NovelToon NovelToon
Luka Yang Mengajarkan Pulang

Luka Yang Mengajarkan Pulang

Status: sedang berlangsung
Genre:Cerai / Penyesalan Suami
Popularitas:910
Nilai: 5
Nama Author: RARESKA

Novel ini menceritakan tentang perjalanan seorang anak perempuan sulung yang baru menikah karena perjodohan. Ketika ia baru saja merasakan masa awal pernikahan tiba-tiba ia dihantam badai besar. Perceraian kedua orang tuanya setelah 30 tahun bersama, kematian keponakan yang baru 8 bulan dalam kandungan, serta pernikahan kembali Ibunya hanya 7 bulan setelah perceraian. Di tengah luka, ia berusaha membangun rumah tangganya sendiri yang masih rapuh. Hingga akhirnya, di usia 2 tahun pernikahannya, ia diberi rezeki yaitu kehamilan yang mengubah seluruh cara pandangnya tentang keluarga,takdir dan kesembuhan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RARESKA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kata Yang Tak Pernah Tuntas

Hening di ruang tamu seperti ditarik semakin panjang. Tidak ada yang berani bicara setelah Ibu menjatuhkan kabar itu di tengah-tengah kami. Laras, yang duduk tepat di sampingku dengan perut besarnya, terlihat semakin kacau. Tangannya gemetar saat ia mencoba mengusap air matanya yang tak berhenti turun.

“Ayah… beneran ninggalin Ibu?” suara Laras hampir tak terdengar.

Bu Murni menatapnya lama, seolah memilih kata dengan hati-hati. “Ibu nggak mau bilang ayah kalian ninggalin… tapi keadaan memang sudah terlalu sulit untuk diperbaiki.”

Laras menangis lagi, kali ini lebih keras. Dimas refleks meraih bahunya, berusaha menenangkan, tapi Laras malah menunduk, menutup wajah. Kehamilannya yang delapan bulan membuat tubuhnya terlihat rapuh, dan melihatnya seperti itu membuat dadaku ikut sesak.

“Ayah bilang apa waktu pergi?” tanya Dimas, suaranya rendah tapi jelas penuh marah.

Ibu menghela napas panjang. “Ayah kalian nggak ngomong banyak. Dia cuma bilang… dia capek.”

Laras mendongak, matanya merah basah. “Capek? Jadi kami ini apa? Beban?”

“Nggak, Nak,” Ibu buru-buru menggeleng. “Kalian bukan beban. Ayah kalian cuma… mungkin sudah lama menahan sesuatu yang Ibu juga nggak sadar.”

Aku menggenggam tangan Laras. “Kamu jangan mikir jauh-jauh dulu. Kamu butuh tenang.”

“Tapi gimana aku tenang, Kak?” suara Laras pecah lagi. “Rumah ini udah hancur… terus aku harus lahiran tanpa ayah ada di sini?”

Hatiku seperti diperas.

Raka, dari tadi diam di pojok sofa, akhirnya angkat bicara. “Ayah bakal balik lagi nggak?”

Pertanyaan itu menggantung di udara seperti pisau.

Bu Murni menunduk. “Ibu nggak tahu.”

Laras menutup wajahnya lagi. “Aku benci… aku benci banget semuanya terasa kayak mimpi buruk.”

Aku menarik napas panjang, menatap masing-masing dari kami satu per satu. “Kita hadapi bareng-bareng. Kata-kata ayah yang belum selesai… ya sudah. Kita nggak bisa paksa dia ngomong. Tapi kita masih punya Ibu. Kita masih punya satu sama lain.”

Ibu menatapku dengan mata berkaca-kaca. “Alya benar. Hidup kadang nggak ngasih penjelasan yang kita mau. Ada hal yang memang… nggak pernah tuntas.”

Laras menggigit bibir, mencoba menahan tangisnya yang masih bergetar. “Aku cuma takut…”

“Kamu nggak sendiri,” potongku lembut.

Dimas mengangguk. “Iya. Kita jagain Mama, jagain kamu, jagain semuanya.”

Perlahan, Laras mengangkat wajahnya. Tangisnya belum berhenti, tapi setidaknya ia mencoba bernapas lebih pelan.

Di luar, langit Bandung mulai gelap sepenuhnya. Lampu ruang tamu menyinari wajah-wajah kami yang kacau keluarga yang sedang belajar menerima kenyataan pahit yang tidak pernah kami minta.

Dan aku tahu, malam itu hanyalah awal dari banyak kata yang tak akan pernah benar-benar selesai.

Laras akhirnya bersandar di bahuku, napasnya tersengal seperti baru saja selesai berlari jauh. Aku bisa merasakan bahunya naik turun, ritme yang mengungkapkan betapa berat beban di dalam hatinya. Perutnya yang membuncit bergoyang sedikit ketika ia menggeliat mencari posisi yang lebih nyaman, dan aku spontan mengusap punggungnya, mencoba memindahkan sedikit rasa sakit itu ke diriku.

“Kalau Ayah capek… kenapa nggak bilang dari dulu?” Laras berbisik, suaranya parau. “Kenapa harus bertahan sampai tiga puluh tahun terus pergi begitu aja?”

Pertanyaan itu seperti panah yang menancap tepat di tengah-tengah ruangan. Tidak ada yang bisa menjawab. Bahkan Ibu pun menutup mata sejenak, seolah mengakui bahwa ia sendiri tidak punya kekuatan untuk menjelaskan.

Dimas mengusap wajahnya, frustrasi. “Aku nggak ngerti, Ma. Selama ini aku kira Ayah cuma kerja keras. Pulang malam, masih sempet becandain Raka… bahkan sempet bantu aku waktu aku buka bengkel pertama kali. Kok rasanya tiba-tiba banget?”

“Karena kalian nggak hidup di dalam rumah sebagai suami istri,” jawab Ibu pelan, tapi sangat jelas.

Kami semua menoleh.

“Ayah kalian baik sama anak-anaknya. Tapi ke Ibu… perasaan itu udah lama hilang. Ibu berusaha bertahan buat kalian. Ayah juga. Tapi ternyata… itu nggak cukup.”

Raka mengangkat kepala, matanya berkaca-kaca tapi ia menahannya. “Kalau dari dulu nggak bahagia, kenapa nggak cerai waktu kita masih kecil aja? Kenapa nahan sampai sekarang?”

Pertanyaan itu lebih perih daripada yang sebelumnya.

Bu Murni menatapnya lama. “Karena kalian masih butuh rumah yang utuh. Ibu nggak mau kalian tumbuh dengan perasaan nggak lengkap. Ibu pikir, selama Ibu dan Ayah diam… luka itu nggak akan sampai ke kalian.”

“Tapi sampai juga…” bisik Laras lirih.

Ibu tidak bisa menyangkalnya. Ia meraih tangan Laras yang gemetar, lalu menggenggamnya erat. “Maafkan Ibu kalau selama ini Ibu bikin kalian berpikir semuanya baik-baik saja.”

Laras menggeleng cepat. “Nggak, Bu… bukan salah Ibu. Aku cuma… takut. Takut anakku lahir di keluarga yang baru aja hancur.”

Kalimat itu memukul udara seperti kerasnya pintu yang dibanting.

Aku memperhatikan wajah adikku itu—wajah yang dua bulan lalu masih penuh harapan meskipun baru kehilangan bayinya. Dan sekarang, sebelum sempat sembuh, ia harus menerima kenyataan baru yang sama beratnya.

Aku mengusap rambutnya pelan. “Laras, kamu itu perempuan paling kuat yang aku kenal. Kamu melewati hal-hal yang… bahkan aku sendiri belum tentu sanggup. Kamu bakal jadi ibu yang hebat.”

Laras menatapku lemah. “Tapi Kak… aku nggak mau anakku tumbuh dengan perasaan kosong.”

“Dia punya kita,” kataku tegas. “Dan itu cukup.”

Raka mengangguk lirih. “Aku akan bantu jagain, Ras.”

Dimas ikut menambahkan, “Kita semua bakal ada buat kamu. Nggak usah mikir sendirian.”

Laras menutup mulut, menangis pelan—bukan lagi terisak panik, tetapi lebih seperti seseorang yang akhirnya menemukan tempat untuk melepas sebagian beban.

Ibu menatap kami bertiga, satu per satu. Ada air mata yang menempel di ujung matanya, tapi ada juga sedikit kelegaan. “Kalian anak-anak Ibu yang paling hebat,” katanya dengan suara bergetar.

Keheningan kembali memenuhi ruangan, tapi kali ini tidak sekelam sebelumnya. Ada kehangatan kecil yang mencoba tumbuh di antara kami—rapuh, tapi nyata.

Lalu, perlahan… Ibu berdiri. Ia berjalan menuju lemari kayu kecil dekat dapur dan mengambil sebuah kotak cokelat tua. Kotak itu sudah kusam, sudutnya sedikit sobek, tapi aku tahu persis apa isinya.

Album keluarga.

Ibu kembali duduk, membuka halaman pertama. Foto pernikahan mereka. Foto mereka menggendongku yang masih bayi. Foto Dimas belajar berdiri. Foto Laras saat lomba menggambar waktu TK. Foto Raka dengan seragam SD yang kedodoran.

Semua tampak hangat.

Semua tampak bahagia.

“Tiga puluh tahun itu tidak sepenuhnya retak,” kata Ibu, lebih kepada dirinya sendiri. “Ada banyak bahagianya… cuma mungkin kami sudah berhenti mengingatnya.”

Tidak ada yang menjawab.

Kami hanya menatap halaman album itu dalam diam. Tapi hatiku terasa seperti diaduk antara menyesal, marah, sedih, dan rindu pada sesuatu yang bahkan aku sendiri sudah lupa bentuk aslinya.

Laras menyentuh foto ayah perlahan. “Aku harap Ayah kembali.”

Ibu memejamkan mata. “Ibu juga.”

Tapi tidak ada yang tahu apakah harapan itu akan terjawab atau tidak.

Hujan di luar mulai mereda. Jalanan yang basah memantulkan cahaya lampu teras ke dalam ruangan. Suasana rumah kami masih berat, tapi ada sedikit ruang untuk bernapas.

Dan malam itu, aku belajar satu hal:

Beberapa kata memang tidak pernah tuntas. Bukan karena tidak ingin, tapi karena hidup kadang memberi jeda pada cerita yang belum selesai.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!