NovelToon NovelToon
Cinta Beda Alam : Ternyata Istriku Jin

Cinta Beda Alam : Ternyata Istriku Jin

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Cinta Beda Dunia / Cinta Terlarang / Mata Batin / Romansa / Reinkarnasi
Popularitas:2.8k
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

Bagaimana jika wanita yang kau nikahi... ternyata bukan manusia?
Arsyan Jalendra, pemuda miskin berusia 25 tahun, tidak pernah menyangka bahwa pertemuannya dengan Wulan Sari—wanita cantik misterius yang menolongnya saat nyaris tenggelam di sungai—adalah awal dari takdir yang akan mengubah dua alam.
Wulan sempurna di mata Arsyan: cantik, lembut, berbakti. Tapi ada yang aneh:
Tubuhnya dingin seperti es bahkan di siang terik
Tidak punya bayangan saat terkena matahari
Matanya berubah jadi keemasan setiap malam
Aroma kenanga selalu mengikutinya
Saat Arsyan melamar dan menikahi Wulan, ia tidak tahu bahwa Wulan adalah putri dari Kerajaan Cahaya Rembulan—seorang jin putih yang turun ke dunia manusia karena jatuh cinta pada Arsyan yang pernah menyelamatkan seekor ular putih (wujud asli Wulan) bertahun lalu.
Cinta mereka indah... hingga rahasia terbongkar.
Ratu Kirana, ibunda Wulan, murka besar dan menurunkan "Kutukan 1000 Hari"—setiap hari Arsyan bersama Wulan, nyawanya terkuras hingga mati

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 30: Arsyan Pingsan Pertama Kali**

Malamnya—sekitar jam sepuluh—Arsyan lagi di kamar mandi.

Dia baru aja selesai makan—bubur yang Wulan masakin—cuma tiga sendok masuk, selebihnya dia maksa tapi nggak bisa. Perut nggak nerima. Mual.

Sekarang dia lagi sikat gigi—gerakan lambat—tangan gemetar pegang sikat gigi—berdiri di depan wastafel yang emailnya udah kuning, retak sana-sini.

Kepala pusing. Pandangan mulai kabur.

*Bentar lagi kelar... bentar lagi...*

Dia kumur—tapi pas dia mau ludah—tiba-tiba—

—dada sesak.

Sesak banget. Kayak diremas pake tang besar.

Napas nggak bisa masuk. Kerongkongan kayak ditutup.

Sikat gigi jatuh ke wastafel—bunyi "klek" pelan.

Arsyan pegang dada—rahang mengeras—napas berbunyi "ngiiiik"—susah banget.

*Kenapa... kenapa dadaku...*

Pandangan makin kabur. Dunia muter. Kaki goyah.

Dia coba pegang wastafel—tapi tangannya lemah—keringetan—melorot.

"Wulan..." panggilnya pelan—nyaris bisikan. "Wulan..."

Nggak kedengeran. Wulan lagi di kamar—agak jauh.

Kaki nggak kuat nahan badan. Lutut melipat.

Arsyan jatuh.

Jatuh keras—dengkul bentur lantai keramik—bunyi gedebuk keras—kepala kena pinggir ember—bunyi "duk" tumpul.

Terus... gelap.

---

"MAS!"

Teriakan Wulan—keras—panik—bikin jantung siapapun yang denger langsung deg-degan.

Dia lagi duduk di kasur—tiba-tiba denger bunyi jatuh dari kamar mandi—langsung lari.

Buka pintu—

—Arsyan tergeletak di lantai. Nggak gerak. Mata tertutup. Napas... napas pelan banget. Nyaris nggak keliatan.

"MAS! MAS, BANGUN!" Wulan berlutut di sebelahnya—tangan terangkat mau pegang—tapi dia tahan. Jangan sentuh. Jangan—

—tapi dia nggak kuat.

Dia pegang wajah Arsyan—dingin—dingin banget—kayak es.

"MAS, KUMOHON, BANGUN!"

Nggak ada respon.

Wulan guncang tubuhnya—pelan dulu—terus makin keras—desperate.

"JANGAN TINGGALIN AKU! KUMOHON! MAS!"

Air matanya udah ngalir deres—napasnya berantakan—tangan gemetar keras.

Dia ambil HP—tangan nyaris nggak bisa gerak bener—nelpon Bhaskara—bunyi tunggu yang kayak sejuta tahun—

"Halo?" suara Bhaskara—ngantuk kayaknya.

"BHAS! MAS ARSYAN PINGSAN! KUMOHON DATENG SEKARANG!"

"APA?! TUNGGU, GUE DATENG!"

Sambungan putus.

Wulan taroh HP—balik ke Arsyan—peluk kepalanya—rambut Arsyan basah keringat dingin.

"Mas... bertahan... kumohon bertahan..."

Tiga menit kemudian—terasa kayak tiga jam—Bhaskara dateng.

Dobrak pintu depan—napas ngos-ngosan—lari ke kamar mandi.

"Arsyan!" Bhaskara langsung jongkok—cek napas—cek nadi—mata membelalak. "Nadinya lemah banget. Wulan, lo tunggu di sini. Gue telpon ambulans—"

"Nggak sempet! Gue bawa pake motor—"

"LO GILA?! DIA NGGAK SADAR! GIMANA MAU DIBAWA MOTOR—"

"TERUS MAU GIMANA?! NUNGGU AMBULANS BISA SETENGAH JAM!" Bhaskara napasnya berat—mikir cepet. "Oke. Gue telpon Dzaki. Dia ada mobil. Lo tunggu di sini. Jaga Arsyan."

Bhaskara keluar—telpon Dzaki—balik lagi—bantuin Wulan gendong Arsyan keluar dari kamar mandi ke ruang tamu—tidurkan di sofa.

Wulan duduk di lantai—deket kepala Arsyan—tangan ngelus rambut suaminya yang makin tipis.

"Mas... bertahan ya... ambulans udah dateng... sebentar lagi..."

Tapi dalam hati dia teriak.

*Ini salahku. Ini gara-gara aku. Aku... aku membunuhnya perlahan. Setiap hari. Setiap detik.*

Sepuluh menit kemudian—Dzaki dateng bawa mobil pick-up tua—pintunya bunyi ngiii-ngiii pas dibuka.

Mereka bertiga—Bhaskara, Dzaki, Wulan—bantuin angkat Arsyan ke belakang mobil—tidurkan di kasur lipet tipis yang Dzaki bawa.

Wulan naik ke belakang—duduk di sebelah Arsyan—pegang tangannya yang dingin.

Bhaskara nyetir—cepet—tapi hati-hati—jalanan malam sepi tapi berlubang.

Dzaki di sebelahnya—baca doa keras-keras—suaranya gemetar.

"Ya Hayyu ya Qayyum... Ya Hayyu ya Qayyum..."

Wulan di belakang nangis diam-diam—natap wajah Arsyan yang pucat—bibir membiru.

*Kumohon... kumohon jangan ambil dia sekarang... belum... belum waktunya...*

---

Rumah sakit—UGD—lampu terang menyilaukan—bau antiseptik keras.

Arsyan langsung dibawa masuk—ditidurkan di brankar—didorong cepet ke ruang periksa.

Dokter jaga—dokter cowok, tua, kacamata tebal—langsung cek.

Cek napas—lemah. Cek nadi—lemah banget. Tekanan darah—rendah. Suhu tubuh—rendah.

"Pasien dalam kondisi syok. Kita pasang infus dulu. Cek lab lengkap. Siapkan oksigen."

Perawat gerak cepet—infus dipasang—jarum masuk—cairan mulai ngalir.

Wulan berdiri di luar ruangan—kaca jendela nunjukin Arsyan yang tergeletak—kayat mayat—dikelilingi perawat sama dokter.

Bhaskara berdiri di sebelah Wulan—tangan ngelus punggung Wulan pelan—nggak bilang apa-apa—nggak tau harus bilang apa.

Dzaki duduk di kursi tunggu—masih baca doa—nonstop—suaranya udah serak.

Sejam kemudian—dokter keluar.

Wulan langsung berdiri—mata merah, sembab.

"Dokter... suami saya gimana?"

Dokter lepas masker—napas berat. "Kondisinya stabil untuk sementara. Tapi... sangat lemah. Kami sudah cek lab cepat—hasilnya... aneh."

"Aneh gimana, Dok?"

"Secara medis... tidak ada kelainan. Tapi tubuhnya... seperti... seperti kehilangan energi hidup secara drastis. Saya..." dokter menggeleng. "Saya tidak bisa jelaskan dengan ilmu medis."

Wulan jantungnya berhenti sedetik.

*Kehilangan energi hidup. Kutukan.*

"Kami akan rawat inap untuk observasi. Tapi jujur..." dokter menatap Wulan—tatapan serius. "Kalau kondisi tidak membaik dalam 24 jam... saya tidak bisa jamin."

"Maksud Dokter... dia bisa... bisa mati?"

Dokter diem. Nggak jawab. Tapi tatapannya udah jawab semuanya.

Wulan kakinya lemas—nyaris jatuh—Bhaskara nahan cepet.

"Wulan, tenang—"

"GIMANA AKU BISA TENANG?!" Wulan berteriak—air matanya meledak. "DIA... DIA BISA MATI, BHAS! DIA BISA MATI GARA-GARA AKU!"

Bhaskara peluk Wulan—erat—Wulan nangis keras di bahu Bhaskara—tubuhnya gemetar hebat.

---

Malam itu—Arsyan dipindahin ke ruang rawat inap—kelas tiga—enam tempat tidur dalam satu ruangan—dipisah gordyn tipis.

Wulan duduk di kursi samping ranjang—natap Arsyan yang tidur—masker oksigen nempel di wajah—infus nancep di tangan—monitor jantung bunyi "pip... pip... pip..." pelan.

Bhaskara sama Dzaki pulang dulu—mereka juga capek—tapi janji besok pagi balik.

Wulan sendirian sekarang.

Sepi. Cuma bunyi monitor sama napas Arsyan yang dipaksa masuk pake oksigen.

Wulan pegang tangan Arsyan—dingin—lebih dingin dari biasanya.

"Mas..." bisiknya pelan. "Maafin aku... maafin aku..."

Air matanya nggak berhenti. Jatuh terus. Basahin tangan Arsyan.

Dalam kepalanya—ada satu pikiran yang makin keras. Makin jelas.

*Aku harus pergi.*

*Aku harus pergi sekarang.*

*Sebelum aku bener-bener membunuhnya.*

Tangannya turun ke perut—ngelus pelan.

*Tapi... tapi aku hamil. Anak ini... anak Arsyan. Gimana aku bisa pergi ninggalin dia... ninggalin anaknya...*

Tapi kalau dia nggak pergi—Arsyan bakal mati.

Kalau dia pergi—Arsyan bakal hidup. Tapi sendirian. Tanpa dia.

*Pilihan mana yang lebih baik?*

*Dia hidup tanpa aku... atau dia mati bersamaku?*

Wulan nangis makin keras—tapi dia tutup mulut biar nggak berisik—biar pasien lain nggak terganggu.

"Mas... aku... aku nggak tau harus gimana..." bisiknya di tengah isak tangis. "Aku cinta Mas... tapi cintaku... membunuh Mas... aku... aku harus pergi kan? Aku harus... harus ninggalin Mas..."

Arsyan nggak jawab. Masih nggak sadar. Napas pelan di balik masker.

Dan Wulan duduk di sana—sepanjang malam—nangis diam-diam—sambil memutuskan...

...keputusan paling berat dalam hidupnya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!