NovelToon NovelToon
TUMBAL TERAKHIR

TUMBAL TERAKHIR

Status: sedang berlangsung
Genre:Kutukan / Horor / Iblis / Fantasi Timur
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: pena biru123

Ini adalah kisah wanita bernama Ratih, yang pulang dari merantau tiga tahun yang lalu, dia berniat ingin memberi kejutan pada neneknya yang tinggal disana, namun tanpa dia ketahui desa itu adalah awal dari kisah yang akan merubah seluruh hidup nya

bagaimana kisah selanjutnya, ayok kita baca

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon pena biru123, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 31

Setelah Ratih menghilang ke dalam pusaran kegelapan yang diciptakan oleh Liontin Ungu-Api, Pusara Air Mata dipenuhi oleh keheningan yang menyesakkan, hanya dipecahkan oleh isak tangis yang tertahan dan amarah yang meledak.

Wijaya berdiri di tengah gua, tubuhnya bergetar bukan karena dingin, melainkan karena perpaduan kemarahan dan penyesalan yang menusuk. Ia melihat tempat hilangnya Ratih, dan di saat itulah ia menyadari kedalaman perasaan yang selama ini ia sembunyikan di balik 'kewajiban'.

"Aku melindunginya karena dia adalah harapanku," gumam Wijaya, mengulang kata-kata yang ia ucapkan kepada Natan. Ia kini mengerti betapa tidak memuaskannya kata-kata itu bagi Ratih, dan betapa menyesalnya ia tidak pernah mengatakannya secara jujur.

Cinta yang ia rasakan pada Ratih bukanlah sekadar tugas; itu adalah pilihan yang paling murni dan pribadi. Rasa ingin melindunginya telah lama melampaui kewajiban leluhurnya; Ratih adalah jangkar yang mengikatnya pada kebaikan dan masa depan yang ia dambakan. Sekarang, karena kelambanannya menyadari dan mengakui perasaan itu—karena ia membiarkan bayangan Natan menanamkan keraguan di hati Ratih—ia telah kehilangan segalanya.

"Aku lambat. Aku buta," raungnya, memukul pilar kristal dengan tinjunya hingga darah menetes. "Aku tidak menyadari bahwa Liontin Mata Ketiadaan tidak menyerap Void, tetapi menyerap keraguan dan rasa sakit Ratih yang disebabkan olehku. Aku membiarkan keraguan itu menjadi cukup kuat untuk membuka gerbang itu!"

Wijaya tahu, ancaman terbesar bagi Ratih bukanlah kekuatan kosmik, melainkan perpecahan emosional yang terjadi di antara mereka. Kepercayaan mereka adalah Liontin Penolak yang sesungguhnya.

Kepedihan Dara dan Insting Jaya

Dara, berdiri di sisi kolam, membiarkan air matanya jatuh. Dia merasakan kehilangan Ratih seperti kehilangan bagian dari sihirnya sendiri. Ratih adalah sumber cahaya dan harapan tim mereka.

"Dia sudah begitu dekat," bisik Dara. "Kita hampir berhasil menyatukan Liontin itu. Liontin Ungu-Api. Itu berarti Ratih memiliki kekuatan untuk mengendalikan kedua sisi, tetapi... jika dia ada di dalam, siapa yang mengendalikan Ratih?"

Jaya, yang lebih tenang, mendekati Wijaya dan menariknya menjauh dari pilar yang hancur. "Ini bukan waktunya untuk penyesalan, Wijaya. Natan memberimu peringatan, dan kau tahu lebih banyak dari kami. Ratih telah dibawa oleh Liontinnya ke Pusara Air Mata yang sesungguhnya—dimensi batin di mana Entitas Tunggal terpecah. Kita harus tahu bagaimana cara ke sana."

Pencarian Petunjuk: Lencana dan Masa Lalu

Wijaya menarik napas dalam-dalam, mengendalikan emosinya. Ia mengalihkan pandangannya ke lencana bangsawan lama di kerahnya—lencana yang jarang ia tunjukkan, lencana yang diketahui Natan.

"Lencana ini," kata Wijaya, suaranya kini dingin dan fokus, "adalah kunci. Keluargaku adalah penjaga catatan sebelum masa-masa Mata Angin. Catatan itu bukan tentang Liontin secara spesifik, tetapi tentang Pintu Kosmik—tempat-tempat yang beresonansi dengan perpecahan besar."

Menjelaskan Liontin Ungu-Api: Wijaya menyimpulkan bahwa Liontin Ungu-Api bukanlah senjata, melainkan kunci dimensi dan stabilisator. Ratih, sebagai "wadah sempurna," secara naluriah mengambilnya untuk menyegel dirinya dalam dimensi batin, menjauh dari pertempuran. Liontin itu telah menciptakan sebuah zona netral di dalam dirinya, tetapi zona itu rentan terhadap keraguan yang ditanamkan Natan.

"Ayahku menyimpan gulungan-gulungan yang tidak pernah ia serahkan kepada Dewan," jelas Wijaya. "Catatan-catatan itu pasti berada di reruntuhan kediaman tua kami di Kepulauan Bayangan Utara."

Natan tahu tentang bayangan yang mengikutiku. Reruntuhan itu disebut Kepulauan Bayangan. Ini adalah tempat di mana masa lalu keluargaku, yang berhubungan dengan Entitas Tunggal, terkunci. Di sanalah aku akan menemukan cara untuk mengikuti Ratih ke dimensi batin.

Wijaya , dara dan jaya Menemukan gulungan keluarga Wijaya untuk memahami cara membuka Pintu Kosmik atau Pusara Air Mata Batin dan membawa Ratih kembali.

"Kita akan pergi ke Utara," perintah Wijaya, ekspresi wajahnya berubah menjadi tekad baja. "Aku akan membawanya kembali. Tidak karena kewajiban, tetapi karena dia adalah Ratih."

Mereka berbalik dan meninggalkan gua kristal, meninggalkan Pusara Air Mata yang kini sunyi. Misi telah berubah dari mencegah kehancuran alam semesta menjadi sebuah misi penyelamatan yang sangat pribadi, di mana Wijaya harus berhadapan dengan masa lalunya yang tersembunyi untuk menyelamatkan masa depannya.

Tiga hari perjalanan menuju Kepulauan Bayangan Utara terasa seperti seabad bagi Wijaya. Mereka melakukan perjalanan melintasi dataran tinggi kristal di bawah langit yang diselimuti kabut permanen, meninggalkan hawa kosmik Pusara Air Mata. Tetapi, alih-alih meredakan ketegangan, keheningan alam justru memperparah kehampaan di hati Wijaya.

Kepulauan Bayangan Utara—disebut demikian bukan karena letaknya, melainkan karena awan gelap yang selalu menyelimuti pulau-pulau itu—adalah reruntuhan kuno yang dulunya adalah pusat kekuatan keluarganya. Sebuah tempat yang Wijaya pernah berjanji tidak akan pernah ia injak lagi.

Saat kapal layar kecil yang mereka sewa berlabuh di pantai berpasir hitam, suasana tebal dan berat menyambut mereka. Pohon-pohon di sana berbentuk bengkok dan tidak wajar, seolah-olah ditarik oleh gravitasi yang salah, dan udara terasa dingin, mencekik.

Wijaya melompat turun lebih dulu. Langkah kakinya berat, seolah ia tidak hanya membawa tubuhnya sendiri tetapi juga seluruh penyesalan yang ia miliki. Rasa rindu pada Ratih adalah racun yang merayapi dirinya, melumpuhkan tekadnya.

Setiap napas yang ia ambil tanpanya terasa menyakitkan.

"Ratih adalah jangkar yang mengikatku pada kebaikan dan masa depan yang kudambakan."

Kata-kata itu berulang, ironis. Ia telah menganggap Ratih sebagai penyelamat alam semesta, tetapi sebenarnya, Ratih adalah penyelamat jiwanya. Ia adalah cahaya api biru yang ia abaikan, dan kini kegelapan yang ia takuti telah mengambilnya.

"Wijaya," suara Jaya memecah lamunannya. "Kau harus fokus. Kita tidak bisa membuang waktu di sini. Ratih... dia menunggumu."

Wijaya mengangguk kaku, tanpa menatap Jaya. "Aku tahu."

"Tidak," balas Jaya dengan tajam, suaranya mengandung otoritas yang mengejutkan. "Kau tidak tahu. Kau tidak tahu betapa kuatnya keraguan itu, Wijaya. Kau menganggap cinta sebagai kewajiban; itu adalah penghinaan terhadap dirinya. Jika kau ingin membawanya kembali, kau harus mengakui perasaan itu sekarang."

Wijaya menoleh, mata merahnya bertemu pandangan Jaya. Kata-kata itu menusuk, tetapi juga membakar benih tekad yang baru.

Mereka bergerak maju, menuju sisa-sisa kediaman keluarga Wijaya—struktur batu abu-abu yang kini ditelan oleh akar-akar dan lumut tebal. Bagian yang Wijaya cari adalah perpustakaan bawah tanah, tempat ayahnya menyimpan 'catatan yang tidak diserahkan'.

Dara, berjalan di belakang, merasakan ada yang tidak beres. Energi di Kepulauan Bayangan terasa kacau dan tidak murni; sihirnya berdenyut tak nyaman, seolah ditarik ke dalam sumur gelap di bawah tanah.

"Aku tidak suka tempat ini," bisik Dara, mengeratkan genggaman pada tongkatnya. "Energi di sini terasa... tersedot. Seolah-olah alam itu sendiri sedang kelaparan."

Saat mereka mencapai gerbang perpustakaan bawah tanah—sebuah lempengan batu dengan ukiran lencana keluarga yang Wijaya kenakan—mereka mendapati lencana itu tidak terkunci. Itu terbuka.

"Seseorang sudah mendahului kita," ujar Wijaya dingin, menghunus pedangnya.

Di dalam ruang perpustakaan melingkar yang gelap dan berdebu, ratusan gulungan purba terhampar, tetapi bukan itu yang menarik perhatian mereka.

Di tengah ruangan, berdiri seorang pria—tinggi, mengenakan jubah hitam tanpa lambang, dan memegang gulungan tua yang retak di tangannya. Dia tidak menoleh saat mereka masuk.

"Aku tahu kau akan datang, Wadah yang Gagal," kata pria itu, suaranya serak dan bergemuruh, seolah suaranya tidak dibentuk oleh pita suara.

"Siapa kau?" tuntut Wijaya, mengarahkan pedangnya. "Mengapa kau di sini?"

Pria itu perlahan berbalik. Wajahnya disembunyikan oleh bayangan kerudung, tetapi Wijaya bisa melihat senyum tipis, puas, dan kejam.

"Aku adalah Juru Bayangan. Dan aku datang untuk membersihkan kekacauan yang kalian ciptakan," jawabnya. Ia mengangkat gulungan itu. "Catatan keluargamu benar. Ada Pusara Air Mata Batin yang terpisah. Liontin itu hanya kuncinya."

"Kembalikan gulungan itu!" teriak Wijaya, maju selangkah.

"Terlambat," cibir Juru Bayangan. Dengan gerakan cepat, dia merobek gulungan itu menjadi dua, dan serpihan-serpihan kuno itu lenyap menjadi asap hitam yang ia serap ke dalam tangannya.

"Liontin Ungu-Api telah menyegel Wadah di alam batin, ya? Sebuah zona netral di mana dia bisa menentukan nasib Perpecahan dan Ketiadaan. Sebuah masalah yang harus diselesaikan."

Juru Bayangan mengangkat tangannya. Di udara di depan mereka, pusaran hitam kecil mulai terbentuk—tiruan dari Void yang menelan Ratih.

"Liontin itu adalah magnet. Jika Wadah Ratih ada di sana, kekacauan akan mengikutinya. Aku hanya perlu menambahkan sedikit kekacauan lagi," jelas Juru Bayangan.

"Dia bukan Wadah!" raung Wijaya, amarahnya meledak. "Dia Ratih! Dan kau tidak akan menyentuhnya!"

Wijaya menyerang. Pedangnya bersiul di udara, tetapi Juru Bayangan tidak bergerak. Sebelum pedang menyentuhnya, asap hitam tebal melingkari pedang Wijaya, memperlambatnya seolah-olah ia berjuang di bawah air.

Dara dan Jaya segera bertindak. Dara meluncurkan mantra angin terkuatnya, tetapi angin itu hanya menyebar dan mati saat menyentuh jubah hitam Juru Bayangan. Jaya, dengan kelincahan belatinya, mencoba menyerang dari sisi, tetapi dia hanya menembus bayangan, bukan tubuh fisik.

"Kewajiban atau Cinta, Wijaya? Itu tidak penting," kata Juru Bayangan sambil tertawa, tawa yang bergema dan menyakitkan. "Pada akhirnya, keraguan yang kau tanamkanlah yang membawanya pergi, dan keraguan itu akan melahapnya di dimensi batin. Aku hanya akan membantu prosesnya."

Dia mengulurkan tangan ke pusaran hitam kecil itu, siap untuk menanamkan energi kehancuran.

Wijaya tahu, serangan fisik tidak berguna. Dia harus mengalahkan Juru Bayangan di level yang sama sekali berbeda: Tekad.

Wijaya menarik pedangnya dari kepungan asap, memejamkan mata sesaat. Dia memvisualisasikan wajah Ratih—bukan sebagai Wadah, bukan sebagai harapan, tetapi sebagai wanita yang ia cintai.

"Aku datang ke sini bukan untuk memenuhi kewajiban," bisik Wijaya, kata-katanya penuh kepastian yang menusuk hati. "Aku datang untuk membawanya kembali, karena dialah duniaku."

Saat Wijaya membuka mata, pedangnya menyala. Tidak dengan api biru, tetapi dengan api putih yang murni dan panas—manifestasi tekad yang tidak bisa dipadamkan.

Dia maju. Kali ini, asap hitam itu mendesis dan menghilang saat bersentuhan dengan api putih Wijaya.

Juru Bayangan menatap terkejut saat perisainya runtuh. "Mustahil! Kau telah memilih sisi yang salah!"

"Tidak ada sisi," balas Wijaya, melompat, pedangnya mengarah lurus ke dada Juru Bayangan. "Hanya diriku dan Ratih!".

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!