayak rujak seblak kami, Mas. Harus ada manisnya, harus ada pedasnya. Jangan takut sama perbedaan,” kata Gunawan, suaranya mulai terdengar lebih lancar.
“Kadang kita harus ngalah, kadang kita harus tegas. Tapi intinya, harus saling melengkapi.”
Dewi mengangguk, ikut bermain.
“Betul. Dan jangan lupa, harus ada bumbu rahasianya. Bumbu kejujuran, dan bumbu… saling pengertian.” Ia menatap Gunawan, dan kali ini, ada kilatan di matanya yang bukan lagi sandiwara.
Ada pengakuan, betapa Gunawan memang sering menunjukkan pengertian itu kepadanya.
Wartawan mencatat dengan cepat. Mereka menyukai metafora makanan ini.
“Lalu, Pak Gunawan, Bu Dewi, rencana pernikahan kalian seperti apa? Apakah akan ada ‘Rujak Seblak Mesra’ di acara resepsi nanti?”
Pertanyaan itu menghantam mereka. Rencana pernikahan. Itu adalah salah satu poin krusial dalam sandiwara mereka. Gunawan teringat ide ‘food truck di pantai’ yang mereka karang di babak pendaftaran.
“Oh, tentu saja!” seru Gunawan, mengangguk penuh semangat.
“Kami ingin pernikahan yang sederhana, tapi berkesan. Mungkin di… pinggir pantai.” Ia melirik Dewi, yang menatapnya dengan terkejut, tapi segera mengerti.
“Betul!” timpal Dewi, kini lebih berani.
“Kami berdua kan suka suasana pantai. Dan kalau bisa, kami ingin ada… food truck khusus yang menyajikan ‘Rujak Seblak Mesra’ untuk para tamu. Biar semua bisa merasakan perpaduan rasa yang… unik itu.”
Para wartawan bersemangat. Ide pernikahan dengan food truck di pantai terdengar sangat ‘kekinian’ dan ‘romantis’ di telinga mereka. Mereka terus menghujani pertanyaan, dari detail busana hingga bulan madu.
Gunawan dan Dewi, yang awalnya canggung, kini semakin mahir berimprovisasi. Mereka saling melengkapi kalimat, saling melempar senyum yang terasa semakin alami, dan bahkan saling menatap dengan tatapan yang mulai terasa lebih dari sekadar akting. Tekanan ini, alih-alih merusak sandiwara mereka, justru mengasah insting mereka sebagai sebuah tim. Mereka belajar membaca ekspresi satu sama lain, menangkap kode-kode non-verbal, dan merespons dengan sinkronisasi yang nyaris sempurna.
“Hebat sekali kalian, Nak!” seru Bu Ida dari kejauhan, mengibas-ngibaskan kipasnya dengan bangga.
“Benar-benar pasangan idaman!”
Popularitas mereka meledak. Tidak hanya di media, tapi juga di lapak. Antrean mengular panjang di depan gerobak Gunawan dan Dewi. Pelanggan baru, yang penasaran dengan “pasangan fenomenal Rujak Seblak Mesra,” datang dari berbagai penjuru kota. Mereka tidak hanya ingin mencicipi rujak bumbu dan seblak pedas, tapi juga ingin melihat langsung ‘chemistry’ antara Gunawan dan Dewi.
“Pak, Bu, saya jauh-jauh dari Bekasi loh, cuma mau lihat kalian,” kata seorang ibu-ibu yang mengantre.
“Kisah cinta kalian inspiratif banget! Nggak nyangka, dari gerobak nabrak bisa jadi begini.”
Gunawan dan Dewi harus terus berakting. Mereka menyajikan pesanan sambil sesekali berinteraksi mesra—Gunawan menyeka keringat di dahi Dewi, Dewi membenarkan rambut Gunawan yang berantakan.
Setiap gerakan kecil mereka disambut tepuk tangan dan tawa riang dari pelanggan. Penjualan mereka melonjak drastis. Uang mengalir deras, memenuhi laci kasir yang biasanya hanya terisi pas-pasan. Reputasi lapak mereka tak hanya pulih, tapi melambung tinggi.
Namun, di balik semua hiruk pikuk dan keuntungan itu, ada sebuah kegelisahan yang mengendap di hati Gunawan. Ia melihat Dewi tertawa bersama pelanggan, senyumnya kini terasa lebih lepas, lebih tulus.
Apakah Dewi mulai terbiasa dengan sandiwara ini? Apakah ia mulai menikmati peran ini, sampai-sampai melupakan batas antara akting dan kenyataan?
Suatu sore, setelah semua wartawan dan pelanggan baru pulang, menyisakan lapak yang kini sepi namun penuh sisa euforia, Gunawan memberanikan diri.
“Wi,” panggilnya pelan, saat Dewi sedang menghitung uang hasil penjualan.
Dewi menoleh, senyumnya masih belum sepenuhnya pudar.
“Kenapa, Gun? Mau bagi hasil? Hari ini untungnya gila-gilaan, loh!”
“Bukan soal itu,” Gunawan menggeleng. Ia mendekat, duduk di bangku di samping gerobak seblak.
“Aku… cuma mikir. Sampai kapan kita begini? Apa kamu… nggak capek?”
Dewi terdiam, senyumnya perlahan memudar. Ia menatap Gunawan, tatapannya kini serius.
“Capek, ya capek. Tapi kita kan nggak punya pilihan, Gun. Lapak kita… nasibnya tergantung sama sandiwara ini. Apalagi sekarang sudah masuk TV, dapat dana hibah. Kita nggak bisa mundur.”
“Tapi, Wi,” Gunawan menatapnya dalam,
“kamu nggak ngerasa… ini sudah terlalu jauh? Kita ngomongin pernikahan di pantai, food truck, di depan semua orang. Nanti kalau… kalau kita gagal, apa kata mereka?”
Dewi menghela napas, menyandarkan punggungnya ke dinding gerobak.
“Kita nggak boleh gagal, Gun. Kita harus terus. Sampai… sampai waktu itu tiba.”
“Waktu itu?” Gunawan mengerutkan kening.
“Waktu di mana… mungkin kita bisa jujur. Jujur sama mereka, jujur sama diri kita sendiri,” jawab Dewi, suaranya pelan, matanya menerawang.
“Tapi sekarang, kita harus mainkan peran ini sebaik mungkin. Demi lapak, demi impian food truck di pantai yang… entah kenapa, sekarang terasa nyata buatku.”
Gunawan merasakan jantungnya berdesir lagi. Impian food truck di pantai. Itu adalah idenya, tapi sekarang Dewi juga merasakannya sebagai miliknya. Ada harapan yang tumbuh di tengah kebohongan ini.
“Tapi, kalau… kalau nanti ada yang mencoba mengungkap kebohongan kita?” tanya Gunawan, tiba-tiba teringat ancaman Budi dan Sita.
“Kalau ada yang tahu rahasia kita?”
Dewi menatap Gunawan, matanya kini dipenuhi tekad yang keras.
“Kalau ada yang coba-coba, kita hadapi, Gun. Kita buktikan kalau hubungan kita ini, apa pun dasarnya, sudah lebih dari sekadar sandiwara. Kita sudah… terlalu jauh untuk menyerah sekarang.”
Gunawan mengangguk. Ia melihat tekad itu di mata Dewi, dan itu menular padanya. Mereka memang sudah terlalu jauh. Mereka sudah berinvestasi terlalu banyak, bukan hanya waktu dan tenaga, tapi juga emosi.
Tiba-tiba, ponsel Dewi berdering. Sebuah nomor tak dikenal. Dewi mengerutkan kening, lalu mengangkatnya.
“Halo?”
Hanya beberapa detik, ekspresi wajah Dewi berubah drastis. Senyumnya lenyap, digantikan oleh kepucatan yang mengerikan. Matanya membelalak, napasnya tercekat. Ia menjatuhkan ponselnya, yang tergeletak di lantai, memancarkan cahaya redup dari layar yang menyala.
“Dewi? Ada apa? Siapa itu?” tanya Gunawan, panik melihat reaksi Dewi.
Dewi tidak menjawab. Ia hanya menatap Gunawan dengan tatapan kosong, bibirnya gemetar, mencoba mengucapkan sesuatu yang tidak bisa keluar dari tenggorokannya. Tangannya gemetar hebat, menunjuk ke arah ponsel yang tergeletak.
Gunawan dengan cepat meraih ponsel itu. Layarnya masih menyala, menampilkan pesan WhatsApp yang baru masuk, dikirim dari nomor tak dikenal yang baru saja menelepon. Pesan itu hanya berisi beberapa kata, tapi cukup untuk membuat darah Gunawan membeku di tempatnya.
"Selamat atas popularitas kalian. Tapi jangan lupakan, setiap bintang punya sisi gelap. Rahasia kalian… akan segera terungkap. Bersiaplah untuk kehancuran lapak yang sesungguhnya. Salam dari… teman lama."
Di bawah pesan itu, ada sebuah foto. Foto lama Gunawan, yang diambil saat ia masih remaja, sedang berdiri di depan sebuah gerobak rujak yang berbeda, di kota yang berbeda, jauh sebelum ia datang ke lapak ini. Di sampingnya, berdiri seorang wanita muda dengan senyum sinis yang familiar. Wanita yang menjadi ‘penguji’ kesetiaannya di babak semifinal lomba. Wanita yang ia tidak kenali, namun kini menjadi bayangan yang mengancam dari masa lalu yang tak ia ingat.
Gunawan merasakan dunianya runtuh, pecah berkeping-keping untuk kedua kalinya. Siapa wanita itu? Dan apa maksud dari pesan ini? Rahasia apa yang ia sembunyikan? Dan mengapa… mengapa ia sama sekali tidak bisa mengingatnya?
Ia menatap Dewi, yang kini benar-benar menangis tanpa suara, air mata membasahi pipinya. Mereka baru saja mencapai puncak, dan kini, sebuah jurang gelap terbuka di bawah kaki mereka. Seseorang dari masa lalu Gunawan, seseorang yang menyimpan rahasia kelamnya, kini datang untuk… menghancurkan segalanya.